Logo IIQ Institut Ilmu Al Quran Jannatu Adnin Kendari Sulawesi Tenggara
Kaligrafi Dekorasi
Selasa, 26 Maret 2013
Rabu, 13 Maret 2013
PESANTREN DAN PERDAMAIAN REGIONAL
By
Badrus Sholeh* dan Abdul Mun’im DZ**
*Dosen Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional, UIN Jakarta, dan Peneliti Pusat Studi Perdamaian LP3ES
Jakarta.
**Direktur NU
Online, dan Peneliti Senior CESDA-LP3ES Jakarta.
Pesantren di
Indonesia berhasil melakukan adaptasi dengan perubahan lingkungannya. Kiprah
komunitasnya seiring dengan tuntutan zaman, sesuatu yang berbeda dengan sistem
pendidikan Islam di beberapa negara (madrasah di Pakistan, pondok di Malaysia).
Dinamika mereka ditopang dengan dukungan masyarakat dan pemerintah, yang peduli
terhadap perkembangan pesantren. Beberapa pengamat pesantren melihat sebagai
suksesnya pesantren dalam menghadapi tekanan luar, baik dari negara, masyarakat
maupun global. Karl Steenbrink dan Zamakhsyari Dlofier memandang dinamika
komunitas pesantren dipengaruhi beberapa aspek: sistem nilai pendidikannya yang
fleksibel, kuatnya hubungan elemen tradisi pesantren, dan kebebasan yang
diberikan oleh negara terhadap pertumbuhan lembaga pendidikan Islam. Dinamika
ini berlangsung sejak masa kolonial, dengan mulainya jaringan ulama melayu dan
Arab.
Fondasi
perubahan pesantren tidak hanya dipengaruhi oleh Kyai, santri, dan pesantren
(masjid) (Geertz, 1971) tetapi juga telah digerakkan oleh elemen eksternal:
media, politik dan masyarakat sipil.
Karena itu pesantren beradaptasi kedalam tuntutan sosial Indonesia,
dengan persoalan kompleks di level
nasional dan global. Masyarakat pesantren telah berkiprah dalam
stabilitas internasional, dan rekonsiliasi regional. Mereka telah terjun dalam
memediasi persoalan dan konflik antara masyarakat dan negara. Masyarakat
petani, nelayan, buruh dan bahkan pelaku industri menyerahkan peran komunitas
pesantren sebagai wadah dan media rekonsiliasi dengan pemerintah. Masyarakat
petani Situbondo mendapat perlindungan dari Pesantren Salafiah Syafi’iyah, yang
melakukan advokasi atas hak-hak dasar terhadap perusahaan perkebunan
pemerintah. Proses rekonsiliasi juga diambil alih oleh pesantren dalam konflik
komunal di Jawa, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan tempat lain di
Indonesia.
Kalau dicermati
secara historis, berdasarkan studi tentang sepuluh pesantren dalam lima wilayah
Indonesia, terdapat spektrum dinamika baru pesantren yang tidak hanya
didominasi oleh Pesantren mainstream yang
didirikan sejak abad 19 dengan karakter inklusif, akomodatif dengan tradisi
lokal dan terbuka dengan dialog-dialog antar iman, tetapi juga Pesantren jenis
baru yang memiliki kecenderungan berbeda dengan pesantren mainstream yang masih
mayoritas di Indonesia. Kecenderungan mereka radikal, eksklusif dan
non-akomodatif, bahkan lekat dengan gerakan kekerasan berlandaskan ideologi
agama. Peran aktif mereka dalam dukungan Jihad
ke Maluku dan Poso, baik melalui retorika dakwah maupun pengiriman
sukarelawan “pejuang” melawan Kristen Maluku dan Poso bertolak belakang dengan
ide, argumentasi dan gerakan pesantren mainstream. Guruta K.H. Ambo Dalle
(alm.), dilanjutkan dengan penerusnya K.H. Faried Wajedy, M.A., pengasuh DDI-AD
Mangkoso, Kab. Barru, Sulawesi Selatan menolak upaya pengiriman sukarelawan ke
Poso dan Maluku. Keduanya menekankan pentingnya aktualisasi doktrin bahwa Islam
mengayomi kedamaian alam semesta (Al-Islam
Rahmatan Lil Alamin). Ini juga menjadi dasar pemikiran bahwa pelaksanaan
Syari’at Islam yang sedang trend di Sulawesi Selatan senantiasa menghargai
