Kaligrafi Dekorasi

Sabtu, 06 Juli 2013

MEMBUMIKAN KEADILAN MENEGUHKAN PEMIHAKAN

 
MEMBUMIKAN KEADILAN MENEGUHKAN PEMIHAKAN
Kajian tentang Teori-teori Keadilan Ekonomi Kontemporer dan Prinsip-prinsip Alternatif Tatanan Ekonomi Etis Pro-Mustad`afin
Zakiyuddin Baidhawy

Pendahuluan
Ketidakadilan ekonomi merupakan problem umiversal yang dihadapi oleh semua sistem kontemporer. Dalam hampir semua bagian dunia, dan dalam seluruh wilayah sejarah, sistem-sistem ekonomi yang dilandaskan pada ketamakan telah mengalami kebuntuan dalam melahirkan keadilan. Sistem-sistem semacam itu biasanya berakar pada ekstrem-ekstrem ideologis yang kurang berhasil mengantarkan kondisi  ekonomi yang lebih baik bagi seluruh partisipan. Pada skala global, banyak orang menolak Kapitalisme tanpa regulasi dan Sosialisme ekstrem, serta Neoliberalisme yang telah berjasa melahirkan kemiskinan dan pemiskinan struktural dalam jumlah masif.
Kapitalisme dalam bentuk klasiknya laissez faire telah runtuh, yang masih bertahan adalah Kapitalisme yang telah dimofidikasi. Kapitalisme berasumsi bahwa dalam sistemnya terdapat suatu distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata dan fair dalam perekonomian. Dengan tidak adanya mekanisme filter dan pemuasan keinginan secara serampangan, pendapatan  tidak didistribusikan secara merata, sebab ketidakmerataan dalam pewarisan kekayaan  berkaitan dengan akses yang tidak adil terhadap fasilitas kredit dan pendidikan, perbedaan bakat, stamina fisik, latar belakang keluarga, dan ambisi pribadi. Ketidakmerataan memungkinkan kelompok berpendapatan tinggi  memperoleh bagian pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan kuantitas mereka. Dengan cara ini  konfigurasi barang-barang dan jasa  yang diproduksi oleh sistem pasar  tidak selaras dengan keinginan mayoritas konsumen. Kesenjangan pendapatan yang besar diterima sebagai wajar dan tak terhindarkan. Ini merupakan ketidakadilan yang nyata, namun dirasionalisasi  dengan argumen bahwa seseorang yang memikirkan diri sendiri yang telah  melahirkan  situasi ini merupakan "kekuatan sosial yang perlu dan bermanfaat".[1]
Sementara itu, Sosialisme dan Marxisme sebagai antitesis dari Kapitalisme juga tak dapat diandalkan. Ideologi ini bahkan mengalami kemunduran lebih cepat dari yang diprediksikan. Ini disebabkan kelemahan-kelemahan utama yang inheren di dalamnya. Pertama, ideologi ini mengimplikasikan ketidakpercayaan pada kemampuan manusia untuk mengelola kepemilikan pribadi  dalam batasan-batasan kesejahteraan sosial. Kedua, mesin kekuasaan negara  dijalankan oleh sekelompok orang yang kepentingannya selaras dengan kepentingan seluruh masyarakat. Dalam praktik yang terjadi sebaliknya,  sekelompok orang yang mengendalikan kekuasaan negara memanfaatkan kekayaan dan pendapatan negara untuk kepentingan mereka sendiri. Ketiga, subsidi umum yang besar hanya menguntungkan si kaya dan orang-orang istimewa dibanding si miskin yang daya belinya terbatas.[2]
Tujuan utama Sosialisme adalah menegakkan keadilan, namun pada praktiknya Sosialisme hanya mengurangi sedikit ketidakmerataan atau menimbulkan ketidakadilan yang lain. Kaum buruh yang tidak mempunyai hak milik tetap menjadi buruh tanpa hak milik, mereka bekerja pada majikan yang lebih bekuasa. Mereka juga tidak mempunyai hak untuk memilih, semua tergantung pada pimpinan. Perjuangan akan hak-hak buruh akan berujung pada penjara atau kematian. Dengan demikian,  negara Sosialis jauh lebih mematikan daripada Kapitalisme. Alienasi para pekerja dari sarana-sarana produksi masih tetap, karena pusat kendali dipisahkan dari pekerja. Praktik semacam ini bertentangan dengan ajaran Marx  sendiri tentang bagaimana alienasi terjadi: yakni ketika pekerjaan  terpisah dari pekerjanya dalam arti pekerjaan bukan milik si pekerja sehingga dalam pekerjaannya ia tidak mengafirmasi dirinya sendiri bahkan menolak dirinya sendiri; dan   pekerja terasing dari pekerjaannya muncul ketika pekerjaan itu bukan miliknya namun milik orang lain.[3] Dengan cara demikian,  kemungkinan eksploitasi sebagaimana terdapat dalam Kapitalisme, yang menjadi sasaran kritik oleh Sosialisme itu sendiri, masih hidup.
Sistem keadilan Negara Sejahtera[4]  merupakan langkah maju dari Kapitalisme.  Tujuan sistem ini adalah melunakkan ekses Kapitalisme yang berlebihan dan dengan cara ini dapat mengurangi daya tarik Sosialisme.  Sistem ini cukup menarik semua lapisan masyarakat, baik pekerja maupun kapitalis. Dari segi filosofinya, Negara Sejahtera  meyakini bahwa kesejahteraan individu merupakan tujuan yang sangat penting yang tidak mungkin tergantung hanya pada operasi kekuatan-kekuatan pasar; kemiskinan dan ketidakmampuan seseorang tidak mesti merupakan bukti dari kegagalannya. Karena itu, sistem ini mengakui  full employment (sebagaimana juga dipercaya Kapitalisme) dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil sebagai bagian dari tujuan pokok kebijakan negara. Meski sistem ini menerapkan strateginya melalui enam perangkat negara – regulasi, nasionalisasi industri pokok, gerakan buruh, kebijakan fiskal, pertumbuhan yang tinggi dan full employment— subsidi umum telah melahirkan kepincangan yang tidak adil antara si kaya dan si miskin.
Setelah krisis Kapitalisme selama 25 tahun terakhir dan semakin berkurangnya tingkat profit yang berakibat jatuhnya akumulasi kapital, meneguhkan tekad korporasi besar untuk kembali ke sistem liberalisme. Melalui corporate globalization mereka merebut kembali  ekonomi dan berhasil mengembalikan paham Liberalisme, bahkan dalam skala global. Inilah yang disebut sebagai paham Neoliberalisme. Sejak 1970-an Keynesianisme yang menjadi fondasi Welfare State telah masuk dalam catatan kaki sejarah. Panggung kini menjadi milik dua bapak ekonom Neoliberalisme Friederich August von Hayek[5] dan Milton Friedman.[6] Mulai dekade 1980-an, aliran kanan baru yang diwakili oleh Margaret Thatcher dan Ronald Reagan memperjuangkan pasar bebas dan menolak dengan tegas paham negara intervensionis. Satu dekade kemudian, tepatnya  pada 1990-an, Kapitalisme  Neoliberal pasar bebas  dari dua tokoh tersebut telah menjadi ideologi dunia yang dominan.
Keyakinan-keyakinan Neoliberalisme menggarisbawahi bahwa: pasar harus bekerja secara bebas tanpa campur tangan negara, menekan pengeluaran upah dan melenyapkan hak-hak buruh, menghilangkan kontrol atas harga; mengurangi pemborosan anggaran negara dengan memangkas semua subsidi untuk pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan jaminan sosial, dan pada saat yang sama subsidi besar-besaran diberikan kepada perusahaan transnasional (TNCs) melalui tax holidays; memercayai deregulasi ekonomi; privatisasi adalah jalan menuju persaingan bebas yang dibungkus dengan efisiensi dan mengurangi korupsi, meski kenyataannya terjadi konsentrasi kapital di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal kebutuhan dasar mereka; dan mempetieskan paham tentang public goods dan solidaritas sosial dan menggantinya dengan tanggung jawab individual.[7]
Gambaran di muka menyatakan bahwa kekuatan-kekuatan yang bermain di bawah sistem Kapitalisme, Sosialisme,  Negara Sejahtera,  dan Neoliberalisme masih menyisakan sejumlah masalah dalam hubungannya dengan keadilan ekonomi – baik dalam soal produksi, konsumsi, dan distribusi – dan ini perlu diatasi  secara langsung  dan menangani sumber masalahnya bukan hanya dari gejala lahiriah. Perlu ada reformasi struktur sosio-ekonomi dan nilai-nilai keadilan yang membimbingnya.

Keterbatasan Teori-teori Keadilan Kontemporer
Sistem-sistem ekonomi yang telah disebut di muka – Kapitalisme, Sosialisme, Marxisme, Negara Sejahtera, dan Neoliberalisme – pada hakikatnya bersandar kepada paham tertentu mengenai keadilan. Perdebatan tentang keadilan itu  telah melahirkan sejumlah teori dan prinsip-prinsip keadilan. Meskipun para penganjurnya memiliki cita-cita dan pandangan yang sama  tentang keinginan untuk menegakkan keadilan  dalam masyarakat, mereka memiliki perbedaan cukup mendasar dalam menentukan makna dan definisi yang tepat tentang keadilan. Teori-teori keadilan yang menjadi landasan pijak sistem-sistem ekonomi kontemporer itu meliputi Prinsip Egalitarianisme Radikal, Prinsip Perbedaan, Prinsip Berbasis Sumber Daya, Prinsip Berbasis Kesejahteraan, Prinsip Berbasis Balasan, dan Prinsip Libertarian. Lihat prinsip-prinsip dari teori-teori keadilan di atas dan perbandingannya pada tabel 1.
Memerhatikan prinsip-prinsip dari enam teori keadilan sebagaimana pada tabel di atas, terlihat jelas bahwa teori-teori tersebut mengandung keterbatasan dan kurang memuaskan untuk menjawab persoalan-persoalan ketidakadilan secara komprehensif. Beberapa keterbatasan dapat disebutkan di sini antara lain: Pertama, dalam hal kepemilikan, Prinsip Egalitarianisme Radikal dan Prinsip Libertarian berada pada posisi saling bertentangan. Yang pertama mementingkan kepemilikan kolektif, sedangkan yang terakhir mengedepankan kepemilikan pribadi dan self-interest. Keduanya mengalami kebuntuan dalam memecahkan masalah keadilan dalam kepemilikan. Kedua, dalam masalah sumber daya, Prinsip Libertarianisme menyatakan bahwa dunia ini pada asalnya tidak ada yang memiliki. Jika demikian, bagaimana dunia ini mesti diperlakukan  bukan merupakan problem penting keadilan.
Ketiga, ada beberapa teori keadilan yang terlalu menekankan pada satu aspek semata dari fakta dan problem keadilan ekonomi sehingga kurang dapat memberikan jawaban secara tepat atas masalah keadilan itu sendiri: Prinsip Berbasis Sumber Daya secara nyata tidak memberikan tempat bagi tanggung jawab sosial atas mereka yang kurang beruntung,  dan tidak ada  subsidi bagi mereka yang kurang pendapatannya; Prinsip Berbasis Kesejahteraan (Utilitarianisme), dengan berpedoman pada the great happiness for the great number, mengorbankan  sekelompok kecil  orang atas nama  kepentingan atau kesejahteraan mayoritas; dan Prinsip Berbasis Balasan juga tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan bila setiap orang harus menerima balasan atau upah sesuai dengan usaha dan kontribusi aktualnya bagi masyarakat, lalu siapakah yang bertanggung jawab atas kondisi mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat?

