Kaligrafi Dekorasi
Kamis, 25 Agustus 2011
Kesesuaian antara Rukyat dengan Hisab
Rukyat adalah metode penetapan awal bulan hiriyah di Kerajaan Saudi Arabia (KSA). Apabila hilal (bulan baru) terlihat setelah terbenam matahari pada tanggal 29 hijriyah, maka esoknya adalah bulan baru. Namun, apabila bulan tidak terlihat, maka dilakukanlah penggenapan jumlah hari bulan sebelumnya sebanyak 30 hari. Namun terkadang, hisab menunjukkan bahwa hilal berada di atas ufuq sedangkan tidak ada seorangpun yang melihatnya. Begitu pula sebaliknya, hisab menunjukkan bahwa hilal berada di bawah ufuk, tapi kenyataannya, ada orang yang (mengaku-pen) melihat hilal (?). Maka dari itu, perlu adanya sebuh penelitian mengenai kesesuaian rukyat dengan hisab.
Prof. DR. Aiman Sa ‘id Kurdi, seorang pakar astronomi dari King Suud University telah melakukan penelitian terhadap pelaksanaan rukyat di Kerajaan Saudi Arabia (KSA). Beliau meneliti hasil rukyat selama 22 tahun sejak 1400-1422 H yang dikeluarkan oleh Majlisu’l Qadhâ al-A‘la yang tercantum di dua media cetak terbesar di KSA, (al-Jazirah dan al-Riyadh). Secara garis besar, beliau menyatakan bahwa terdapat banyak kesesuaian antara hasil hisab dengan rukyat. Apabila hilal berada di atas ufuk sesuai hasil hisab, tingkat kesesuaiannya mencapai 86%, apabila hilal berada di bawah ufuk, tingkat kesesuaiannya mencapai 59%.
Metode Riset
Ketetapan mengenai hasil rukyat tersebut dikeluarkan oleh Majlisu’l Qadhâ al-A‘la di kedua koran tersebut dalam bentuk tabel. Satu tabel untuk masing-masing bulan hijriyah, Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah. Setiap tabel, terbagi menjadi beberapa kolom. Kolom pertama berisi tahun hijriyah, kolom kedua dan ketiga berisi hasil konversi awal bulan dari Majlisu’l Qadhâ al-A‘la, kolom empat berisi jumlah hari pada bulan sebelumnya, dan kolom lima berisi metode rukyat, dalam hal ini adalah jumlah perukyat. Sedangkan kolom enam berisi sumber data yang digunakan. Apakah dari koran al-Jazirah atau al-Riyadh.
Untuk mengetahui kesesuaian antara rukyat dengan hisab, maka harus memperhatikan beberapa hal. Pertama, umur bulan baru, haruslah berusia sekitar 6 menit sesuai dengan perhitungan waktu internasional (?) Kedua, menghitung waktu terbenam matahari dan bulan untuk hari ketika dilaksanakan rukyat. Juga waktu terbenam matahari dan bulan di hari setelahnya. Perlu diperhatikan, tempat pelaksanaan rukyat adalah kota Riyadh, yang berkoordinat 24°38′ LU dan 46°43′ BT.
Prof. DR. Aiman Sa ‘id Kurdi juga membuat sebuah tabel yang berisikan selisih waktu terbenam matahari dengan waktu terbenamnya bulan pada hari pelaksanaan rukyat. Beliau menambahkan beberpa kriteria :
1. Apabila selisih antara waktu terbenam matahari dengan waktu terbenam bulan bernilai positif, yang mana berarti hilal berada di atas ufuk, dan hasil rukyat sesuai dengan hasil hisab maka diberi tanda (1).
2. Apabila selisih antara waktu terbenam matahari dengan waktu terbenam bulan bernilai negatif, yang mana berarti hilal berada di bawah ufuk, dan hasil rukyat tidak sesuai dengan hasil hisab maka diberi tanda (0).
3. Apabila selisih antara waktu terbenam matahari dengan waktu terbenam bulan di hari setelahnya (karena dilakukan penggenapan) bernilai negatif, maka hasil rukyat sesuai dengan hasil hisab maka diberi tanda (2).
4. Apabila selisih antara waktu terbenam matahari dengan waktu terbenam bulan di hari setelahnya (karena dilakukan penggenapan) bernilai positif, maka hasil rukyat tidak sesuai dengan hasil hisab maka diberi tanda (3)
Hasil Penelitian
1. Untuk bulan Ramadan, dilakukan 22 kali penelitian, menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa terjadi kesesuaian antara hasil rukyat dengan hisab sebanyak 22 kali.