tradisi dan agama lain. Argumentasi senada dilakukan oleh TGH Turmudzi, pengasuh Pesantren Bagu, NTT, yang telah
berupaya aktif menahan gelombang dukungan atas Tablig Akbar di Mataram, yang kemudian menimbulkan kerusuhan
Mataram pada 2000. Tablig ini
mengajak masyarakat Muslim Mataram untuk merespon terdesaknya Muslim Maluku
dalam kerusuhan 1999-2000. Tablig ini
juga dilakukan oleh jaringan pesantren non-mainstream di beberapa kota besar di
Indonesia. Di Tasikmalaya, Jawa Barat, mereka juga getol berdakwah untuk
penggalangan dana dan sukarelawan ke Maluku dan Poso. Tetapi mereka tidak
direspon positif oleh Muslim setempat. Mayoritas pesantren mainstream bersama
masyarakat Muslim tetap konsisten mengembangkan gerakan kultural. Dalam
penanggapi gagasan pelaksanaan syari’at Islam misalnya, para Kyai dan komunitas
pesantren melakukan gerakan Gerbang
Marhamah. Gerakan ini secara tegas berhadapan dengan gerakan destruktif Gerbang Malhamah. Gerakan ini juga
dilakukan di Situbondo, dengan keterlibatan komunitas pesantren Salafiah
Syafi’iyah Sukorejo, Kab. Situbondo dalam pendampingan masyarakat petani.
Kebijakan kultural dan konstruktif jaringan komunitas pesantren mainstream ini
sayangnya tidak didukung secara merata dengan pesantren-pesantren lainnya.
Komitmen mereka dalam mengembangkan nilai-nilai dan kehidupan pluralisme baik
dikalangan pesantren maupun dengan masyarakat sekitar yang berbeda etnis dan
agama perlu diperkuat dan diperluas baik frekuensi maupun substansinya.
Kalau
disimpulkan, studi ini terbagi kedalam beberapa pokok pikiran sebagai berikut. Pertama, terjadi proses dialogis antara
komunitas pesantren dengan tradisi lokal. Islam Indonesia merupakan manifestasi
akhir dari akulturasi antara tradisi Islam Arab dengan tradisi lokal. Tetapi
proses evolutif ini mendapat tantangan dari fenomena tumbuhnya pesantren baru
yang cenderung eksklusif, menolak dialogis antara Islam dan tradisi lokal. Kedua, komunitas pesantren juga memiliki
peran aktif dalam membendung derasnya kerusuhan dan konflik yang terjadi sejak
paruh akhir Orde Baru. Elit pesantren melakukan upaya preventif dan
rekonsiliasi antar komunitas berbeda etnis dan agama di Situbondo, Tasikmalaya
dan Mataram. Mereka juga membendung emosi Muslim ketika berkembang retorika
yang mengajak Jihad melawan Kristen
Maluku dan Poso. Upaya damai ini seringkali dimentahkan oleh kebijakan
kontraproduktif keamanan nasional dan sekelompok elit politik yang memiliki
interest tersendiri atas kerusuhan dan konflik ini. Disamping semakin
menguatnya pertumbuhan pesantren baru radikal yang mengedepankan pendekatan
kekerasan, dari pada upaya damai, dialogis dan rekonsiliatif. Ketiga, jaringan komunitas pesantren
juga telah mengembangkan gerakan penyetaraan peran laki-laki dan perempuan
melalui pelembagaan gerakan masyarakat sipil. Lembaga non pemerintah (ornop)
ini menjamur, dan dipelopori oleh para alumni pesantren. Dalam observasi dan
interview di beberapa pesantren, diakui oleh para elit dan komunitas pesantren
bahwa keterbukaan dan kesadaran penyetaraan peran tidak dibarengi dengan
keseimbangan potensi SDM. Walaupun demikian, tradisi pemisahan pesantren
perempuan dan laki-laki yang selama berabad-abad terjadi di pesantren memberi
peluang bagi para santri putri dan asatizah
(guru-guru perempuan) untuk bersaing setara dengan santri putra. Tetapi
mereka mendapat tantangan atas tekanan budaya patriarkal yang mengakar tidak
hanya di pesantren, tetapi juga di banyak komunitas berbagai etnis di Indonesia.