Tabel 1
Perbandingan Prinsip-prinsip Keadilan Kontemporer
No
Konsep Keadilan

Prinsip-prinsip Utama

1
Egalitarianisme/
Persamaan Radikal

1.        setiap orang harus memiliki tingkat yang sama dalam kebutuhan barang dan jasa

2.        terlalu membatasi kebebasan individu
2
Prinsip Perbedaan


1.        kekayaan yang lebih banyak dapat diproduksi dalam sistem di mana mereka yang lebih produktif memperoleh pendapatan lebih besar

2.        memaksimalkan posisi absolut mereka yang kurang beruntung
John Rawls (Theory of Justice)
1.        Setiap orang  harus mempunyai hak yang sama atas kebebasan-dasar yang seluas mungkin sesuai  dengan sistem kebebasan serupa yang berlaku untuk orang lain.
2.    Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa,   sehingga:
(a)  kedua ketidaksamaan itu dapat diharapkan akan menguntungkan bagi setiap orang,
(b) dan kedua ketidaksamaan itu melekat pada kedudukan-kedudukan dan fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua orang.
Prinsip 1 harus dipenuhi lebih dulu sebelum prinsip 2, dan 2b lebih dulu dari 2a
3
Prinsip Berbasis Sumber Daya (Dworkin)
1.        setiap orang harus dibuat menerima akibat-akibat dari pilihannya:
setiap orang yang memilih bekerja keras untuk memperoleh pendapatan lebih tidak dikehendaki untuk mensubsidi mereka yang malas dan karenanya kurang pendapatan
2.        Setiap orang tidak boleh merasakan penderitaan akibat dari lingkungan yang berada di luar kendali mereka:
Setiap orang yang terlahir dengan cacat, sakit, atau anugerah alamiah yang rendah tidak bertanggung jawab atas lingkungan
4
Prinsip Berbasis Kesejahteraan
1.        berupaya memaksimalkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan
2.        utilitarianisme, the great happines for the great numbers
5
Prinsip Berbasis Balasan
1.        setiap orang harus diberi balasan/upah berdasarkan: kontribusi aktual dan usahanya
2.        berupaya mengangkat standar hidup dengan membayar usaha dan capaian
3.        hanya diterapkan pada pekerja dewasa
6
Prinsip Libertarian (Robert Nozick)
1.        setiap orang memiliki dirinya sendiri
2.        dunia ini pada asalnya tidak ada yang memiliki
3.        anda dapat memperoleh hak-hak mutlak atas pembagian dunia yang tidak proporsional, asalkan anda tidak memperburuk kondisi orang lain
4.        relatif mudah untuk memperoleh hak-hak absolut atas pembagian dunia yang tidak proporsional
5.        karena itu, kepemilikan pribadi sangat layak, pasar bebas dalam kapital dan pekerjaan secara moral dikehendaki


Keempat, dalam Prinsip Egalitarianisme Radikal, bila setiap orang harus memiliki tingkat yang sama dalam kebutuhan barang dan jasa, di manakah penghargaan atas kenyataan adanya perbedaan antar orang perorang dan atas mereka yang secara ekonomi lebih produktif? Kelima, berdasarkan kompetisi,   pasar bebas secara moral dikehendaki sebagai alat  yang dipercaya untuk  mengalokasikan dan mendistribusikan sumber daya secara adil. Fakta menunjukkan kekuatan pasar tidak sepenuhnya dapat memenuhi tugas alokasi dan distribusi secara adil. Dalam kondisi demikian, siapakah yang bertanggung jawab atas redistribusi bagi mereka yang kurang beruntung?
Keenam,  apa yang sejati dari prinsip keadilan John Rawls adalah berkenaan dengan prinsip ketidaksamaan. Prinsip ini biasa disebut sebagai Prinsip Perbedaan. Prinsip ini hanya dapat menjawab persoalan bagaimana  ketidaksamaan  diatasi. Sementara perbedaan dan konsekuensinya tidak dilihat sebagai suatu kenyataan yang tak dapat ditolak, perbedaan tidak dipandang sebagai potensi untuk saling mengambil manfaat dan titik tolak untuk mengukir prestasi. Di samping itu, dalam Prinsip Perbedaan  tidak terlihat jelas apa yang memotivasi tindakan orang-orang yang beruntung untuk berkorban bagi mereka yang kurang beruntung. Terakhir,  hampir semua teori keadilan di atas cenderung fokus pada keadilan distributif, sehingga aspek-aspek lain dari kegiatan ekonomi seperti konsumsi dan soal perlakuan atas sumber daya alam dan lingkungan luput dari perhatian.

Prinsip-prinsip Alternatif: Perspektif Etik-Qur’anik
a.      Prinsip-prinsip Keadilan dalam Kepemilikan
Isu pertama dalam prinsip-prinsip keadilan  kontemporer menyangkut kepemilikan. Bersama-sama dengan asumsi-asumsi kebebasan dan kompetisi, Adam Smith sebagai penggagas Liberalisme Klasik meletakkan kepentingan diri (self-interest) sebagai basis kepemilikan. Asumsi ini oleh Libertarianisme dijadikan prinsip pertama dalam keadilan, yaitu setiap orang memiliki dirinya sendiri. Berbeda dari Liberalisme Klasik dan Libertarianisme, Prinsip Egalitarianisme Radikal mengedepankan kepemilikan bersama, dan konsekuensinya mengabaikan kepemilikan  pribadi dan mengekang kebebasan individu. Dua prinsip keadilan tersebut menemukan jalan buntu dalam memecahkan tarik ulur antara kepentingan pribadi dan kepentingan kolektif atau sosial.
Kepemilikan merupakan subjek penting dalam kerangka keadilan ekonomi. Pengakuan atas hak kepemilikan adalah prasyarat untuk berhubungan dengan dan melakukan transaksi atas kekayaan. Postulat al-Qur’an tentang kepemilikan menyatakan: Allah Maha Memiliki segalanya, langit, bumi dan beserta isinya; [8] Allah adalah pemilik manfaat dan mudharat, kehidupan, kematian dan kebangkitan; [9] Allah juga yang memiliki rezeki untuk semua makhluk. [10]
Postulat di atas menegaskan "posisi awal" bahwa seluruh sumber daya adalah hak mutlak Allah. Proposisi ini merupakan antitesis dari dua prinsip keadilan Liberalisme Klasik dan Prinsip Libertarianisme. Prinsip keadilan pertama menyatakan setiap orang memiliki dirinya sendiri. Manusia adalah pemilik dirinya sendiri, karena itu ia memiliki kebebasan mutlak untuk mengupayakan dan memenuhi kepentingan-kepentingannya sendiri tanpa harus peduli pada kepentingan-kepentingan orang lain. Secara hakiki, proposisi ini mengandung problem ontologis dari perspektif al-Qur'an. Yakni, proposisi ini tidak menjawab masalah krusial tentang asal dan tujuan (sangkan-paran) dari segala ciptaan yang ada di alam semesta. Proposisi ini juga mencerminkan bias antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dari semesta raya. Karena ketidakjelasan asal, maka proposisi ini juga tidak memberikan arah yang tegas tentang dimensi teleologis dari semua ciptaan, termasuk tujuan manusia sendiri. Bias antroposentris mengarahkan prinsip keadilan Liberalisme Klasik dan Libertarianisme meletakkan manusia sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, bukan sesuatu yang pada akhirnya kembali kepada asal ciptaan sebagai tujuan akhir.
Prinsip keadilan kedua  menyatakan dunia pada awalnya tidak dimiliki siapa pun. Proposisi ini jelas merupakan kebalikan dari postulat keadilan dalam al-Qur'an tentang kepemilikan primordial atas segala sesuatu. Dengan menyadari posisi awal dari kepemilikan  sesungguhnya atas sumber daya, bahkan manusia sendiri, al-Qur'an meletakkan kepemilikan manusia dalam proporsi temporal. Postulat ini  bermaksud agar manusia sebagai homo socius and economicus menyadari peran dan fungsinya berhadapan dengan Kuasa dan Pemilik Mutlak atas segala sesuatu.
Postulat al-Qur'an tentang kepemilikan di atas merupakan titik pijak untuk melahirkan rumus turunan yang disebut sebagai prinsip-prinsip fundamental  kepemilikan antara lain: sumber daya adalah hak Allah;[11] sumber daya adalah amanat;[12] cara memperoleh yang benar.[13] Secara umum, pernyataan-pernyataan al-Qur'an menjelaskan pengakuan dua tingkat kepemilikan, yakni kepemilikan nyata dan mutlak, dan kepemilikan terbatas dan merupakan mandat dari Pemilik Mutlak. Allah adalah pemilik sejati dan mutlak atas seluruh kekayaan.[14]

Tabel 2
Perbandingan Teori Kepemilikan dan Implikasinya
Teori
Prinsip
Implikasi
Libertarianisme
·         Pada awalnya dunia ini tidak ada yang memiliki
·         Absolutisme self-interest
·         Kepemilikan individu mutlak
·         Kepentingan diri berada di atas segalanya
·         tidak mengenal fungsi sosial kekayaan;
·         pajak dan retribusi sosial semacamnya merupakan perampasan atas kepemilikan pribadi; enggan menerima hak kepemilikan publik dan cenderung meminimalkan barang-barang publik  untuk kesejahteraan sosial
·         privatisasi atas sumber daya publik dan HaKI
Egalitarianisme Radikal
·         Kebebasan individu dibatasi
·         Absolutisme kepemilikan kolektif
·         Kepentingan kolektif sebagai panglima;
·         negara cenderung totaliter karena akumulasi kekuasaan politik dan ekonomi;
·         elite penguasa sebagai personifikasi negara 
Etika al-Qur'an
·         Kepemilikan individu terbatas
·         Kepemilikan kolektif dijamin
·         Sumber daya bukan kepemilikan eksklusif
·         Ada fungsi sosial dalam kepemilikan pribadi baik melalui sarana wajib maupun sukarela;
·         kepemilikan kolektif untuk kesejahteraan bersama;
·         sumber daya menjadi hak bersama semua spesies makhluk hidup yang perlu dijaga kelestariannya;
·         menolak privatisasi atas sumber daya milik publik dan HaKI atas kekayaan milik bersama masyarakat