Kita bagi hasil penelitian tersebut menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama, hilal berada di atas ufuk sesuai hasil hisab dan kelompok kedua, hilal berada di bawah ufuk sesuai hasil hisab pula. Dari sini akan didapati bahwa hilal berada di atas ufuk sebanyak 5 kali dan kesemuanya sesuai dengan hasil rukyat. Sedangkan dari kelompok kedua hanya terjadi 7 kali kesesuaian antara hisab dengan rukyat dari total 17 kali posisi hilal berada di bawah ufuk.
2. Pada bulan Syawal, terjadi 11 kali kesesuaian antara hisab dengan rukyat dari total 18 kali rukyat. (Hanya ada 18 kali rukyat karena pada tahun 1400-1404 H, koran al-Riyadh dan al-Jazirah tidak terbit pada hari raya). Sehingga hasil rukyat tidak dapat dicantumkan Saat itu juga, hilal tidak pernah berada di atas ufuk. Tingkat kesesuaiannya mencapai 61 %.
3. Pada bulan Zulhijjah, terjadi 19 kali kesesuaian antara hisab dengan rukyat dari total 22 peristiwa.
Apabila kita bagi lagi menjadi dua kelompok sebagaimana pada bulan Ramadan, maka akan kita dapati 11 kondisi dimana hilal berada di atas ufuk, 9 di antaranya sesuai dengan hasil rukyat (81%). Sedangkan ketika hilal berada di bawah ufuk, akan kita dapati 11 kondisi pula dimana hilal berada di bawah ufuk, 10 di antaranya sesuai dengan hasil rukyat (90%).
Setelah melakukan pengamatan terhadap 62 kali proses rukyat (22 kali untuk bulan Ramadan, 18 kali untuk Syawal, dan 22 kali untuk Zulhijah), dengan menggunakan data dari Majelis Peradilan Tinggi Kerajaan Saudi Arabia, dan membandingkannya dengan hasil hisab, dapat disimpulkan bahwa hisab dan rukyat mengalami kesesuaian terbanyak ketika hilal berada di atas ufuk. Dari 14 kali posisi hilal berada di atas ufuk, hanya 2 kali tidak ditemui kesesuaian (86%). Ketika hilal berada di bawah ufuk, dari total 46 peristiwa, 27 diantaranya terjadi kesesuaian antara hisab dengan rukyat (59%).
Analisa
Melihat hasil penelitian ini, sejenak kita dapat menyimpulkan bahwa ternyata rukyat (baca : rukyat Saudi Arabia) memiliki banyak kesesuaian dengan hasil perhitungan astronomi. Namun, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan :
1. Beliau tidak mencantumkan kriteria penentuan awal bulan Saudi Arabia. Hanya sebatas menyatakan bahwa Saudi Arabia memutuskannya dengan rukyat. Hal ini menimbulkan pertanyaan baru, bagaimana kriteria rukyat KSA ? Siapakah yang diterima kesaksian rukyatnya ? Pakar astronomikah ? Semua orang kah? Karena beberapa kali terjadi kasus rukyat yang salah.
Misalnya ketika penentuan Zulhijjah tahun 1428 H. Majlisu’l Qadhâ al-A‘la menetapkan bahwa tanggal 1 Zulhijjah hatuh pada hari Senin, 10 Desember 2007. Dalam ketetepan yang dikeluarkan, hanya disebutkan bahwa “hilal telah terlihat secara syar‘i oleh sejumlah saksi yang adil”. Padahal ketika itu, hasil perhitungan astronomi menunjukkan bahwa sat matahari terbenam di Makkah pukul 17.42 pada hari Ahad Sore, 9 Desember 2007, bulan belum lahir (belum terjadi konjungsi). Padahal syarat terjadinya bulan baru adalah telah terjadi konjungsi dan terdapat jarak antara peristiwa konjungsi dengan terbenam matahari misalnya, 8 jam. Jadi dapat dipastikan bahwa kesaksian melihat hilal pada saat itu adalah ngawur.
Sebagaimana yang diketahui, Majlisu’l Qadhâ al-A‘la meskipun telah membentuk komite rukyat, tetap menerima kesaksian dari semua orang. Bahkan pernah terjadi bahwa kesaksian dari seorang tua berusia 80 tahun tetap diterima.