Terakhir, komunitas pesantren juga
menjadi basis gerakan pluralisme, keberagaman etnis dan agama. Di masing-masing
pesantren, para kyai memainkan peran berbeda-beda dalam mengusung gerakan
pluralisme ini. K.H. Mahfuz, pengasuh pesantren Edi Mancoro Salatiga misalnya
telah lebih dari satu dekade mempelopori kesadaran hidup bersama dalam
perbedaan teologis. Gerakan ini dilakukan bersama dengan para tokoh non Muslim
di Salatiga. Kuatnya dukungan intelektual Muslim dan Kristen dalam gerakan ini
menciptakan kesinambungan dan kontinuitas. Kesadaran yang sama dilakukan oleh
para elit pesantren DDI Mangkoso, Sulawesi Selatan dan pesantren Bagu, NTT.
Keempat pola potensi jaringan komunitas pesantren ini akan menjadi modal sosial
untuk membangun kehidupan masyarakat Indonesia lebih dinamis dalam kesadaran
multikulturalisme.
Pola tradisi,
sikap dan gerakan jaringan komunitas ini mendapat tantangan serius dari tekanan
kekerasan dan radikalisme gerakan yang dilakukan oleh milisi-milisi laskar sejak terjadinya kerusuhan antar
komunitas berbeda agama pasca runtuhnya Orde Baru. Euforia kebebasan ekspresi
dalam periode Reformasi memberi kesempatan bagi kelompok-kelompok militan ini
untuk berkampanye (baik lewat gerakan jalanan maupun mimbar-mimbar agama) dan
memobilisasi gerakan. Mereka tidak terkontrol akibat tiadanya instrumen legal
yang mengatur gerakan masif, khususnya berbasis ideologi agama. Kontradiksi
hukum ini diperparah dengan runtuhnya bangunan organisasi dan jaringan gerakan
reformasi, dan ketidakmampuan negara dalam membendung derasnya perilaku korup
dan disparitas sumberdaya legislatif. Peristiwa yang menimbulkan terpecahnya
sikap dan gerakan ini adalah munculnya serangan terorisme pada 2001, yang
menyudutkan komunitas Muslim.
Peristiwa 9/11
mengarahkan perhatian dunia terhadap masyarakat Muslim. Imej, brand, dan cap atas kekerasan ini
ditujukan kepada jaringan Jamaah Islamiah
(JI) yang dianggap bertanggungjawab atas peristiwa ini. Kemudian lebih
spesifik Muslim Indonesia setelah Bom Bali, Oktober 2002, bom BEJ Jakarta, bom
Makassar, bom Kuningan dan bom-bom lainnya. Peristiwa ini mempertanyakan ulang
peran lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia: Pesantren. Fakta
membuktikan bahwa banyak alumni pesantren yang terlibat aktif dalam gerakan kekerasan ini. Tetapi berdasarkan
riset lapangan selama dua bulan termasuk dibeberapa pesantren yang diduga aktif
dalam gerakan ini bahwa sikap militansi kekerasan oleh orang-orang yang notabene disebut teroris tidak
disebabkan dari sistem pengajaran dan pendidikan pesantren. Mereka sangat kuat
dipengaruhi oleh pengalaman setelah selesai pendidikan di pesantren, baik di
Malaysia, Afghanistan maupun tempat dan kegiatan lain. Mereka juga mendapat
inspirasi dan kekuatan gerakan dari jaringan yang dibangun berdasarkan ikatan organisasi
dan gerakan tertentu. Diantaranya adalah ikatan jaringan veteran Afghanistan.