Sejalan dengan postulat dan prinsip-prinsip kepemilikan, al-Quran memperkenalkan keunikan konsep tentang kepemilikan pribadi. Ini terletak pada fakta bahwa legitimasi "kepemilikan tergantung pada usaha/kerja yang melekat padanya".[15] Al-Qur'an hadir dengan mempertahankan moderasi, keseimbangan  antara dua hal, yaitu  mengakui kepemilikan pribadi dan kepemilikan untuk mengamankan distribusi kesejahteraan yang sangat luas dan menguntungkan melalui institusi-institusi  yang dibangunnya. 
Pangkal kepemilikan publik berpijak pada ayat: “Dia Allah yang telah menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu”.[16] Ada sumber daya alam bebas yang diciptakan Allah untuk seluruh manusia, seperti air, ruang angkasa, dan sumber daya laut. Sumber daya lain seperti mata air, hutan dan bumi, kehidupan liar, dan sumber daya bumi  seperti bahan tambang, mineral, minyak bumi fosil, adalah milik kolektivitas penduduk yang tinggal di wilayah yang mengandung sumber daya tersebut, seperti dinyatakan hadis berikut:
“Dari Ibnu Abbas berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Kaum Muslim itu beryarikat dalam tiga hal, yakni (kepemilikan) air, rerumputan (hutan) dan api (sumber energi), dan menjualnya adalah haram.   Abu Said berkata, yaitu air yang mengalir.”[17]

b.      Prinsip-prinsip Keadilan dalam Produksi
Persoalan utama dalam perekonomian adalah bagaimana menjawab problem kelangkaan sebagai akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan masyarakat dengan faktor-faktor produksi yang tersedia (sumber daya, modal, tenaga kerja dan manajemen).  Kebutuhan dasar manusia terbentang dari kebutuhan yang sifatnya individual (private goods) seperti sandang, pangan dan papan, dan kebutuhan publik (public goods) seperti pendidikan, kesehatan dan ilmu pengetahuan dan teknologi.   Dua bentuk kebutuhan tersebut  merupakan sarana kehidupan yang tak terelakkan. Untuk memastikan keseimbangan dua kebutuhan tersebut, penggunaan dan penguasaan serta faktor-faktor produksi, serta proses produksi harus berada dalam kerangka keadilan.
Sumber daya alam adalah sarana utama dalam produksi guna memenuhi kebutuhan dasar manusia yang sifatnya universal.[18] Al-Qur'an secara meyakinkan percaya bahwa sumber daya itu tersedia dalam kadar yang "cukup"  untuk memenuhi kebutuhan manusia dan seluruh makhluk non-manusia. Namun sumber daya  itu tidak dapat mencukupi keinginan-keinginan manusia yang rakus dan tanpa batas.
Pandangan al-Qur'an tentang sumber daya berbeda dengan keyakinan dari Prinsip Libertarian dan Rawlsian. Kaum Libertarian percaya bahwa sumber daya alam itu tidak terbatas dan karenanya tidak penting untuk dipertimbangkan dalam faktor pembangunan dan pendapatan nasional. Dua faktor yang menentukan pembangunan dan pendapatan nasional adalah sumber daya manusia atau tenaga kerja dan modal. Sementara itu, Prinsip Rawls yang menjadi dasar bagi welfare state meyakini sumber daya itu barang langka, namun tetap tidak diperhitungkan dalam faktor-faktor pembangunan dan pendapatan nasional. Dengan demikian, dua prinsip di atas pada hakikatnya sama-sama tidak menaruh kepedulian atas faktor sumber daya  sebagai bagian penting dalam  menentukan kelanjutan pembangunan dan pendapatan nasional.
Al-Qur’an juga mengenal  konsep tentang modal, yakni  segala sesuatu yang melibatkan campur tangan manusia (kerja, man made) dan penggunaan sumber daya alam dalam proses produksi. Secara kategoris bahwa kekayaan hasil tangan manusia sebagai modal dapat dibedakan secara bertingkat menjadi tiga tingkatan: Al-Rizq: kekayaan/modal sebagai faktor produksi yang masih mungkin di dalamnya terdapat unsur atau cara memperoleh yang halal dan atau haram; Al-Fad}l: kekayaan/modal sebagai faktor produksi yang diusahakan melalui cara-cara yang halal, inilah yang disebut sebagai “modal bebas korup”; dan Al-T}ayyibah: kekayaan/modal sebagai faktor produksi yang memiliki 3 indikator: Dari segi substansinya  ia tidak bercampur antara yang halal dan haram, tidak membahayakan jiwa dan akal, dan banyak manfaatnya.  Dari segi cara memperolehnya halal. Dari segi dampaknya, ia peduli pada  kelestarian lingkungan, menjamin kelangsungan keanekaragaman hayati,  swasembada pangan, bebas polusi udara dan air,  dan sanitasi lingkungan. Inilah yang disebut sebagai “modal bebas korup dan ramah lingkungan”.
Tiga hierarki modal di muka, memperkuat prinsip al-Qur'an tentang pendayagunaan sumber daya alam dan lingkungan yang tidak dikenal dalam prinsip keadilan manapun. Campur tangan manusia atas sumber daya sebagai faktor produksi perlu memperhitungkan secara cermat ketersediaannya secara lestari. Karena itu, modal sebagai intervensi manusia yang juga merupakan faktor produksi mesti memasukkan pertimbangan cara-cara intervensi yang benar dan memiliki dampak positif bagi lingkungan.
Ketersediaan sumber daya alam tidak ada manfaatnya bila manusia sendiri tidak produktif. Sumber daya alam akan memberikan kegunaan  dengan daya dukung aktivitas produksi. Islam mengandaikan berbagai macam aktivitas ekonomi seperti pertanian, peternakan, perdagangan, industri, dan pekerjaan dalam berbagai profesi.  Secara eksplisit al-Qur'an menyebutkan istilah kerja dengan kasb. [19] Pekerja akan produktif jika ia memiliki etos kerja yang tercermin dalam ikhtiar, [20] yakni kebebasan manusia untuk menentukan nasib dirinya sendiri. Al-Qur'an, kemudian, menegaskan bahwa manusia hidup untuk bekerja sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai pemakmur dunia. Oleh karena itu, tiada jalan yang lebih baik untuk memenuhi fungsi kekhalifahan ini melainkan berbuat ihsan, mengisi waktu dengan kerja profesional dan aktivitas produktif.[21] Profesionalisme dan produktivitas kerja manusia juga dipengaruhi oleh motivasi intrinsik. Untuk mencapai suatu kehidupan sosial-ekonomi yang berkeadilan diperlukan motivasi individu yang benar sebagai suatu mekanisme filter yang baik.
Dalam Prinsip Libertarianisme, kepentingan pribadi adalah motivasi utama bagi individu untuk memaksimalkan efisiensi sementara persaingan akan berperan sebagai pembatas kepentingan pribadi dan membantu menjaga kepentingan sosial. Libertarianisme hanya percaya bahwa keadilan dan efisiensi dapat dicapai jika dan hanya jika secara otomatis dengan mengejar kepentingan pribadi, bukan kepentingan umum. Karena dua kepentingan ini tidak selalu selaras, memungkinkan orang-orang kaya untuk menyelewengkan sumber daya yang langka guna memenuhi keinginan-keinginan mereka yang tidak penting bahkan mengorbankan pemenuhan barang-barang untuk kepentingan mereka yang kurang beruntung. Prinsip Egalitarianisme Radikal mengasumsikan  bahwa mengejar kepentingan pribadi mesti akan merugikan kepentingan sosial; jalan keluarnya diusulkan agar kepentingan pribadi dihapuskan dan dikontrol oleh negara untuk mengawal kepentingan sosial. Egalitarianisme mencegah individu mengejar kepentingan pribadi, ia mencerabut dirinya dari mekanisme agar individu bekerja secara efisien.
Prinsip al-Qur'an secara tegas mengasumsikan bahwa kepentingan pribadi tidak selalu merupakan motivasi yang buruk. Kepentingan pribadi akan berbahaya bagi masyarakat jika melampaui batas-batas kemanusiaan dan tidak diarahkan untuk menciptakan suatu masyarakat yang menjadikan persaudaraan dan keadilan sosio-ekonomi sebagai tujuan  utamanya. Ada mekanisme yang efektif di sini dan perlu diciptakan untuk mendorong individu agar bekerja demi kepentingan masyarakat, sembari mengakui bahwa kepentingan pribadi adalah suatu keniscayaan. Keseimbangan antara dua kepentingan ini digariskan oleh al-Qur'an melalui  prinsip tolong-menolong dalam kebajikan dan takwa (ta`a>wun `ala> al-birr wa al-taqwa>).[22]
Sebagai akibat perbedaan etos kerja, bakat bawaan dan ketrampilan yang diajarkan, “perbedaan”  pada prinsipnya merupakan keniscayaan dan hakikat dari kehidupan alamiah yang tak bisa ditolak. Perbedaan merupakan pijakan nyata untuk menciptakan keseimbangan ekonomi. Kaya dan miskin, majikan dan buruh, pemilik dan penggarap tanah, atasan dan bawahan, adalah dua status dan fungsi dalam relasi ekonomi “kemitraan”. Yakni  suatu relasi kerjasama dan partisipasi, saling memanfaatkan untuk keuntungan bersama,[23] bukan hubungan atas-bawah yang berbingkai eksploitasi dan opresif.
Hubungan antara tenaga kerja atau buruh dan modal  selalu mewarnai kegiatan ekonomi. Hubungan keduanya sering menimbulkan konflik dan ini sudah lama terjadi dalam dunia perekonomian. Konflik semacam ini menghasilkan dampak buruk yang rumit. Hingga kini konflik industri  belum pernah diatasi secara substansial oleh Prinsip Libertarian. Sementara itu,  Prinsip Egalitarianisme Radikal terlalu mengedepankan  protes dalam hubungan antara tenaga kerja dan modal. Karl Marx mengembangkan teori nilai  dan surplus nilai. Menurut teori nilai, nilai komoditas apa pun merupakan hasil kaum pekerja dan karenanya produk-produknya harus dibagi secara sosial.  Modal adalah sekumpulan jasa tenaga kerja pada masa                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               lalu dan menjadi hak pekerja.[24] Kapitalis menjual komoditas di pasar dengan harga yang sama dengan jumlah tenaga kerja yang digunakan dalam produksi. Pada saat yang sama,  pekerja tetap hidup subsistens. Akibatnya, surplus nilai hanya dinikmati kaum Kapitalis. Ini tentu saja melahirkan eksploitasi tenaga kerja oleh modal.[25]
Persoalan ini bersumber dari kenyataan bahwa kepemilikan dan penguasaan modal hanya menjadi hak bagi kapitalis. Sementara tenaga kerja tidak berpatisipasi dalam proses penguasaan faktor-faktor produksi. Tenaga kerja sebagai bagian dari faktor produksi tidak dihitung sebagai penyertaan modal oleh kaum Kapitalis. Karenanya eksploitasi tidak dapat terelakkan.
Al-Qur'an mencoba memberikan solusi atas konflik industri berbasis relasi tenaga kerja dan modal melalui prinsip kemitraan  yang termanifestasi dalam dua bentuk kerjasama, yakni musha>rakah  dan mud}a>rabah. Dua bentuk kerjasama ini pada dasarnya merupakan cerminan dan manifestasi dari prinsip keadilan (`adl), altruisme (ih}sa>n) dan meritokrasi (nas}i>b). [26]
Keadilan juga harus menjadi kerangka proses produksi. Oleh karena kebutuhan harus terus tersedia sepanjang masa, proses produksi perlu mempertimbangkan faktor-faktor non-ekonomi, utamanya kelestarian sumber daya alam yang dapat menjamin kesinambungan spesies manusia dan non-manusia. Ekologi, dengan demikian, perlu berada di dalam kalkulasi  aktivitas produksi, dan aktivitas ekonomi pada umumnya. Rasionalitas ini menyadarkan bahwa efisiensi dalam aktivitas produksi adalah terbatas dan bergantung kepada kondisi-kondisi  yang berada di luar ekonomi itu sendiri.
Karena itu, al-Qur'an menegaskan relasi yang seimbang (tawa>zun) antara manusia dan alam. Alam bukanlah proyek promothean (seperti prinsip Libertarian), yang  menjadi "objek" bagi manusia; [27] Bumi ini diciptakan menjadi hak bagi semua komunitas makhluk yang ada di dalamnya.[28] Mempertimbangkan sumber daya alam dan lingkungan serta hak-hak ekologis dari spesies di luar manusia,  proses produksi yang melibatkan teknologi perlu memperhatikan kelestarian dan mempertahankan keseimbangan ekologis yang dibutuhkan untuk kehidupan dan memihak kepada perkembangan dan otonomi dari individu-individu dan komunitas-komunitas yang bersifat ramah lingkungan. Al-Qur'an menyebutnya dengan ungkapan "bersyukur", agar negeri yang damai dan sejahtera, baldah t}ayyibah, [29] dapat menjadi kenyataan.