2. Ketika data astronomi menyatakan bahwa hilal berada di bawah ufuk dengan total 46 peristiwa, hanya terjadi 27 kali kesesuaian antara hisab dengan rukyat (59 %). Berarti ada 19 kali ketidaksesuaian (41 %). Hal ini berarti terdapat pengakuan melihat hilal sebanyak 19 kali. Padahal secara astronomis, hilal dinyatakan masih dibawah ufuk. Jadi, apa yang mereka lihat ?
Prosentase 41 % tersebut tidaklah kecil. Sehingga sulit untuk menyatakan terjadi ‘banyak’ kesesuaian antara rukyat dengan hisab ketika hilal berada di bawah ufuk yang seharusnya tidak dapat terlihat namun seringkali dalam kasus ini ditemui orang yang mengaku melihat. Sekali lagi, kemudian apa yang mereka lihat ?
Kesimpulan
Prof. DR. Aiman Sa ‘id Kurdi melakukan sebuah penelitian demi usaha pembuktian bahwa rukyat (baca : rukyat Saudi Arabia) banyak ditemui keselarasan dengan hasil hisab. Namun, apabila kita analisa secara lebih dalam, prosentase kesesuaian yang dihasilkan, fakta kesesuaian tersebut sulit untuk dibenarkan.
Menurut hemat penulis, apa yang beliau lakukan adalah benar. Namun, hal yang beliau teliti adalah hal yang masih harus dikaji lagi kebenarannya. Tidak adanya standar rukyat yang pasti dan dapat dipertanggungjawabkan dari Majlisu’l Qadhâ al-A‘la Kerajaan Saudi Arabia menjadikan semakin sulitnya ditemukan kesesuaian antara hisab dengan rukyat.
Penulis pun menyadari bahwa apa yang dilakukan masih membutuhkan saran dan kritik dari para pembaca sekalian. Wal’Lâhu a ‘lamu bi al-shawâb
Musa Al Azhar
Di depan nikmat Tuhan-Nya, sebagai tanda syukur atas-Nya
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin tingkat III
Jurusan Hadis wa ulûmuhu
Universitas al-Azhar
Sumber : http://pippo9musa.multiply.com
Metode Kalender Hijriah
Allah Swt. telah menciptakan bulan sebagai satelit bumi. Bola kecil ini selalu berevolusi mengelilingi bumi dalam waktu yang telah Dia tentukan pada lintasan yang telah Dia tentukan pula. Bulan berotasi terhadap porosnya selama 27,3 hari. Ia pun berevolusi terhadap bumi selama 27,3 hari. Efek dari perputaran ini, permukaan bulan yang terlihat dari bumi tidak berubah dari waktu ke waktu.
Salah satu manfaat dari penciptaan bulan adalah kegunaannya sebagai patokan dalam penentuan penanggalan. Allah Swt. berfirman:
Artinya: “ Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.” (QS. Yunus: 5)
Dalam ayat ini Allah Swt. juga memberikan ‘kesaksian’ bahwa bulan digunakan sebagai patokan penanggalan. Selain itu apabila melihat realitas yang terjadi pada manusia, beberapa kalender juga menggunakan sistem lunar calendar. Ambil contoh, Kalender Jawa dan Kalender Hijriah. Keduanya menggunakan sistem lunar calendar.
Pada makalah yang sederhana ini, penulis mencoba untuk sedikit menelaah sistem kalender lunar (baca: Kalender Hijriah). Sistem kalender yang acuannya perhitungannya didasarkan atas pergerakan bulan.
2. Pergerakan Bulan
Ada dua macam pergerakan bulan:
1. Siderial month : periode yang dibutuhkan bulan untuk berputar 360° mengelilingi bumi, lamanya 27,321 hari.
2. Synodic month : periode antara satu bulan baru dengan bulan baru lainnya, lamanya 29,53059 hari atau 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik. Ada perbedaan sekitar 2 hari dengan siderial month karena bumi juga berevolusi terhadap matahari pada arah yang sama, sehingga untuk mencapai konjungsi berikutnya memerlukan tambahan waktu.
Dari kedua fase tersebut, yang umum digunakan dalam penentuan Kalender Hijriah adalah synodic month.