Pertukaran ide, gagasan dan pengalaman baru mereka di Malaysia, Afghanistan dan
bahkan di Mindanao, Filipina Selatan menciptakan tradisi baru Islam yang
cenderung pro-kekerasan. Generalisasi atas perubahan komunitas pesantren yang
dianggap lebih radikal sempat mencuat akibat terjadinya kekerasan-kekerasan
ini. Padahal, secara kualitatif dan kuantitatif mereka adalah kelompok
minoritas yang diuntungkan oleh keadaan nasional yang tidak stabil secara
politis dan ekonomis. Tentu saja, mayoritas Pesantren tetap mengedepankan
pendekatan evolutif dan damai. Mereka telah berperan dalam menjaga kehidupan
multikultural sejak awal pendiriannya dan aktif dalam proses-proses rekonsiliasi
dan dialog dalam periode konflik dan kerusuhan. Tetapi dibutuhkan
langkah-langkah strategis untuk menopang peran-peran mayoritas pesantren ini.
Melihat
fenomena dinamika perubahan pesantren baik karena pengaruh jaringan maupun
tekanan nasional dan global, diperlukan langkah-langkah strategis. Pertama,
kebijakan makro nasional, regional dan global. Perlunya rekonstruksi instrumen
hukum yang adil, fair dan transparan atas tindakan kekerasan, khususnya
menyangkut kelompok masif agama. Tekanan global atas gerakan kekerasan yang
dilakukan oleh sekelompok jaringan Muslim hendaknya tidak menyudutkan
masyarakat Muslim secara luas. Tentu saja, dibutuhkan upaya kerjasama secara
langsung antara lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan lembaga internasional.
Kedua, perlunya pendidikan alternatif bagi pelajar-pelajar dan komunitas
pesantren dalam mengembangkan nilai-nilai pluralitas. Dan ketiga, penguatan
terhadap kualitas kurikulum dan sistim pendidikan sangat dibutuhkan oleh
pesantren, yang dalam jangka panjang akan meredam pengaruh negatif bangkitnya
gerakan-gerakan militan Islam.
Perlu
diperhatikan bahwa radikalisme tidak tumbuh karena pendidikan di pesantren atau
karena eksistensi alumni Timur Tengah. Pendidikan Islam, seliteral apapun tidak
akan mempengaruhi orang untuk menjadi radikal atau terlibat dalam jaringan
kelompok Islam militan, apalagi ikut dalam pemboman atas nama Islam. Sejak abad
15, jaringan Ulama Nusantara dan Timur Tengah melahirkan ulama, aktifis sosial
dan intelektual. Dan tidak ada yang terlibat dalam gerakan Islam radikal,
hingga abad 20. Mereka yang terlibat lebih banyak dipengaruhi pengalaman
politik atau kekecewaan terhadap kinerja ormas Islam. Mereka sebagian juga
terinspirasi oleh kebijakan Amerika Serikat dan sebagian negara Barat yang memiliki
pola kebijakan yang mereka klaim merugikan umat Islam. Antara lain kebijakan
yang tidak seimbang antara Palestina dan Israel. Pemihakan yang berlebihan
terhadap Israel sangat mengecewakan mereka. Di Indonesia, tumbuhnya gerakan
radikal dan milisi Islam juga dipicu oleh timbulnya konflik di Maluku dan Poso
sejak awal tahun 1999. Melalui pemberitaan yang provokatif dan informasi
beberapa korban yang mendapat kesempatan penggalangan solidaritas di berbagai
masjid dan majelis taklim di Jawa dan Sulawesi Selatan – ‘bahwa Muslim terdesak
oleh pasukan Kristen’ – maka secara spontan kelompok solidaritas ‘Jihad’.