Tabel 3
Perbandingan Teori Produksi dan Implikasinya
Teori
Prinsip
Implikasi
Berbasis Balasan
·         setiap orang harus diberi balasan/upah berdasarkan: kontribusi aktual dan usahanya
Meritokrasi murni minus ih}sa>n
Egalitarianisme Radikal
·         kepentingan sosial sebagai motif utama;
·         setiap orang harus memiliki tingkat yang sama dalam kebutuhan barang dan jasa
Sama rata sama rasa mengabaikan sunnatullah tentang perbedaan
Libertarianisme
·         sumber daya alam itu tidak terbatas;
·         kepentingan pribadi sebagai motif utama dalam berusaha
·         Sumber daya alam tidak penting sebagai faktor pembangunan dan pendapatan nasional;
·         eksploitasi tanpa batas merusak sumber daya alam dan lingkungan
Prinsip Perbedaan
·         kekayaan/pendapatan yang lebih banyak untuk mereka yang lebih produktif
Meritokrasi murni minus ih}sa>n
Rawlsianisme
·         sumber daya alam itu barang langka;
·         ketidaksamaan untuk saling menguntungkan secara fair
(inkonsisten) sumber daya alam bukan  faktor pembangunan dan pendapatan nasional
Etika al-Qur'an
·         sumber daya alam  cukup  untuk memenuhi kebutuhan,  bukan  keinginan tanpa batas;
·         keseimbangan kepentingan pribadi dan sosial;
·         ikhtiar menentukan nasib individu;
·         Individu menerima apa yang menjadi haknya  berdasarkan usaha, tanpa sepenuhnya memandang kontribusi aktualnya;
·         Perbedaan untuk saling mengambil manfaat, kompetisi, kerjasama, dan ih}sa>n;

·         sumber daya alam penting dalam produksi, penentu kelanjutan pembangunan; satu variable dalam pendapatan nasional; 
·         usaha adalah kewajiban individu dan hasilnya merupakan hak;
·         ketidaksamaan adalah untuk prestasi dan kebajikan bersama. 
c.  Prinsip-prinsip Keadilan dalam Konsumsi
Produksi dan konsumsi adalah dua aspek ekonomi yang berpasangan. Dalam ilmu ekonomi, konsumsi adalah permintaan (demand), sedangkan produksi adalah penawaran (supply).  Konsumsi adalah tahapan terakhir dan terpenting dalam produksi kekayaan. Konsumsi merupakan tujuan dari semua aktivitas produksi. Kekayaan diproduksi hanya untuk dikonsumsi.  Kekayaan yang diproduksi sekarang akan dikonsumsi besok.
Konsep tentang konsumsi dalam al-Qur’an tersurat dalam ungkapan infa>q. Kata ini dalam berbagai bentuknya tersebut sebanyak 71 kali dalam al-Qur’an. Infa>q adalah suatu   tindakan membelanjakan harta untuk kepentingan diri sendiri, untuk keperluan orang lain dan untuk kebutuhan sosial suatu komunitas dalam rangka  meraih keridhoan Allah.
Secara fundamental prinsip keadilan ekonomi dalam al-Qur’an mengambil posisi berbeda dalam hal konsumsi dengan pendekatan ekonomi Libertarian. Perbedaannya terletak pada cara atau pendekatan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia.  Keadilan ekonomi dalam al-Qur'an tidak menghendaki dan mengakui  pola konsumsi yang murni materialistik. Semakin  tinggi manusia menaiki tangga peradaban, konsumsi lebih dibayang-bayangi oleh keinginan-keinginan psikologis. Selera artistik, gaya hidup snobbish (bergelimang kemewahan), dorongan untuk pamer  -- semua faktor psikologis ini memainkan peran yang sangat dominan  dalam menentukan bentuk-bentuk lahiriah konkret dari keinginan-keinginan psikologis tersebut.[30] Peradaban modern telah menghancurkan kesederhanaan; peradaban materialistik mewarnai kesenangan yang terus membuat keinginan-keinginan manusia menjadi sangat bervariasi dan banyak dan kesejahteraan ekonomi hampir hanya diukur  dari berbagai karakter keinginannya itu yang diupayakan untuk dicapai melalui sarana-sarana  tertentu.
Cara pandang tentang kehidupan dan kemajuan  ini berseberangan dengan konsepsi al-Qur’an.  Etika keadilan al-Qur’an berusaha mereduksi kebutuhan material manusia yang eksesif dengan maksud untuk menekankan energi spiritual manusia dalam pencarian duniawi. Pertumbuhan batiniah lebih dari sekadar ekspansi lahiriah merupakan ideal tertinggi manusia dalam hidup ini. Kemajuan tidak semata diukur dari standar hidup yang tinggi yang berimplikasi pada perluasan keinginan secara tanpa batas, sehingga meningkatkan ketidakpuasan terhadap apa yang sudah dicapai. Kepuasan bukan semata tingkat konsumsi tertinggi sebagaimana diyakini oleh Teori Pertumbuhan Ekonomi yang secara prinsip mengadopsi keadilan Libertarian.
Sejak awal al-Qur'an memberikan kebebasan memilih (freedom of choice) pada semua orang  untuk mengonsumsi segala sesuatu yang menyenangkan dan disukai, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sosial tradisional dan perbedaan temperamental mereka.  Al-Qur'an hanya memberikan rambu proporsionalitas berupa perilaku tengah-tengah dalam konsumsi[31] – antara asketisme yang sembunyi dari kesenangan dunia di satu sisi, dan materialisme yang membenamkan manusia dalam kesenangan inderawi dan hedonisme kehidupan; tidak melampaui batas maksimal (berlebihan, boros, dan mewah) atau batas minimal (kikir dan bakhil); keterbatasan sumber daya ekonomi (untuk memenuhi keinginan) merupakan pertimbangan utama bagi efisiensi dan prioritas (awla>wiyah) dalam pemenuhan kebutuhan berdasarkan preferensi d}aru>riyya>t, h}a>jiyya>t, dan tah}si>niyya>t.[32].
Membelanjakan kekayaan untuk kebutuhan dan keinginan pribadi bukanlah hal buruk sejauh kebutuhan dan keinginan itu  tidak akan membahayakan kelangsungan (sustainability) hidup dirinya dan masyarakat umumnya. Memenuhi dan memanfaatkan kebutuhan pribadi harus berada dalam kerangka dan batasan-batasan tertentu agar konsumsi  atas sumber daya tidak melanggar "rambu-rambu ekologis dan kemanusiaan" dan menjamin keberlangsungan masa depan. Konsumsi  tidak semata berorientasi keduniaan dan berjangka pendek, namun juga untuk memastikan kehidupan jangka panjang dengan bekerja untuk kesejahteraan ekologis dan kemanusiaan melalui suatu pengurangan dalam pemborosan dan konsumsi yang tidak penting meskipun ia memiliki kekayaan yang cukup untuk mendapatkannya.
Perilaku konsumsi harus berpijak pada prinsip keselamatan, yakni sustainability dan investasi masa depan secara kontinyu. [33] Untuk itu, al-Qur’an menegaskan dalam beberapa ayatnya tentang berjuang untuk kesinambungan generasi dan masa depan, [34] kemakmuran bumi (`isti`mar fi al-ard})  dan, sekaligus larangan melakukan kerusakan atas lingkungan (fasa>d fi al-ard}, `ayth fi al-ard}).[35] Inilah yang dimaksud sebagai prinsip solidaritas kemanusiaan dan lingkungan (h}ifz} al-bi>’ah).