Arah revolusi bulan terhadap bumi sama dengan arah revolusi bumi terhadap matahari, dari Barat ke Timur. Akibat dari revolusi bulan ini dan kombinasinya dengan revolusi bulan mengelilingi matahari, penduduk bumi dapat menyaksikan berbagai macam fase bulan, mulai dari bulan baru, bulan separuh, sampai klimaksnya pada fase bulan purnama kemudian bulan mati dan akan kembali lagi ke titik awal revolusi, dimulai lagi dari fase bulan baru.
Setiap bulan, terjadi peristiwa konjungsi (ijtimak), dimana matahari, bulan dan bumi berada dalam satu garis bujur yang sama, dilihat dari arah timur maupun barat. Peristiwa penting inilah yang menjadi patokan awal bulan baru, meskipun tidak semua aliran menjadikan konjungsi sebagai tanda dimulainya awal bulan.
3. Sekilas Kalender Hijriah
Kalender hijriah, didasarkan atas pergerakan sinodis bulan, yaitu selama 29,5309 hari atau 29 hari 12 jam 44 menit 2,8 detik. Sehingga dalam waktu 12 bulan akan mencapai sekitar 354,367 hari. Mengapa yang dipilih sebagai jumlah bulan dalam tahun hijriah adalah 12? Menurut Dr. Ali Hasan Musa, sebenarnya tidak ada argumentasi astronomis satu pun yang mendasari akan hal ini. Akan tetapi, salah satu alasan yang dapat digunakan adalah, karena dengan 12 bulan akan mendekati jumlah hari pada solar calendar (?).Sebenarnya apabila kita merujuk kembali pada Firman Allah Swt.,
Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah kamu Menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu adalah menambah kekafiran. disesatkan orang-orang yang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkannya pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain, agar mereka dapat mempersesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, Maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (syaitan) menjadikan mereka memandang perbuatan mereka yang buruk itu. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Taubah: 36-37)
Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa sejak awal, Allah Swt. sudah menentukan bahwa jumlah bilangan bulan dalam al-Quran adalah 12. Hal ini juga berdasarkan atas Hadis Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, al-Nasâ’i, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan banyak rawi lainnya.
Artinya: “Dari Abu Bakrah, sesungguhnya Nabi Saw. berkhutbah pada haji wadâ‘, bersabda,’ Ketahuilah, sesungguhnya waktu beredar sesuai bentuknya pada hari dimana Allah Swt. menciptakan langit-langit dan bumi, satu tahun ada 12 bulan, darinya (12 bulan) ada 4 hurum, 3 bulan yang berturut-turut; Zulkaidah, Zulhijah, Muharam, dan Rajab yang berada di antara 2 Jumad (Jumadil awal dan Jumadil akhir) dan Syaban’ “.
Pada awalnya, masyarakat Arab kuno menggunakan sistem lunar calendar murni. Namun, pada tahun 200 sebelum hijrah, masyarakat Arab mengubahnya menjadi sistem lunisolar calendar yang untuk mensinkronkan dengan musim maka dilakukan dengan menambah jumlah bulan atau interkalasi (al-nasî’). Kemudian, setelah turunnya Surah al-Taubah ayat 36-37, yang terkait dengan pelarangan interkalasi yang merupakan konsekuensi dari lunisolar calendar, maka dirubahlah sistem kalender masyarakat Arab menjadi murni lunar calendar.
Pada hari Rabu, 20 Jumadil Akhir 17 Hijriah, pada masa Kekhilafahan Umar bin Khathab, diproklamirkanlah kalender hijriah yang tahun 1 Hijriahnya dimulai pada tahun di mana Nabi Saw. berhijrah dari Mekah ke Madinah.
Ada perbedaan selama 11 hari antara tahun hijriah yang berjumlah sekitar 354 hari dengan tahun masehi yang berjumlah sekitar 356 hari. Oleh karena tidak berdasarkan pada pergerakan matahari yang sudah tentu tidak memperhitungkan pergantian musim, maka terkadang awal tahun hijriah dimulai pada musim dingin dan setelah 16 tahun akan dimulai pada musim panas.