Terbentuknya pasukan jihad ini mendapat momentum dan sambutan meriah pada saat
lemahnya posisi negara. Pemerintah dipandang gagal dalam melindungi masyarakat
di daerah konflik, dan dampaknya terjadi penggalangan milisi keamanan sukarela.
Besarnya
antusiasme pemuda Muslim terhadap lahirnya Laskar Jihad di Yogyakarta dan
Laskar Mujahidin di Solo dan Jakarta, serta Laskar Jundullah di Sulawesi
Selatan, juga didorong oleh krisis moneter berkepanjangan. Banyak pemuda
penganggur akibat putus kerja yang mendaftar dalam milisi ini. Diantara mereka
bahkan baru belajar Islam secara intensive ketika masuk dalam jaringan laskar
ini. Mereka mencoba mencari pengalaman baru di Maluku dan Poso. Kini pasca
konflik, terutama di kota-kota besar – antara lain Kota Ambon, Buru, Ternate,
Poso- mereka berdagang dan bertani ditempat mereka yang baru, sambil
melanjutkan dakwah dan penyebaran agama.
Menuju
Perdamaian Regional: Reposisi Pesantren
Disamping peran
pesantren dalam perdamaian ditingkat lokal dan nasional, komunitasnya juga
merambah peran wilayah yang lebih luas. Dengan potensi SDM yang semakin kuat
akibat kesempatan pendidikan pasca pesantren, mereka telah menjadi ’diplomat
negara’ dalam mewujudkan cita-cita bangsa: mewujudkan kedamaian dunia. Mereka
telah mendapat kepercayaan untuk membantu negara-negara tetangga untuk
mengatasi konflik etnis dan agama, dan menyebarkan kesadaran kedamaian melalui
dialog antar iman. Beberapa alumni pesantren yang menjadi kajian buku ini,
telah berkiprah dalam intelektualisme di dunia global. Misalnya, alumni
Pesantren Al Mukmin Ngruki juga telah merambah profesi lintas negara, sebagai
jurnalis, akademisi dan sekaligus guru. Pesantren damai ditebarkan melalui
peran-peran sejenis ini. Secara lebih dinamis, komunitas pesantren berbasis
ormas Islam: Nahdlatul Ulama, mendapat peran sangat strategis untuk
menjembatani masyarakat Muslim Patani dan pemerintah Thailand. Peran perdamaian
di tingkat regional ini telah dilakukan komunitas NU sejak puluhan tahun, tidak
hanya di Asia Tenggara, tetapi juga di Timur Tengah. Pertanyaan lebih spesifik
adalah apakah peran damai komunitas pesantren telah menciptakan dan mewarnai
komunitas Muslim di Asia Tenggara? Bagaimana peran mereka dalam jaringan ulama
di Asia Tenggara dan Timur Tengah yang terjalin sejak beberapa abad lampau?
Pertanyaan ini akan menggiring kita kedalam jejak historis bagaimana
pembentukan komunitas Muslim di wilayah Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh
kiprah pesantren, dan sangat berdampak terhadap perdamaian dan stabilitas di
wilayah ini. Demikian juga komunitas pesantren yang aktif di ormas
Islam Muhammadiyah. Selain memperkuat pendidikan dasar, menengah dan tinggi,
ulama Muhammadiyah juga aktif menebarkan perdamaian melalui pembangunan
kesadaran hubungan antar agama, dan dialog antar iman. Peran damai ini perlu
dilacak dalam sejarah bagaimana wilayah ini berbeda dengan Muslim di Timur
Tengah.
Asia Tenggara
tempat berkembangnya peradaban Islam yang berbeda dengan Islam di Timur Tengah.