Gambar 1
Teori Batas-batas Konsumsi


 
Berlebih-lebihan (isra>f)
Pemborosan (tabdhi>r)
Bermewah-mewahan (taraf/bat}ar)
Batas Atas/maksimal
d}aru>riyya>t
                         Al-infa>q: konsumsi bersahaja           preferensi                         h}a>jiyya>t
tah}si>niyya>t
Batas Bawah/minimal








 
Kikir (qatr),
Bakhil (bukhl)


Perilaku konsumsi dalam konteks al-Qur'an mempunyai hubungan erat dengan komitmen rasional dan moral. Al-Qur'an menggarisbawahi cara memanfaatkan dan mengeluarkan kekayaan dibangun atas fondasi nilai keadilan. Ada perbedaan mendasar antara Prinsip Libertarianisme yang menjadi falsafah Kapitalisme, dan anak kandungnya Sosialisme yang mendasarkan diri pada Prinsip Egalitarianisme Radikal, dengan prinsip al-Qur'an. Perilaku konsumen menurut Kapitalisme bersumber dari "rasionalisme ekonomi" dan Prinsip Utilitarianisme (Prinsip Berbasis Kesejahteraan). Rasionalisme ekonomi menafsirkan perilaku manusia berdasarkan pada kalkulasi kaku yang diarahkan semata untuk keberhasilan ekonomi. Keberhasilan ekonomi dimaknai secara definitif sebagai menciptakan uang dari manusia. Perolehan kekayaan apakah dalam bentuk uang maupun komoditas, merupakan tujuan utama kehidupan. Sementara Prinsip Utilitarianisme berfungsi sebagai sumber nilai-nilai dan sikap moralnya. "Kejujuran hanya bermanfaat bila dapat memastikan kredit atau keuntungan, sehingga bersifat tetap dan  industrial."[36]  Dualitas yang memunculkan perilaku konsumen ini menitikberatkan pada maksimalisasi utilitas  sebagai tujuan utama konsumsi. Utilitas harus dimaksimalkan sebagai bagian dari manifestasi homo-economicus yang tujuannya adalah mencapai tingkat tertinggi perolehan ekonomi dan stimulusnya adalah sense of money.

Tabel 4
Perbandingan Teori Konsumsi dan Implikasinya
Teori
Prinsip
Implikasi
Libertarianisme
·      Motif: murni materialistik, memuaskan keinginan tanpa batas
·      Tujuan: pertumbuhan ekonomi
·      Kebebasan: manusia bebas mempergunakan kekayaannya tanpa seorang pun berhak intervensi kecuali atas seijin pemiliknya
·      Tingkat konsumsi tertinggi memola dan mendorong gaya hidup snobish, hedonistik;
·      mindless consumerism (pemilikan atas hubungan/relasi sosial);
·      eksploitasi tanpa batas atas sumber daya  alam dan lingkungan
Prinsip Berbasis Sumber Daya
·      setiap orang  tidak boleh merasakan penderitaan akibat lingkungannya;
·      setiap orang yang memilih bekerja keras untuk memperoleh pendapatan lebih besar tidak dikehendaki untuk menyubsidi atau membantu mereka yang kurang pendapatannya
Menunjukkan sikap asosial terhadap kenyataan yang terjadi di lingkungan sekitar
Etika al-Qur’an
·         Motif: energi spiritual dalam pencarian duniawi, memenuhi kebutuhan dan keinginan rasional
·         Tujuan: Pertumbuhan batiniah lebih dari sekadar ekspansi lahiriah merupakan ideal tertinggi manusia dalam hidup ini
·         Hierarki dan Prioritas:  cara bagaimana sumber daya dapat dikonsumsi secara proporsional dan menurut tingka keutamaannya
·         H}ifz} al-bi>’ah: Solidaritas sosial dan lingkungan
·         Proporsionalitas: sikap tengah-tengah antara asketisme yang sembunyi dari kesenangan dunia dan materialisme yang membenamkan manusia dalam kesenangan inderawi dan hedonisme kehidupan; menumbuhkan empati terhadap yang kurang beruntung;
·         antisipatif dan responsif atas terjadinya ancaman kelangkaan sumber daya alam dan kemerosotan lingkungan

Al-Qur'an menawarkan satu bentuk rasionalitas lain yang bertumpu pada tiga hal pokok. Pertama, berbasis pada tauhid dan keyakinan akan hari keadilan – interrelasi erat kehidupan dunia dan akhirat—mempunyai dua akibat: (1) hasil dari pilihan tindakan manusia berakibat langsung di dunia (ajr al-dunya>) dan  di akhirat (ajr al-a>khirah),[37] karena itu utilitas yang berasal dari pilihan tindakan tersebut merupakan totalitas nilai dari dua akibat di atas;   (2) sejumlah alternatif penggunaan pendapatan ditingkatkan dengan memasukkan semua keuntungan yang hanya didapat pada hari akhir (ajr al-a>khirah).[38] Alternatif penggunaan itu antara lain untuk memberikan bantuan secara cuma-cuma orang miskin dan membutuhkan, memelihara binatang, menabung untuk kesejahteraan generasi mendatang dan memperbaiki kehidupan komunitas yang balasannya tidak bersifat langsung bagi individu.
Kedua, keberhasilan dalam al-Qur'an dimaknai sebagai "perkenan Allah" dan bukan akumulasi kekayaan. Penggunaan sumber daya alam dan sumber daya manusia bukan hanya keistimewaan, namun juga kewajiban dan tugas khalifah yang dipersembahkan pada Allah.[39] Oleh karena itu, kemajuan dan kesempurnaan material  berada dalam nilai-nilai moral. Ketiga, harta apakah dipandang sebagai kekayaan atau pendapatan, adalah karunia Allah.[40]

