A Khudori Soleh
Dosen Fakultas Psikologi
UIN Malang
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Benar bahwa secara
normatif, tidak ada satupun agama yang menganjurkan pemeluknya untuk melakukan
tindak kekerasan (violence). Akan tetapi, secara faktual, tidak jarang
dijumpai tindak kekerasan yang dilakukan masyarakat agamis. Bahkan, ada
kecenderungan bahwa kekerasan ini justru dilakukan oleh mereka yang mempunyai
basic agama yang kuat dan melakukannya dengan atas nama agama. Apa yang terjadi
di Sulawesi Tengah, Maluku, dan Aceh,[1]
juga di Afganistan, Pakistan, India, Palestina dan Irlandia adalah bukti-bukti
yang menyatakan hal itu.
Kenyataan–kenyataan tersebut
akhirnya mendorong para pemikir untuk menemukan konsep alternatif dan
menyajikan agama yang sejuk serta damai. Muncullah gagasan-gagasan untuk
melakukan dialog dan kerja sama di antara umat beragama, seperti di Bali atau
di beberapa negara lain akhir-akhir ini. Namun, semangat dan intensitas dialog
dan saling menyapa tersebut agaknya masih banyak yang dilakukan atas dasar
kepentingan sosiologis, politis atau sejenisnya. Belum dibarengi dengan
perubahan dogma dan tata pikir keagamaan yang lebih mendasar, sehingga dialog, kerja
sama dan kerukunan yang dihasilkan hanya merupakan kerukunan semu, bukan
kerukunan yang tulus, sehingga sedikit masalah telah mampu merusak kesepakatan
dan kerja sama yang di bangun.
Farid Esack, tokoh pemikir Islam asal Afrika Selatan yang tengah
banyak mendapat perhatian internasional lewat karya dan keterlibatannya dalam
gerakan praksis, mendobrak klaim kebenaran eksklusif agama untuk kemudian
menggantinya dengan gagasan-gagasan pluralis dan membebaskan. Berdasarkan teori hermeneutikanya, Esack menjelaskan dan
memberikan landasan teologis bagi terlaksananya kerja sama antar umat beragama,
khususnya muslim-non muslim. Lebih dari itu, Esack bahkan mengorientasikan
tafsirannya atas teks suci (al-Qur`an) agar dapat menggerakan massa muslim dan
non-muslim untuk secara bersama-sama melakukan perubahan-perubahan.
B. Pokok Masalah
Berdasarkan uraian di atas,
persoalan pokok yang akan diangkat dan dikaji dalam penelitian ini:
1.
Bagaimana metode hermeneutika yang dikembangkan Farid Esack?
2.
Bagaimana konsep kerja sama antar umat beragama yang ditawarkan Esack?
3.
Mengapa Farid Esack merasa perlu menformulasikan kembali konsep pluralisme
dan kerja sama antar umat beragama dalam al-Qur`an?
C. Tujuan dan Signifikansi
Tujuan utama penelitian ini
adalah:
1.
Melakukan ekplorasi atas metode hermeneutika yang dikembangkan Esack.
2.
Melakukan eksplorasi atas pemikiran Esack tentang kerja sama antar umat
beragama yang didasarkan atas teks-teks al-Qur’an.
3.
Melihat latar belakang pemikiran Esack berkaitan dengan konsepnya tentang
kerja sama antar umat beragama.
Berdasarkan persoalan
dan tujuan di atas, penelitian ini diharapkan mempunyai signifikansi dan
manfaat secara teoritis maupun praktis:
1.
Sebagai masukan bagi departemen agama, juga pihak-pihak yang konsen
terhadap persoalan sosial keagamaan, dalam upaya membangun hubungan antar umat
beragama secara damai, sejuk dan pernuh toleransi.
2.
Sebagai masukan teologis atas pelaksanaan kerja sama antar umat beragama di
tanah air, sehingga dapat tercipta hubungan antar umat beragama yang penuh
kesadaran dan tidak mudah retak.
3.
Memperkaya khazanah kajian keagamaan, terutama masalah hubungan antar
agama. Studi atas problem yang dihadapi Esack dan alternatif yang ditawarkan
dapat dijadikan model bagi wilayah lain yang memiliki konteks dan problem sama
seperti di tanah air.
4.
Memperkaya khazanah kajian metodologis, khususnya tentang hermenutika atau
analisa teks. Metode ini sangat penting dalam pengembangan keilmuan di UIN yang
banyak berkaitan dengan teks-teks suci dan teks-teks klasik.
D. Kerangka Teori
Penelitian ini didasarkan atas dua
teori pokok: hermeneutika dan sikap keberagamaan manusia. Pertama,
hermeneutika. Dalam hermeneutika dikenal dua macam model penafsiran, yaitu
objektif dan subjektif. Hermeneutika objektif adalah model penafsiran yang
banyak dikembangkan tokoh klasik, khususnya Schleiermacher (1768-1834) dan
Wilhelm Dilthey (1833-1911).[2]
Menurut model ini, penafsiran berarti memahami teks sebagaimana yang dipahami
pengarangnya, sebab apa yang disebut teks adalah ungkapan jiwa pengarangnya.