Adapun 12 bulan dalam kalender hijriah adalah:
No. Nama Bulan Jumlah Hari
1 Muharam 30
2 Safar 29
3 Rabiul Awal 30
4 Rabiul Akhir 29
5 Jumadil Awal 30
6 Jumadil Akhir 29
7 Rajab 30
8 Sya’ban 29
9 Ramadan 30
10 Syawal 29
11 Zulkaidah 30
12 Zulhijah 29
4. Metode Kalender Hijriah (Hisâb ‘Urfi)
Menurut hisab urfi, dalam kalender hijriah ada 354 hari. Namun sebenarnya, perputaran bulan hakiki selama satu tahun adalah 354,367 hari atau 354 hari 8 jam 44 menit 35 detik (Periode sideris 29,53059 x 12 = 354,367) Tentunya manusia tidak mungkin menggunakan kalender dengan sisa 0,367 hari tersebut. Untuk menyiasati hal ini, maka:
1. Peredaran bulan sinodis: 29 menit 12 jam 44 menit 2,8 detik. Angka 2,8 detik diabaikan karena sangat kecil sehingga tidak berarti. Dengan demikian, rata-rata hari dalam satu tahun adalah:
29,5 hari x 12 = 354 hari
44 menit x 12 = 528 menit
Jadi, dalam setahun ada 354 hari 528 menit
2. Berhubung manusia tidak mungkin menggunakan kalender dengan jumlah hari 0,5 maka untuk menyiasatinya bilangan pecahan 29,5 hari tersebut dikalikan dengan 2 sehingga menjadi 59 hari (hitungan 2 bulan). 30 hari diberikan kepada bulan ganjil, 29 hari diberikan kepada bulan genap. Sehingga, dalam satu tahun ada 6 bulan yang berjumlah hari 29 dan 6 bulan yang berjumlah hari 30. Apabila dijumlahkan maka akan didapatkan angka 354 hari (jumlah hari dalam satu tahun hisab urfi).
3. Terdapat sisa 44 menit setiap bulan yang akan menjad 528 menit setiap tahun. Dalam waktu 3 tahun, jumlah ini akan menjadi 1 hari lebih (528 x 3 = 1548 menit, 1 hari = 1440 menit). Dalam siklus 1 daur (30 tahun) -1 daur dipilih 30 tahun karena apabila 0,367 hari yang merupakan sisa hari setiap tahun dikalikan dengan 30 tahun akan menghasilkan 11,01 hari (dengan angka di belakang koma terkecil)- akan menjadi 15480 menit atau genap 11 hari (15480 : 1440 = 11). Sisa 11 hari tersebut didistribusikan ke dalam tahun-tahun selama 1 daur (30 tahun). Masing-masing akan mendapatkan 1 tahun.
Adapun tahun-tahun yang mendapatakan tambahan satu hari dalam periode 30 tahun itu adalah tahun-tahun yang angkanya merupakan kelipatan 30 ditambah 2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26 dan 29. Atau digunakan syair (Huruf yang bertitik, menunjukkan urutan tahun kabisat, yang tidak bertitik menunjukkan basitah) :
كف الخليل كفه ديا نه * عن كل خل حبه فصانه
Dalam kalender hijriah, intervalnya memang terlihat tidak teratur, namun ada metode tersendiri dalam menetapkan tahun kabisat, yaitu dengan mengalikan bilangan urutan tahun tersebut dengan sisa 0,367. Apabila sisanya lebih dari 0,5 (hari) maka tahun tersebut adalah tahun kabisat. Apabila sisanya kurang dari 0,5 hari, maka tahun tersebut adalah tahun basitah. Sebagai contoh:
• Tahun ke-1 x 0,367 = 0,367 (kurang dari 0,5 maka tahun basitah)
• Tahun ke-2 x 0,367 = 0,734 (lebih dari 0,5 maka tahun kabisat)
• Tahun ke-3 x 0,367 = 1,101 (berhubung 1 hari sudah dipakai di tahun kedua, maka menjadi 0,101, karena kurang dari 0,5 maka basitah)
• Tahun ke-4 x 0,367 = 1,468 (berhubung 1 hari sudah dipakai di tahun kedua, maka menjadi 0,468, karena kurang dari 0,5 maka basitah)
• Tahun ke-5 x 0,367 = 1,835 (berhubung 1 hari sudah dipakai di tahun kedua, maka menjadi 0,835, karena lebih dari 0,5 maka kabisat)
Untuk mengetahui apakah suatu tahun itu kabisat atau basitah, caranya dengan membagi bilangan tahun dengan 30 (1 daur), sisa pembagiannya apabila terdapat pada salah satu angka di atas, maka ia kabisat. Misalkan tahun 1359 : 30 = 45 daur sisa 9 tahun, berarti 1359 merupakan tahun basitah. Tahun 1431 : 30 = 47 daur sisa 21 tahun, berarti, 1431 merupakan tahun kabisat.