d.      Prinsip-prinsip Keadilan dalam Distribusi dan Redistribusi
Persoalan distribusi berhubungan erat dengan pertanyaan: untuk siapa kita melakukan kegiatan produksi? Bagaimana  produksi nasional akan didistribusikan di antara faktor-faktor produksi yang berbeda-beda? Bagaimana mengatasi problem ketidaksamaan sebagai akibat dari distribusi? Ini merupakan tiga pertanyaan utama yang dihadapi oleh setiap masyarakat dengan sistem ekonomi apa pun yang menjadi anutannya.
Distribusi sebagaimana dirujuk oleh istilah du>lah[41] dalam al-Qur’an merupakan landasan pentingnya peradaran harta, kekayaan dan pendapatan agar tidak terkonsentrasi di tangan orang-orang tertentu yang sudah kaya atau berkecukupan secara ekonomi.[42] Di samping pernyataan langsung tentang perlunya pendapatan dan kekayaan didistribusikan sehingga tidak terjadi konsentrasi, al-Qur’an juga menyebutkan tiga macam tindakan yang mencegah terjadinya proses distribusi yang adil, yakni larangan menimbun harta (al-iktina>z),[43] bermegah-megahan yang melalaikan (al-taka>thur), [44] dan celaan atas penumpukan harta dan terlalu “perhitungan” (jama`a ma>l wa `addadah). [45]
Untuk menjalankan proses distribusi dibutuhkan basis legitimasi. Yang dimaksud basis adalah kriteria  atau prinsip apa pun yang menentukan dan berlaku bagi siapa saja yang memiliki hubungan nyata dengan kekayaan dan pendapatan.  Kriteria distribusi yang memungkinkan cukup banyak dan inilah yang  menyebabkan perbedaan natural atau perbedaan perolehan antara individu-individu. Kriteria itu meliputi: pertukaran, [46] kebutuhan, [47] kekuasaan, [48] dan sistem sosial atau nilai etis.
Sintesis dari kriteria pertukaran dan kebutuhan di muka berbeda dengan Prinsip Berbasis Balasan yang memandang kriteria "usaha" dan "kontribusi aktual" sebagai basis distribusi. Kriteria usaha diterima oleh al-Qur'an karena "setiap orang tidak akan menerima kecuali apa yang ia usahakan". Namun, kriteria kontribusi aktual tidak sepenuhnya diterima karena beberapa alasan: bahwa dalam harta dan kekayaan seseorang ada hak bagi mereka yang kurang beruntung; mereka yang memiliki tanggung jawab memberi nafkah kepada keluarga dengan sendirinya memperoleh tunjangan lebih daripada mereka yang bujangan; dan dengan ketulusan dan kesukarelaan seseorang diperbolehkan berkorban untuk orang lain sehingga bagiannya ia distribusikan kepada mereka yang membutuhkan.
Skema distribusi perlu didefinisikan melalui sejumlah ukuran dan kebijakan distribusi yang dipandu oleh aturan-aturan syariah dengan seluruh implikasi ekonominya. Skema distribusi itu sendiri meliputi dua macam: Pertama, distribusi pra produksi atas sumber daya atau kekayaan alam, antara lain: 1) kemitraan untuk mengatasi kesenjangan antarindividu yang diakibatkan oleh perbedaan kuantitas aset produktif [49] baik berupa kepentingan publik dan beberapa jenis sumber daya alam;    2) larangan membatasi akses ekonomi[50] karena bertentangan dengan prinsip kemitraan atas manfaat kekayaan alam dari tanah yang tidak bertuan; 3) merampas tanah yang tidak produktif[51] untuk tujuan produktif melalui mekanisme iqt}a>`[52];         4)  regulasi barang tambang untuk kesejahteraan publik[53]; 5) efisiensi sumber daya air dan sumber daya alam terbarukan.
Kedua, regulasi distribusi output produksi (kekayaan dan pendapatan) antara lain: 1) berbagi surplus pemanfaatan modal produksi[54];  2) warisan untuk pemerataan kekayaan[55]; 3) zakat sebagai wujud solidaritas sosial[56]; 4) wakaf sebagai filantropi sosial[57]; 5) hadiah tanpa pamrih[58]; 6) al-fay’,[59] al-ghani>mah[60] dan rika>z[61] untuk kesejahteraan bersama.
Memberikan surplus pemanfaatan modal berupa aset-aset tetap memperkuat penolakan al-Qur'an terhadap Prinsip Berbasis Balasan yang mengharuskan adanya kompensasi terhadap apa pun dalam aktivitas produksi, termasuk di dalamnya surplus modal harus diganti dengan biaya bagi mereka yang ingin mempergunakannya. Sistem warisan kekayaan memberikan argumen atas penolakan al-Qur'an terhadap pernyataan Prinsip Berbasis Balasan bahwa setiap orang harus menerima balasan sesuai dengan kontribusi aktualnya. Warisan mendistribusikan dan mentransfer kekayaan dari orang meninggal kepada anggota keluarganya yang berhak tanpa memandang apakah anggota keluarga itu memberi kontribusi atau tidak atas kekayaan orang meninggal. Distribusi zakat merupakan bantahan atas Prinsip Libertarian Nozick yang menyatakan bahwa pajak apa pun atas pendapatan dan kekayaan (dan pungutan semisalnya termasuk zakat) oleh negara merupakan pelanggaran atas hak-hak kepemilikan eksklusif (self-interest) karena membiarkan orang untuk memiliki sebagian hak orang lain; pajak dapat dikatakan sama dengan kerja paksa; tidak adil seseorang bekerja untuk kepentingan orang lain. Di sisi lain,  tampak jelas bahwa praktek zakat merupakan bantahan atas Prinsip Berbasis Balasan tentang "kontribusi aktual". Pengeluaran zakat dari  kepemilikan pribadi adalah sah dan penerima zakat juga sah memperoleh sekaligus memiliki bagian itu tanpa memandang kontibusi aktualnya. Berbeda dengan Prinsip Berbasis Kesejahteraan atau Utilitarianisme yang berupaya memaksimalkan kesejahteraan  masyarakat dengan mengorbankan sekelompok kecil lainnya,  institusi wakaf bekerja dengan logika kepentingan publik (al-mas}lah}ah al-`a>mmah). Artinya, demi kepentingan publik, individu diperkenankan mewakafkan harta/kekayaannya dengan pengorbanan tulus. Dengan kata lain, individu berkorban demi kesejahteraan masyarakat, bukan sebaliknya atas nama kesejahteraan masyarakat kepentingan individu atau kelompok kecil dikorbankan.
Sedangkan skema distribusi pendukung meliputi: larangan atas riba sebagai eksploitasi terhadap mereka yang lemah[62]; larangan atas penimbunan harta; dan larangan atas monopoli.
 Meski tiga skema distribusi di atas  sudah dijalankan, masih ada kemungkinan kemiskinan dan ketertindasan. Problem ini juga menjadi perhatian beberapa prinsip keadilan kontemporer seperti Prinsip Perbedaan dan Prinsip  Rawls. Prinsip Libertarian Nozick sebenarnya juga menyediakan bagaimana meralat (rectification) ketidakadilan masa lalu, namun ia tidak membuat upaya sistematis dari prinsip ralat tersebut, bahkan pada akhirnya ia menyerahkan tugas ralat ketidakadilan ini kepada Prinsip Perbedaan.
Secara jelas al-Qur’an menunjukkan keberpihakan terhadap orang-orang miskin dan tertindas. Populasi kaum mustad}`afi>n baru yang merupakan produk dari kecenderungan politik dan ekonomi struktural selama tiga dekade terakhir, akan terus tumbuh dan meningkat lebih-lebih setelah periode krisis ekonomi yang meluas. Keadaan semacam ini membuat populasi mereka akan menjadi subkultur yang menyebar mulai dari krisis perumahan dan pekerjaan, penyusutan besar dalam belanja sosial, perubahan-perubahan pada level makro ekonomi, strategi pembangunan kembali potensi lokal, dan sejumlah sebab-sebab lain.
Oleh karena itu, problem kemiskinan dan ketertindasan saat ini lebih mencerminkan kemiskinan, pemiskinan dan penindasan “struktural”. Maka, diperlukan proses redistribusi secara sistemik untuk dapat mengangkat derajat mereka yang kurang beruntung dari ketidakberdayaan, ketidakpastian dan kelangkaan. Merujuk kepada  al-Qur’an surat al-Anfa>l 8: 26, upaya-upaya keberpihakan terhadap eksistensi mereka dapat meliputi dua hal – layanan sosial-karitatif dan pemberdayaan sosial. Yang pertama bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka agar tetap survival; yang kedua bermaksud untuk mengangkat “kapasitas” dan “otoritas” mustad`afin agar sustainable.
 “Peningkatan kapasitas” berupa membuka akses atau peluang bagi mereka untuk   memperoleh pendidikan, pelayanan kesehatan  dan ketrampilan (life skill) sehingga tidak lagi menjadi orang yang lemah fisik maupun mental. Pendidikan yang murah, peningkatan ketrampilan dan akses pelayanan kesehatan yang mudah mendorong terjadinya peningkatan kualitas hidup, potensi mereka dapat dikembangkan dan ketrampilan hidupnya (life skills) meningkat signifikan. Dengan cara ini, kaum mustad}`afi>>n memiliki posisi tawar yang lebih baik dan diharapkan dapat meningkatkan derajat kelayakan hidup secara memadai. Akses lain yang dibutuhkan kaum mustad}`afi>n adalah kemudahan memperoleh sumber daya air bersih. Air bersih sangat penting tidak semata untuk bertahan namun juga mengatrol mutu hidup mereka. Karena itu, segala tindakan ekonomi yang membatasi akses mereka kepada air bersih atau membuat mereka tidak mampu memperolehnya secara gratis, merupakan pelanggaran serius terhadap hak kepemilikan publik  terhadap air sebagaimana rezim Neoliberalisme memaksakan  proses privatisasi sumber daya air.

Tabel 5
Perbandingan Teori Distribusi dan Implikasinya
Teori
Prinsip
Implikasi
Libertarianisme
·         hak-hak kepemilikan eksklusif (self-interest)
·         hak-hak absolut atas distribusi dunia secara tidak proporsional.

·         pajak pendapatan dan kekayaan dan pungutan semisalnya oleh negara merupakan pelanggaran hak milik karena membiarkan orang untuk memiliki sebagian hak orang lain; pajak sama dengan kerja paksa;
·         Kebebasan membolehkan ketidakadilan distributif tidak ada konsep tentang tanggung jawab sosial untuk mengatasi kelangkaan, ketidakberdayaan, dan ketidakpastian mereka yang kurang beruntung
Berbasis Balasan
kompensasi terhadap apa pun dalam aktivitas ekonomi
Semua pemanfaatan modal berupa aset-aset tetap harus ditukar dengan biaya yang setimpal
Berbasis Kesejahteraan
memaksimalkan kesejahteraan  untuk sejumlah besar masyarakat
Atas nama kesejahteraan bagi masyarakat banyak, kepentingan sekelompok kecil dikorbankan
Berbasis Sumber Daya
tidak ada kewajiban atas individu maupun kolektif untuk menyubsidi mereka yang kurang beruntung.
·              Setiap orang dibuat hanya untuk bekerja dan memikirkan pendapatan bagi dirinya sendiri;
·              setiap orang tidak perlu menanggung akibat dari lingkungannya.
John Rawls
ketidaksamaan sosial-ekonomi perlu diatur sedemikian rupa sehingga ketidaksamaan itu dapat diharapkan saling menguntungkan bagi setiap orang
·         Upaya agar mereka yang kurang beruntung menjadi lebih baik dilakukan dengan cara mengurangi kesejahteraan mereka yang beruntung
·         diperlukan biaya besar untuk mencapai keadilan sosial-ekonomi
Etika al-Qur’an
·         Distribusi sumber daya alam dan lingkungan berada dalam kerangka partisipasi;
·         Redistribusi kekayaan dan pendapatan merupakan tanggung jawab bersama  untuk memastikan jaminan sosial, peningkatan kapasitas dan otoritas  bagi mereka yang kurang beruntung.
·         Menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia
·         kemitraan dalam kepemilikan kekayaan alam tertentu dapat mereduksi disparitas atau kesenjangan dalam pendapatan dan kekayaan;
·         harmoni antara  kepentingan pribadi dan kepentingan sosial, dan antara kesejahteraan individu dan kesejahteraan sosial
·         meningkatkan aktivitas perekonomian

 “Peningkatan otoritas” kaum mustad}`afi>n dalam proses pengambilan keputusan. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan), terbukanya akses dan peluang pendidikan dan ketrampilan,  serta pelayanan kesehatan yang murah dan mudah memang penting. Bagaimanapun keberpihakan itu pada akhirnya mesti memasuki wilayah politik.  Alangkah makin mantap jika pemberdayaan sosial juga mencakup pelibatan kaum tertindas dan miskin itu sebagai bagian dari warga negara dalam posisi menentukan kebutuhan dan kepentingan mereka, memutuskan kebijakan secara bersama-sama dengan kelompok sosial lainnya. Sesudah partisipasi dapat diraih, usaha berikutnya adalah memosisikan kaum mustad}`afi>n sebagai pengawas terhadap pelaksanaan kebijakan-kebijakan  atau keputusan penting bagi mereka. Partisipasi dalam pengambilan keputusan saja belum cukup. Melakukan kontrol (controling) atas bagaimana implementasi kebijakan itu berjalan memungkinkan mereka dapat menjaga dan memelihara kepentingan-kepentingan sosial-ekonomi mereka. Partisipasi dan kontrol membuat mereka memiliki otoritas dan kekuatan di hadapan  kelompok-kelompok sosial lainnya.
Dari sini bisa dilihat bahwa prinsip al-Qur’an berbeda dari Prinsip Rawls yang percaya bahwa atas dasar prospek yang sama, pendidikan dan ketrampilan  perlu diberikan kepada mereka yang kurang beruntung agar dapat meningkatkan kondisi mereka. Dalam perspektif al-Qur'an, tawaran Rawls hanya menekankan pada upaya "peningkatan kapasitas" dan mengabaikan dua upaya lain yang sama pentingnya. Yakni pemenuhan kebutuhan fisiologis yang bersifat mendesak dan peningkatan "otoritas" mereka yang kurang beruntung, yang meliputi partisipasi dan kontrol dalam proses (politik) pengambilan kebijakan dan implementasinya.