Islam mengalami adaptasi dan akulturasi dengan agama dan tradisi lokal. Muslim di Asia Tenggara memiliki karakter
toleran, lembut dan budi luhur. Muslim di wilayah ini seringkali disebut ’Malay Muslim’. Mungkin karena mayoritas
Muslim yang menyebar diberbagai negara di Asia Tenggara berbahasa Melayu. Ini
sebabkan oleh kelahiran atau jaringan pendidikan. Sejak puluhan tahun, ratusan
ulama dari Malaysia, Brunei dan Thailand pernah belajar di pesantren atau
madrasah di Indonesia. Ulama Indonesia juga menyebarkan Islam di negara Asia
Tenggara, antara lain Pesantren Lukmanul Hakim di Johor yang menghebohkan itu,
didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Banyak ulama muda dari
berbagai negara di Asia Tenggara belajar di pesantren ini. Meskipun akhirnya
dibubarkan karena sebagian komunitas pesantren ini dianggap terlibat dalam Bom
Bali, 12 Oktober 2002. Setidaknya, apabila dilihat dalam sejarah, banyak ulama
besar Nusantara menyebarkan pengaruh ke berbagai wilayah di Asia Tenggara.
Jaringan ulama Melayu ini menurut Azyumardi Azra (2003) telah eksis selama
beberapa abad, tidak hanya menjembatani ilmu Islam Arab dan Islam Nusantara,
tetapi juga menerjemahkan Islam dalam konteks masyarakat Melayu yang berbeda
dengan masyarakat Arab.
Beberapa
karakter penting Malay Muslim yaitu: pertama,
ideologi pemikirannya Sunni (Ahlussunnah Wal Jamaah) yang menekankan
stabilitas dan keramahan dengan warna ideologi lain. Dalam aspek politik Malay
Muslim juga menebarkan aspek kompromistis dan harmony. Tiga negara Malay
Muslim: Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam adalah par excellence dari politik masyarakat Muslim Melayu, yang
mengutamakan kompromi, akomodatif dan mengedepankan komunalisme-kekompakan atau
di Indonesia disebut gotong royong-kekeluargaan. Tradisi ini adalah produk dari
adaptasi dan akulturasi agama Islam Arab dan agama-budaya lokal Asia Tenggara
yang menghasilkan agama-tradisi baru: Muslim Melayu. Dua partai politik besar
Muslim Melayu: UMNO dan Golkar mencerminkan sikap adaptasi ini. Akomodatif
dalam beragama dan tetap menguasai politik ’persatuan’. Hal ini diperkuat
dengan eksistensi pemimpin kedua partai dalam kekuasaan tertinggi pemerintahan
masing-masing: Abdullah Badawi dan Yusuf Kalla.
Berbeda dengan
Muslim di Thailand dan Filipina yang mengalami guncangan terus menerus. Dalam
kondisi minoritas, mereka ’dipaksa’ untuk tunduk dalam tradisi mayoritas yang
didominasi oleh tradisi dan politik non Muslim. Meskipun demikian kekuatan
’ulama melayu’ dikedua wilayah ini masih sangat diperhitungkan. Karena itu, tidak heran ketika Ulama NU
diundang oleh Perdana Menteri Thaksin dan Raja Thailand untuk menjembatani
perpecahan (gap) antara pemerintah
Thailand dan Muslim Patani, Ulama NU melakukan pendekatan Islam Melayu. Mereka
berhasil menjembatani, dan membuat kemajuan untuk menyusun ulang Muslim Patani
baru dalam payung Pemerintah dan Raja Thailand. Pasca pemerintahan Thaksin,
perdana menteri Thailand yang baru pun mengajak Indonesia untuk membantu penyelesain
krisis di Thailand Selatan, dan tentu saja Menlu Hassan Wirayuda mendorong KH
Hasyim Muzadi untuk melanjutkan langkah-langkah yang pernah dirintis.
Pendekatan Melayu dalam rekonsiliasi ini akan sangat strategis, tidak hanya
menyatukan hubungan yang retak antara Muslim Patani dan Pemerintah Thailand,
tetapi juga revitalisasi pendidikan Islam melayu yang mulai hilang akibat
penetrasi tentara Thailand, dan semakin kuatnya pengaruh Wahabi dalam
pengajaran dan pendidikan madrasah di Thailand Selatan. Hal yang sama, juga
menjadi fenomena di Filipina-yang barangkali lebih sulit karena lebih jauh dari
tradisi Melayu.