5. Penutup
Sebagai sebuah sistem penanggalan, lunar calendar (baca: kalender hijriah) layak untuk mendapatkan perhatian lebih dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kalender hijriyah tidak terikat dengan pergantian musim, salah satu dampak positifnya bagi umat Islam yang menjalankan syariat –beberapa di antaranya terikat dengan penanggalan seperti haji dan puasa Ramadhan- adalah variasi musim ketika menjalankan syariat tersebut, tidak selalu ibadah haji dikerjakan di musim panas, begitu pula puasa Ramadhan.
Kelebihan lain dari sistem kalender ini adalah, ia menggunakan pergerakan bulan sebagai acuannya. Bulan merupakan benda langit yang mudah dilihat dan diamati fase-fasenya. Ini yang menjadikan kelebihan sistem lunar calendar.
Namun, seiring perkembangan zaman, tantangan akan penggunaan sistem kalender hijriah semakin banyak. Perbedaan umat Islam dalam menentukan awal bulan –di antaranya perbedaan antara mazhab rukyat murni dengan hisab-, permasalahan matlak, dan berbagai masalah lainnya menjadi tantangan bagi kalender hijriah. Sebagai seorang akademisi muslim, tantangan tersebut tidak seharusnya menjadi penghalang. Justru menjadi pelecut untuk lebih giat melakukan riset mengenai sistem kalendernya ini. WalLâhu a‘lamu bi al-Shawâb
Musa Al Azhar
Mahasiswa Universitas al-Azhar
Fakultas Ushuluddin
Ahmad, Abdul Aziz Bakri, Mabâdi’ ‘Ilmi’l Falak al-Hadîts, Maktabah al-Dâr al-‘Arabiyah li’l Kitâb, Kairo, Mesir, cet. I, 2010
al-Bukhâri, Muhammad bin Ismail, al-Jâmi‘ al-Shahîh, dithkik oleh Muhibbuddîn al-Khathîb, al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, Kairo, Mesir, vol. II, cet. I, 1403 H/1982 M
al-Dalâl, Syarqawi Muhammad Shâlih, Mausû‘ah ‘Ulûmi’l Falak wa’l Fadhâ’ wa’l Fîziyâ’ al-Falakiyyah, Mu’assasah al-Kuwait li al-Taqaddum al-‘Ilmi, Kuwait, vol. II, t.t
al-Thabari, Abu Ja‘far Muhammad bin Jarir, Jaâmi‘u’l Bayân ‘an Ta’wîli Âyi’l Qur’ân, ditahkik oleh Adullah bin Abdul Muhsin al-Turki, Markaz al-Buhûts wa al-Dirâsât al-Islâmiyyah bi Dâr Hajar, Giza, Mesir, vol. 11, cet. I, 1422 H/2001 M
Azhari, Susiknan, Ilmu Falak; Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, Indonesia, cet. II, 2007
Fayâdh, Muhammad Muhammad, al-Taqâwîm, Nahdhah Mishr, Kairo, Mesir, cet. II, 2002
Musa, Ali Hasan, al-Tauqît wa al-Taqwîm, Dâr al-Fikr, Damaskus, Syiria, cet. II, 1998
http://en.wikipedia.org/
http://ilmu-ipa-fisika-shobahul-amri.blogspot.com/
Sumnber : http://pippo9musa.multiply.com
Rabu, 24 Agustus 2011
|
|
| |
|
|
| |
|
|
|
Sumber : http://www.fajar.co.id/read-20110823092429-penetapan-idul-fitri-1432-h-berpotensi-berbeda
Perkiraan posisi hilal
Suatu hal yang asing bagi kita, muslim pada umumnya, melihat hilal untuk penentuan bulan baru qomariyah (hijriyah). Sebagai gambaran sederhana saya gunakan software Stellarium 0.110 untuk memperlihatkan gambaran posisi hilal sebagai penanda masuk bulan baru hijriyah. Di bawah ini adalah gambaran posisi bulan ketika matahari persis masuk ufuk (garis 0) pada tanggal 30-7-2011.
Posisi hilal diambil pada lokasi Patemon, Gunungpati, Semarang
Bisa terlihat bahwa pada saat matahari persis di bawah ufuk posisi hilal jauh sudah di bawah ufuk (kurang lebih 6 derajat), karena hari itu bulan tenggelam (moon set) lebih dulu daripada matahari (sunset). Dengan dasar ini, disimpulkan hilal tidak bisa dilihat sehingga belum bisa ditentukan masuknya bulan baru, artinya 1 Ramadhan belum bisa ditentukan.