e.       Prinsip-prinsip Keadilan dalam Peran Pasar dan Negara
Persoalan penting tentang peran negara tidak dapat dilepaskan dalam perbincangan ekonomi kontemporer. Masalah ini terkait dengan bagaimana negara mengambil posisi dalam menjamin, memelihara dan mengatur berbagai kepemilikan. Ini  merupakan salah satu isu yang menentukan dalam berbagai sistem ekonomi kontemporer dan menjadi  unsur pembeda antara satu sistem dengan sistem lainnya. Kapitalisme yang berbasis Prinsip Libertarian cenderung mementingkan hak-hak dan kepemilikan individu, sementara sistem Sosialisme/Komunisme mendasarkan diri pada Prinsip Egalitarianisme Radikal dengan kepemilikan kolektif dan mengekang kebebasan individu. Kini, hampir dapat dikatakan bahwa  sistem ekonomi Neoliberal yang hidup  mempersempit wilayah otoritas negara  atas individu. Tujuannya adalah untuk mencapai  kesejahteraan ekonomi dengan memberi kebebasan penuh kepada individu.  Intervensi  dan meningkatnya otoritas negara  dikhawatirkan dapat  menekan kebebasan individu.
Kebutuhan akan  peran negara atau otoritas pusat  tak terelakkan karena kesejahteraan umat manusia  tidak mungkin kecuali  berada dalam sebuah sistem sosial dan dengan kerjasama. aktivitas ekonomi perlu dijamin melalui suatu sistem pemerintahan  yang mengemban batasan-batasan moral agar diberlakukan, dan ia bertanggung jawab  atas semua peran yang diamanahkan tersebut.  Peran negara ini tidak lain dalam rangka untuk menciptakan tatanan ekonomi yang berkeadilan. [63]
Dari sudut pandang legitimasi, prinsip al-Qur'an secara tegas mengundang peran negara dalam menata dan menegakkan keadilan sosial-ekonomi. Prinsip ini bersebrangan dengan Prinsip Libertarian Nozick yang enggan memberi legitimasi kepada campur tangan negara dalam bidang ekonomi kecuali dengan porsi yang sangat kecil. Teori entitlement yang dikemukakan oleh Nozick dalam rangka mempertahankan the minimal state. The minimal state dalam sistem Neoliberalisme dilucuti sedemikian rupa melalui rejim privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi. Sementara itu, Prinsip Rawls yang banyak diadopsi untuk mempertahankan welfare state kiranya bermain pada posisi tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme, meskipun Rawls sendiri tidak pernah secara eksplisit mengundang intervensi negara.
Tiga peran penting negara dalam melakukan intervensi aktivitas ekonomi secara relatif terbatas, yakni menyangkut negara sebagai pemilik dan produsen, redistributor kekayaan dan pendapatan, serta regulator kehidupan perekonomian.
Peran pertama mengandaikan bahwa semua yang berkaitan dengan kebutuhan hidup semua penduduk dan warga negara harus berada di bawah kendali negara baik kepemilikan maupun pengelolaan produksinya atas nama mandat kepemilikan publik. Demikian pula perusahaan-perusahaan yang mengelola produksi sumber daya alam dan lingkungan milik bersama itu harus dikuasai oleh negara demi kesejahteraan (al-fala>h}) sebesar-besarnya bagi semua penduduk. Prinsip ini berbeda dengan apa yang diyakini oleh Prinsip Libertarian dan Liberalisme Klasik. Libertarianisme dan Liberalisme Klasik bersandar pada kepentingan diri (self-interest). Karenanya dua prinsip ini menghendaki privatisasi terhadap seluruh sumber daya tanpa kecuali atas nama efisiensi dan distribusi yang adil.  Peran pemerintah yang ekstensif dalam kepemilikan dapat berarti pelanggaran atas hak-hak dan kepemilikan individu.
Peran kedua memastikan agar  dalam proses  distribusi tidak satu pun dari faktor-faktor produksi ditekan pembagiannya dan mengeksploitasi faktor lainnya. Sumber daya termasuk tanah, pekerja dan modal sama-sama berharga. Karenanya pemilik tanah, pekerja dan pemilik modal harus berbagi bersama dalam hasil-hasil produksi.  Di samping itu, al-Qur’an juga secara tegas menghendaki agar sebagian dari hasil produksi itu diberikan kepada  mereka yang tidak dapat memberikan kontribusi dalam produksi  karena alasan-alasan seperti cacat sosial, fisik dan ekonomi. Ini sekali lagi menguatkan prinsip al-Qur'an bahwa seseorang dapat memperoleh balasan tanpa sepenuhnya memandang kontribusi aktualnya.
Peran ketiga berbentuk regulasi, baik regulasi terhadap perilaku konsumsi warga negara maupun regulasi pasar.  Peran ini dalam satu sisi merupakan antitesis terhadap Prinsip Libertarian, yang karena alasan hak-hak absolut atas pembagian dunia yang tidak proporsional, maka kepemilikan pribadi sangat layak dan pasar bebas dalam kapital dan pekerjaan secara moral dikehendaki. Pasar bebas adalah mekanisme bagi alokasi dan distribusi yang adil. Untuk itu, campur tangan negara sebisa mungkin dilucuti. Pada praktiknya, Prinsip Libertarian  ini diterapkan oleh Neoliberalisme yang mencoba menghapuskan subsidi umum bagi rakyat banyak dengan dalih pemborosan, sementara pada saat yang sama korporasi multinasional (MNCs) dan transnasional (TNCs) meminta fasilitas tax holidays. Karena itu, Neoliberalisme mesti menuntut proses deregulasi yang menghalangi terjadinya pasar bebas yang menguntungkan secara ekonomi bagi sekelompok kecil konglomerat.  Suatu paradoks yang bertentangan dengan rasa keadilan (al-`adl) sekaligus mengancam kesejahteraan umum (al-fala>h}). Di sisi lain, prinsip al-Qur'an menawarkan suatu alternatif bagi etisasi pasar untuk menghindarkan dari praktek-praktek spekulatif dan judi (gharar).

Tabel 6
Perbandingan Teori Peran Negara dan Implikasinya
Teori
Prinsip
Implikasi
Libertarianisme
Pasar bebas dalam kapital dan pekerjaan secara moral dikehendaki
Minimal State; negara dilucuti kekuasaannya melalui deregulasi dan privatisasi dan liberalisasi
Egalitarianisme Radikal
Campur tangan negara bersifat absolut
Negara totalitarian
Etika al-Qur’an
Intervensi negara adalah keniscayaan bagi penciptaan pasar etis
Peran negara sebagai pemilik dan produsen, regulator, redistributor adalah komplementer bagi pasar etis

Peran dan campur tangan negara dalam kehidupan dan tatanan ekonomi  penduduknya, dengan demikian, tentu saja  diakui. Al-Qur’an mendukung kebebasan dan tidak menghendaki batasan-batasan yang tidak diperlukan. Oleh karena itu, peran negara dalam kaitan ini harus bersifat komplementer atas peran pasar untuk menjamin alokasi dan distribusi sumber daya yang adil melalui persaingan sempurna dan etis. Karena itu batasan peran negara yang melengkapi itu adalah untuk menjaga rasa keadilan (al-`adl)  dan kesejahteraan umum utamanya (al-fala>h}).

Tujuan dan Implikasi
Tujuan penerapan prinsip-prinsip keadilan tersebut dalam aktivitas ekonomi adalah untuk mencapai kesejahteraan baik pada tingkat individu  maupun kolektif, yang indikatornya meliputi survival dan sustainable, kaya dan bebas dari kemiskinan; memelihara harga diri (tidak mengemis) dan kemuliaan (bebas dari jeratan hutang).
Upaya menjaga "rasa keadilan" (sense of justice) dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan  dalam rangka menuju  kesejahteraan  (sense of happiness) melahirkan sejumlah implikasi dalam proses pelembagaannya melalui: (1) penubuhan nilai-nilai keadilan  sebagai motif bertindak (motive of action) dalam aktivitas ekonomi; (2) perwujudan kebaikan dan kewajiban-kewajiban agama (religious obligations and virtues) dalam aktivitas ekonomi;   (3) penegakkan suatu sistem manajemen sosial-ekonomi (socio-economic management) yang berkeadilan, manusiawi, dan ramah lingkungan; dan (4) implementasi peran pemerintah (role of state) dalam menjalankan sistem politik dan kebijakan yang adil dan menyejahterakan untuk semua.

Penutup
Problem ketidakadilan dan kegagalan sistem-sistem ekonomi dan teori-teori keadilan kontemporer menjawabnya, mendorong upaya pemikiran terhadap teori dan praktik ekonomi berkeadilan tetap relevan dalam mana ketidakpastian, kelangkaan, dan ketidakberdayaan sebagian penduduk bumi terus mengalami peningkatan di tengah-tengah sekelompok kecil orang yang bergelimang kekayaan dan limpahan materi. Keadilan sebagai dasar pijak aktivitas dan kebijakan ekonomi semakin memperoleh tempat dalam diskusi-diskusi tentang sistem ekonomi kontemporer. Tak terkecuali Islam – sebagai agama sekaligus pandangan dunia dan way of life – berupaya urun rembug memberikan kontribusi tentang apa, bagaimana, dan ke mana keadilan akan diarahkan dalam aktivitas perekonomian.
Merespon tantangan ketidakadilan dan peluang untuk menawarkan nilai-nilai keadilan yang orisinal dalam ruang dialektis di mana berbagai sistem ekonomi saling berkompetisi, berhimpit, dan berebut pengaruh, bahasan-bahasan terdahulu telah memberikan alternatif jawaban atas problem ketidakadilan, implementasi, dan dimensi teleologisnya dalam hubungannya dengan lima persoalan utama yang menyangkut aktivitas kepemilikan, produksi, konsumsi, distribusi, dan peran negara.
Pembahasan secara rinci pada bab-bab terdahulu telah menggambarkan suatu jawaban konseptual al-Qur'an  terhadap problem ketidakadilan, yang darinya dapat ditarik beberapa prinsip keadilan ekonomi sebagai berikut: 
1.      Pada hakikatnya sumber daya adalah hak mutlak Allah, manusia adalah pemilik terbatas berdasarkan amanah;
2.      Sumber daya dimiliki manusia secara kemitraan, bukan hak eksklusif,  spesies lain memiliki hak serupa atasnya;
3.      Ihktiar, manusia bebas menentukan pilihan atas nasibnya sendiri;
4.      Individu menerima apa yang menjadi haknya  berdasarkan usaha, tanpa sepenuhnya memandang kontribusi aktualnya;
5.      Perbedaan adalah keniscayaan untuk saling mengambil manfaat, berkompetisi, bekerjasama, dan berbuat ih}sa>n;
6.      Konsumsi pada asalnya adalah boleh kecuali melampaui batas maksimal (berlebih-lebihan, boros, bermewah-mewahan) atau minimal (kikir);
7.      Efisiensi dan prioritas  konsumsi berdasarkan hierarki kebutuhan dan menjaga kelestarian lingkungan alam dan kemanusiaan;
8.      Distribusi sumber daya alam dan lingkungan berada dalam kerangka partisipasi;
9.      Redistribusi kekayaan dan pendapatan merupakan tanggung jawab bersama  untuk memastikan jaminan sosial, peningkatan kapasitas dan otoritas  bagi mereka yang kurang beruntung.
10.  Peran negara adalah keniscayaan yang bersifat komplementer bagi pasar yang etis guna menjamin rasa keadilan dan capaian kesejahteraan umum.
Sudah saatnya sistem dan aktivitas perekonomian untuk mempertimbangkan faktor kelestarian  sumber daya alam/lingkungan dan kemanusiaan sebagai variabel penting dalam pembangunan berkelanjutan. Lebih dari itu, variabel ini juga perlu diadopsi untuk melengkapi maqa>s}id al-shari>`ah yang lima – h}ifz} al-di>n, h}ifz} al-nafs, h}ifz} al-`aql, h}ifz} al-nasl, dan h}ifz} al-ma>l – dengan maksud keenam, yaitu h}ifz} al-bi>'ah, proteksi dan konservasi lingkungan.  
Konsep keadilan ekonomi dalam al-Qur’an, prinsip-prinsip  keadilan yang diturunkannya, dan tujuan penerapannya,  sebagaimana dijelaskan  di atas, menetapkan prinsip-prinsip moral untuk ditubuhkan dan diinternalisasikan dalam institusi-institusi ekonomi. Institusi-institusi ini menentukan bagaimana setiap orang berjuang untuk hidup, memasuki kontrak dan transaksi, pertukaran barang dan jasa dengan pihak lain, dan memproduksi fondasi material secara independen atas kelangsungan ekonominya. Melalui prinsip-prinsip ini pula keadilan ekonomi tidak semata membebaskan setiap orang untuk terlibat secara kreatif dalam kerja berorientasi ekonomi, namun juga melampauinya, yakni menjadi jiwa dan spirit bagi mereka.
Dalam kaitan penubuhan prinsip-prinsip keadilan ini ke dalam institusi-institusi ekonomi, penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu antara lain: pertama, karena pendekatannya qawliyyah, prinsip-prinsip yang dideduksi secara tematik itu bersifat normatif, maka diperlukan penelitian lebih lanjut dengan mempergunakan pendekatan kawniyyah untuk memastikan secara empirik apakah prinsip-prinsip keadilan normatif itu memperoleh verifikasi atau falsifikasi   dari praktek dan kenyataan lapangan; dan kedua, karena sifat normatifnya,  prinsip-prinsip keadilan itu membutuhkan kajian lanjutan yang tak kurang seriusnya dengan  fokus pada interpretasi pragmatis untuk kebutuhan operasionalisasinya pada tingkat praksis.
Sistem keadilan ekonomi melibatkan individu dan tatanan sosial. Karena itu, sistem keadilan ekonomi membutuhkan interrelasi secara timbal balik dengan sistem keadilan sosial, yang dalam khazanah pemikiran keislaman telah banyak dibahas secara luas. Di sisi lain kajian ini membawa kepada pentingnya dukungan sensitivitas keadilan ekologis. Keadilan ekologis menjadi signifikan karena berkaitan erat dengan kegiatan produksi dan konsumsi atas berbagai sumber daya yang dapat diperbarui (renewable resources) maupun yang habis pakai atau tidak dapat diperbarui (unrenewable resources), serta berbagai dampak langsung dan tidak langsungnya atas keberlangsungan hidup semua makhluk bumi. Keadilan ekologis ini berakar pada sustainability di mana masa depan kehidupan yang berkeadaban bergantung. Menimbang urgennya usaha-usaha investasi hijau  (green investment) dan pelestarian lingkungan hidup, perlu kiranya ada suatu penelitian yang secara khusus mendalami persoalan-persoalan keadilan ekologis.