Sedangkan
Muslim Singapura tidak mengalami tekanan seperti di Thailand dan Filipina,
meskipun sama-sama minoritas. Kemajuan ekonomi dan kokohnya pemerintahan
Singapura memberi kesempatan yang luas bagi Muslim Singapura yang mayoritas
Muslim Melayu untuk maju bersaing dengan etnis lain, khususnya China dan India.
Tradisi melayu tetap hidup di Singapura, dan membentuk koloni –masyarakat
Melayu Singapura- yang tumbuh nasionalisme dibawah Negara Singapura yang kaya.
Banyak tokoh Muslim Singapura yang berhasil menjadi pengusaha, politisi dan
intelektual ternama, mampu bersaing dengan etnis China yang dominan dan India.
Muslim Melayu Singapura tidak hanya damai karena kemakmuran dan tingkat
pendidikan yang merata, tetapi khususnya terjaganya tradisi Melayu dalam
masyarakat. Muslim Melayu Singapura
menjaga toleransi dan perdamaian dengan dominasi masyarakat Chinese Singapura
dan India.
Tantangan Baru
Tradisi
damai dan komitmen dalam menjaga toleransi dan kerjasama Malay Muslim di Asia
Tenggara dalam satu dekade terakhir mendapat tantangan kuat, akibat derasnya
tradisi Wahabi dalam pendidikan Islam di Asia Tenggara, dan khususnya tekanan
global atas klaim tumbuhnya gerakan terorisme di Asia Tenggara. Tulisan Sidney
Jones tentang Jamaah Islamiah (JI), Rohan Gunaratna dalam Inside Alqaidah, dan terutama setelah terbitnya karya Nasir Abbas
tentang JI mengguncang ulama di Asia
Tenggara, bagaimana bisa gerakan radikalisme dan terorisme bisa berkembang
dalam alam Muslim Melayu? Seolah mereka ’kecolongan’ atas eksistensi gerakan
ini. Ini menjadi tantangan baru, bagaimana tradisi Malay Muslim dilakukan
revitalisasi dalam pendidikan, politik dan budaya agar bisa memenuhi tuntutan
masyarakat baru Asia Tenggara, yang sedang survive
dalam tekanan ekonomi global. Trauma krisis ekonomi belum pulih dalam
kehidupan masyarakat, dan ini akan mudah dimasuki oleh tradisi baru yang
menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Jihad
yang dulu di pesantren dan madrasah memiliki makna luhur, menciptakan
kedamaian dan kemajuan dalam masyarakat, kini mendapat nuansa dan interpretasi
baru dengan kekerasan dan perang. Tantangan juga semakin berat dengan trend
politisasi regulasi syari’at Islam, yang jauh dari nilai-nilai dan kebiasaan
Muslim Melayu yang tidak suka atas formalisasi Islam. Muslim Melayu menyajikan
Islam secara substantif dan kultral. Budaya hedonis politisi yang pragmatis ini
akan menjadi bumerang bagi masa depan Muslim di Asia Tenggara dalam jangka
panjang. Muslim Indonesia yang dulu dilihat damai dalam beribadah dan
bermuamalah (termasuk bersiasah), kini dilihat oleh Muslim Malaysia dan
Singapura sebagai saudara tua yang berubah dan nampak menegangkan (kalau tidak
menakutkan). Semakin pudarnya tradisi Muslim Melayu dalam paruh kedua dekade
terakhir membutuhkan daya juang dan pikir serius bagaimana upaya revitalisasi
dan refleksi atas pengembangan pendidikan dan dakwah yang lebih humanis dan
toleran. Kedamaian tradisi Malay Muslim harus dikembalikan, dengan kerjasama
yang kuat antara Ulama dan Umara. Ini akan mencipkan wilayah yang damai dan
makmur, gemah ripah loh jinawi, toto
tentrem karta raharja, Baldatun
Tayyibah Wa Rabbun Gafur.
Langganan:
Postingan (Atom)