Okay sekarang kita lihat posisi hilal pada saat matahari persis di bawah ufuk pada tanggal 31 Juli 2011.
Bisa terlihat bahwa pada saat matahari persis di bawah ufuk posisi hilal masih di atas ufuk kurang lebih 6-7 derajat, karena hari itu matahari tenggelam (sunset) lebih dulu daripada bulan (moon set). Dengan dasar ini, disimpulkan hilal bisa dilihat sehingga bisa ditentukan masuknya bulan baru, artinya 1 Ramadhan sudah bisa ditentukan hari itu.
Sebagai tambahan apabila kita menghitung (hisab) dengan software lain yaitu Accurate Times 5.1 dari Jordanian Astronomical Society yang disusun oleh Mohammad Odeh, maka diperoleh hasil berikut.
Waktu terbaik untuk perhitungan pada tanggal 31 Juli 2011 jam 17:54:40 diperoleh hasil:
Sunset: 17:40:57 WIB
Moonset: 18:11:49
Pada saat sunset, posisi hilal kurang lebih 7 derajat di atas ufuk, iluminasi (penampakan) bulan 0,75%.
Mau tahu persis? Silahkan melakukan rukyah bulan pada saat matahari mulai tenggelam supaya hilang penasaran. Sekalipun software itu hanya hisab tapi paling tidak bisa kita pakai untuk belajar hal-hal yang sangat sederhana trkait dengan astronomi sehingga kita tidak semata-mata taklid buta. Okay?
Sumber Link :http://kasmui.blog.com/2011/07/31/perkiraan-posisi-hilal/Perlu Badan Khusus Sikapi Perbedaan Lebaran
Pakar ilmu falak Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang Dr Abu Rahmat menilai, perlu badan falakiyah yang memiliki otoritas penetapan awal puasa dan Lebaran Idul Fitri.
“Selama ini kerap terjadi perbedaan penentuan awal puasa dan Lebaran dan karenanya diperlukan badan yang memiliki otoritas khusus untuk menetapkannya, bukan pemerintah,” katanya, di Semarang, Jumat (19/8).
Ia mengakui, selama ini pemerintah memang menetapkan awal puasa dan Lebaran, namun ada organisasi masyarakat (ormas) Islam yang berbeda dalam penentuannya, sehingga membuat ada dua pendapat.
Badan otoritas inilah, kata dia, nantinya yang akan menengahi perbedaan di kalangan umat, apalagi masyarakat cenderung lebih mempercayai ormasnya dalam penentuan awal puasa dan Hari Raya Idul Fitri.
“Badan otoritas ini sudah diterapkan di negara-negara Islam, dan Indonesia bisa menerapkannya. Sebab, jika kondisi ini dibiarkan akan menimbulkan banyak perbedaan waktu perayaan Hari Raya Idul Fitri,” katanya.
Terkait perbedaan penetapan hari raya, ia mengakui setidaknya ada dua metode, yakni hisab dan rukyat yang kerap berujung pada perbedaan penetapan, namun esensi kedua metode penetapan hilal sebenarnya sama.
Kedua metode itu, yakni hisab dan rukyat, kata dia, merujuk pada hadits yang sama, tetapi yang dikhawatirkan adanya golongan yang menetapkan di luar kedua metode tersebut, misalnya jamaah An Nadzir di Sulawesi Selatan.
“Jamaah An Nadzir berpatokan pada tanda-tanda alam, seperti pasang surut air laut dalam menentukan awal puasa dan Hari Raya Idul Fitri. Tidak menggunakan metode hisab dan rukyat,” katanya.
Karena itu, kata Abu, dengan otoritas penetapan hilal diharapkan tidak ada lagi perbedaan semacam itu, namun otoritas itu nantinya harus disepakati dan dipercaya oleh seluruh ormas Islam yang ada.
Sementara itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah KH Ahmad Darodji membenarkan bahwa di negara-negara Islam, seperti Arab Saudi memiliki semacam badan otoritas falakiyah.
“Badan otoritas falakiyah ini memiliki kewenangan menetapkan awal Ramadhan dan Syawal, namun penerapannya di Indonesia masih perlu pengkajian,” katanya.
Karena itu, ia memilih menyerahkannya sementara pada umat, apakah akan mengikuti keputusan pemerintah dalam penetapan Ramadhan dan Syawal, atau mengikuti ormas Islam, apalagi perbedaan itu karena metode penentuan hilal.