[1] George Soule, Ideas of the Great Economists (New York: Mentor, 1952), hlm. 53; George Dalton, Economic System and Society (Kingsport, Tenn:  Kingsport Press, 1974), hlm. 77.
[2] Norman Furniss dan Timothy Tilton, The Case of Welfare State: From Social Security to Social Equality (Bloomington, Indiana: International Union Press, 1977), hlm. 42.
[3] Lihat pembahasan tentang alienasi ini dalam Karl Marx, Economic and Philosophic Manuscripts of 1884 (Moscow: Foreign Language Publishing House, 1961), hlm. 67-83.
[4] Negara Sejahtera memperoleh dua momentum: setelah Depresi Besar dan Perang Dunia II sebagai respon terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh Sosialisme dan kesulitan-kesulitan akibat Depresi dan Perang Dunia II tersebut. Untuk melihat sejarah Negara Sejahtera silahkan merujuk pada Maurice Bruce, The Coming of the Welfare State (London: Batsford, 1968).
[5] Pengaruh besar Hayek terutama pada pendasaran filosofis ekonomi pasar bebas, ia juga menentang keras kolektivisme dan fascisme yang melanda sebagian Eropa saat itu. Lihat B. Herry Priyono,”Dalam Pusaran Neoliberalisme”, dalam I. Wibowo dan Francis Wahono, ed. Neoliberalisme (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), hlm. 52-53.
[6] Ia dikenal sebagai penentang gagasan John M. Keynes tentang campur tangan negara atau pemerintah dalam kehidupan ekonomi, yang biasanya dilakukan lewat stabilisasi untuk mengontrol inflasi dan pengangguran, dengan kebijakan investasi untuk mengangkat belanja masyarakat, lihat ibid.
[7] kebangkitan liberalisme ekonomi ini pada intinya memperjuangkan leissez faire, yakni paham yang mempertahankan hak-hak atas pemilikan dan kebebasan individual, dan lebih percaya kepada pasar daripada metode regulasi negara untuk menyelesaikan masalah sosial. Lihat Mansour Fakih, Bebas dari Neoliberalisme (Yogyakarta: Insist Press, 2003), hlm. 54-58.
[8] Saba’ 34:22; al-Zumar 39:43; al-Baqarah 2:108; A<lu `Imra>n 3:189; al-Ma>’idah 5:17-18, 40, 120 dsb.
[9] al-Furqa>n 25:3; al-Ra`d 13:16;  Saba’ 34:42; al-Ma>’idah 5:76;  al-A`ra>f 7:188, Yu>nus 10:49.
[10] al-`Ankabu>t 29:17, juga al-Nah}l 16:73.
[11] al-H}adi>d 57:2.
[12] al-H}adi>d 57:7.
[13] al-Baqarah 2:215.
[14] al-Nu>r 24: 42; T}a>ha> 20:6; A<li `Imra>n 3:26; Fa>t}ir 35:13; al-Isra>' 17:111; al-Furqa>n 25:2; al-Zumar 39:6, 44; al-Shu>ra> 42:49; al-Zukhruf 43:84; al-Ja>thiyah 45:27, dan lain-lain.
[15] al-Nisa>’ 4:32, hlm. 122.
[16] al-Baqarah 2:29.
[17] lihat Ibn Majah, Sunan (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.), jilid ii, kita>b al-rahn ba>b al-muslimu>n shuraka>’ fi thalath, hadis no. 2472, hlm. 826.
[18] QS. Ibrahim 14: 32-33; al-Nah}l 16: 10-11, 66-67;  al-H}adi>d 57: 25
[19] QS. al-Nisa>’ 4:32.
[20] QS. al-Ra`d 13:11.
[21] QS. al-`As}r 103:1-3.
[22] QS. al-Ma>'idah 5:3.
[23] al-Zukhruf 43:32.
[24] Lihat Karl Marx dan Friedriech Engel, Capital: Manifesto of the Communist Party (Chicago: Encyclopaedia of Britannica Inc., 1952), hlm. 85-95.
[25] M.A. Mannan, Islamic Economics: Theory and Practice (Delhi: Idarah-I Adabiyt-I Delli, c1980), hlm. 129-131.
[26] al-Nahl 16:90, al-Nisa>' 4:32.
[27] Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahnya…al-An`am 6:38, hlm. 192.
[28] Ibid., al-Rah}ma>n 55:10, hlm. 885.
[29] QS. Saba' 34:15.
[30] M.A. Mannan, Islamic Economics: Theory and Practice (Delhi, Idarah-i Adabiyat-i Delli, 1980), hlm. 79.
[31] al-Furqa>n 25:67.
[32] Lihat al-Ghazali dalam al-Mustas}fa> fi> `Ilm al-Us}u>l (T.tp.: Da>r al-Fikr, t.th.) dan Imam al-Shatibi dalam al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Ah}ka>m (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.).
[33] al-H}ashr 59:18.
[34] al-Nisa>’ 4:9.
[35] al-Ma>’idah 5:32; lihat juga al-Baqarah 2:251, dan 220.
[36] Monzer Kahf,"A Contribution to the Thery of Consumer Behavior in an Islamic Society", dalam Khurshid Ahmad, ed. Studies in Islamic Economics…hlm. 21-22.
[37] QS. al-Baqarah 2:261.
[38] QS. Maryam 19:31-33.
[39] QS. al-Mulk 67:15.
[40] QS. al-Baqarah 2:265.
[41] QS. al-H}ashr 59:7.
[42] QS. al-H}ashr 59:7.
[43] Ibnu Manzur, Lisa>n al-`Arab, vol. 5, hlm.401-402.
[44] QS. al-Taka>thur 102:1.
[45] QS.  al-Humazah 104:1-2.
[46] QS. al-Baqarah 2:275.
[47] QS. Hu>d 11:6.
[48] QS. Hu>d 11:3.
[49] QS. al-Zukhruf 43:32.
[50] Abu Daud, Sunan, kita>b al-khara>j wa al-Ima>rah wa al-fay’, hadis no. 2679.
[51] Abu Daud, Sunan, kita>b al-khara>j wa al-Ima>rah wa al-fay’, hadis no. 2671.
[52] Abu Daud, Sunan, kita>b al-khara>j wa al-Ima>rah wa al-fay’, hadis no. 2658.
[53] Abu Daud, Sunan, kita>b al-khara>j wa al-Ima>rah wa al-fay’, hadis no. 2660.
[54] Muslim, S}ah}i>h},  kita>b al-luqat}ah, hadis no. 3258.
[55] Ibid., al-Nisa>’ 4:7, lihat juga ayat 8-14.
[56] al-Tawbah 9:60.
[57] QS. A<lu `Imra>n 3:92, hlm. 91.
[58] Ibn Hajar al-Asqalani, Fath} al-Ba>ri> Sharh S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r al-Mu`arrafah, t.th.), vol. V, hlm. 243.
[59] QS. al-Hashr 59:6; lihat juga pada ayat-ayat 7-10, yang menyebutkan bagian harta ini untuk Allah dan rasulNya,  kaum kerabat,  anak yatim, orang miskin, ibnu sabil,  orang fakir yang berhijrah dan terusir dari kampung halamannya.
[60] QS. al-Anfa>l 8:41.
[61] Turmudzi, Sunan, kita>b al-ah}ka>m `an Rasu>lilla>h, hadis no. 1298.
[62] QS.  A<lu `Imra>n 3:130; lihat juga al-Ru>m 30:39.
[63] QS. al-H}adi>d 57:25.