“Metode hisab dan rukyat sebenarnya merujuk pada hadits yang sama, yakni `Berpuasalah engkau jika melihat bulan (hilal awal) …`, namun kemudian ditafsirkan secara berbeda,” katanya.
Kalau metode rukyat, kata Darodji, memilih melihat posisi hilal (bulan) secara langsung, sedangkan metode hisab menggunakan perhitungan matematis menentukan posisi hilal menandakan dimulainya awal bulan pada penanggalan Hijriah.
sumber Link : hidayatullah.com
Sekitar 99 Persen Lebaran akan Berbeda
Syahruddin El-Fikri
JAKARTA - Perbedaan perayaan Idul Fitri 1 Syawal 1432 H tampaknya tak terelakkan. Jauh-jauh hari, Muhammadiyah sudah menetapkan Idul Fitri jatuh Selasa, 30 Agustus 2011. Sementara itu, Nahdlatul Ulama (NU), Mathla'ul Anwar, Persis, Al-Washliyah belum menetapkan tanggal resmi.
Meski demikian, Ketua Umum PP Asosiasi Dosen Ilmu Falak Indonesia (ADFI) Dr Ahmad Izzuddin memastikan, perayaan Idul Fitri 2011 ini akan berbeda antara Muhammadiyah dan pemerintah. "Hampir bisa dipastikan, 99 persen akan terjadi perbedaan perayaan Idul Fitri," ujar Izzuddin saat dihubungi Republika, Selasa (23/8).
Koordinator Pendidikan dan Pelatihan (Diklat) Lajnah Falakiyah PBNU ini menjelaskan, pada Selasa (30/8), posisi hilal sudah berada di atas ufuk, namun masih di bawah dua derajat. "Dengan posisi seperti itu, sangat mustahil untuk terlihat bulan dengan mata telanjang," ujarnya.
Berdasarkan hal tersebut, kata Izzuddin yang juga anggota Pengurus Pusat Badan Hisab Rukyah (BHR), sangat dimungkinkan terjadi perbedaan perayaan Idul Fitri karena sejumlah ormas memandang, posisi hilal di bawah dua derajat menunjukkan bulan belum bisa terlihat. Untuk itu, kemungkinan sebagian ormas, kata dia, akan menyempurnakan puasa (istikmal) menjadi 30 hari. Dengan demikian, sebagian masyarakat Muslim akan berlebaran pada Rabu, 31 Agustus 2011.
Sebelumnya, Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Oman Faturrahman mengimbau warga Muhammadiyah untuk bersama-sama merayakan Idul Fitri 1 Syawal 1432 H pada Selasa, 30 Agustus 2011. Ia mengatakan, perbedaan penetapan 1 Syawal 1432 H sangat mungkin terjadi selama pemerintah menggunakan imkanur rukyat dengan mensyaratkan dua derajat. "Selama ini, Muhammadiyah menggunakan metode wujudul hilal yang berarti berapa pun derajatnya, apabila hilal telah wujud, dipastikan esoknya merupakan awal bulan," jelasnya.
Sementara itu, di sejumlah negara juga ada kemungkinan terjadi perbedaan perayaan Idul Fitri 1 Syawal 1432 H. Menurut kalender Ummul Qura' yang digunakan Arab Saudi, kriterianya adalah "Telah terjadi ijtimak dan bulan terbenam setelah matahari terbenam di Makkah." Jika ini terjadi, sore itu dinyatakan sebagai awal bulan baru. Artinya, besar kemungkinan 1 Syawal 1432 H akan jatuh pada Selasa, 30 Agustus 2011.
Namun, bagi pengguna kriteria rukyatul hilal yang biasa digunakan untuk penentuan bulan awal Ramadhan, Syawal, dan Zulhijjah, kriterianya adalah "Jika ada laporan rukyat dari seorang atau lebih pengamat/saksi yang dianggap jujur dan bersedia disumpah, sudah cukup sebagai dasar untuk menentukan awal bulan tanpa perlu dilakukan uji sains terhadap kebenaran laporan tersebut."
Melihat posisi hilal, mustahil rukyat di Saudi pada hari pertama ijtimak. Namun demikian, jika ada yang mengaku berhasil, 1 Syawal 1432 H akan jatuh pada Selasa, 30 Agustus 2011. Namun, jika laporan rukyat gagal, awal bulan akan jatuh pada Rabu, 31 Agustus 2011. ed: wachidah handasah