Seâdemikian, sehingga apa yang disebut makna atau tafsiran atasnya tidak
didasarkan atas kesimpulan kita melainkan diturunkan dan bersifat instruktif.[3]
Hermeneutika subjektif adalah
model penafsiran yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh modern khususnya Gadamer
(1900-2002) dan Derida (l. 1930).[4]
Menurut model kedua ini, hermeneutika bukan usaha menemukan makna objektif yang
dimaksud si penulis seperti yang diasumsikan model hermeneutika objektif
melainkan memahami apa yang tertera dalam teks itu sendiri.[5]
Stressing mereka adalah isi teks itu sendiri secara mandiri bukan pada ide awal
si penulis. Dalam pandangan hermeneutika subjektif, teks bersifat terbuka dan
dapat diinterpretasikan oleh siapa pun, sebab begitu sebuah teks dipublikasikan
dan dilepas, ia telah menjadi berdiri sendiri dan tidak lagi berkaitan dengan
si penulis.
Kedua, pola hubungan antar umat beragama. Paling tidak ada
tiga tipe sikap yang ditunjukkan umat: ekskusif, inklusif, dan pluralis.[6]
Sikap eksklusif adalah pandangan yang menolak adanya kerja sama antar
umat beragama, karena masing-masing mengklaim dirinya sebagai yang paling
benar.[7]
Sikap inklusif adalah pandangan yang sudah mampu dan mau melakukan
hubungan dan kerja sama dengan pihak lain, tetapi hanya pada dan atas dasar
kepentingan social, karena apa yang benar hanya pada dirinya sendiri. Sikap pluralis
adalah paradigma pemikiran yang berpendapat bahwa setiap agama mempunyai
kebenaran dan jalan keselamatan sendiri-sendiri sehingga tidak ada alasan untuk
menolak kerja sama di antara mereka. Bukan sekedar alasan sosiologis melainkan
teologis.[8]
E. Metode Penelitian
Pendekatan
yang digunakan dalam penelitian adalah historis dan hermeneutik. Historis
dipakai untuk memetakan sisi-sisi sejarah yang mengitari konsep dan
pikiran-pikiran. Sisi-sisi tersebut dianalisa untuk menentukan hubungan
berbagai komponen di dalamnya, kemudian diuraikan berdasakan klasifikasinya.
Untuk kepentingan ini digunakan metode deskriptif-analitis, dengan prosedur: 1)
pengumpulan data, 2) klasifikasi data, 3) analisa data, dan 4) pengambilan
kesimpulan.[9]
Adapun analisa data dilakukan dengan menggunakan prosedur deskripsi,
interpretasi, dan refleksi. Segala sesuatu yang berkaitan dengan Esack dan tema
penelitian ini dijelaskan secara deskriptif, sementara interpretasi digunakan
untuk memahami konsep yang ditawarkan Esack beserta implikasinya, dan
selanjutnya refleksi kritis disampaikan sebagai evaluasi terhadap konsep yang
ditawarkan Esack.
Pendekatan hermeneutika digunakan
untuk mengungkap pikiran Esack.[10]
Penelitian ini mengungkap gagasan penafsiran al-Qur`an (hermeneutika) Farid
Esack yang berposisi sebagai teks (as text). Sedangkan penyelidikan
terhadap pengarang (author) dianotasikan kepada sosok pribadi Farid
Esack beserta konteks yang mengitarinya, yaitu biografi dan faktor eksternal
konteks Afrika Selatan yang sarat dengan gejolak religio-sosial-politik. Selain
itu, penelitian ini juga berupaya mengungkapkan horizon penulis sebagai pembaca
(reader) dalam rangka melakukan pembacaan kritis terhadap hermeneutika
Farid Esack tentang konsep solidaritas antaragama yang diupayakan legitimasinya
dari al-Qur’an.
Sumber
data didasarkan atas informasi yang dimuat dalam literatur-literatur
kepustakaan. Data primer dari penelitian ini adalah semua karya tulis Farid
Esack, baik buku, jurnal maupun webb-site, yang memuat pandangannya
tentang al-Qur’an dan solidaritas antar-agama, sedang data sekundernya adalah
segala informasi dari berbagai karya yang ditulis orang lain tentang Farid
Esack dan yang berkaitan dengan tema penelitian ini, baik berupa buku maupun
artikel-artikel yang tersebar di berbagai majalah, jurnal, dan web-site.
II. SETTING OBJEK PENELITIAN
A. Riwayat Hidup
Maulana Farid Esack lahir tahun
1959 di Cape Town, daerah pinggiran kota Wynberg, Afrika Selatan, dari keluarga
miskin.[11]
Pendidikan dasar dan menengahnya di tempuh di Bonteheuvel. Pada usia 9 tahun,
ketika teman sebayanya mulai memasuki kehidupan gangster dan minuman keras,
Esack justru bergabung dengan Jamaah Tabligh. Usia 10 tahun dia sudah menjadi guru
di sebuah madrasah lokal.[12]
Tahun
1974, Esack ditahan dinas kepolisian Afrika Selatan karena dianggap merongrong
pemerintahan rezim apartheid. Namun, tidak lama kemudian ia dibebaskan dan
pergi ke Pakistan untuk melanjutkan studinya.[13]
Di Pakistan, Esack melanjutkan studi di Seminari (Islamic
College) atas dana beasiswa. Dia menghabiskan waktunya selama sembilan
tahun (1974-1982) sampai mendapat gelar kesarjanaan di bidang teologi Islam dan
sosiologi pada Jamî’ah al-Ulûm al-Islâmiyyah, Karachi.[14]
Setelah itu, ia pulang ke Afrika Selatan karena tidak tahan melihat negaranya
sedang berjuang melawan apartheid.
Selama di tanah airnya ini, Esack
bersama beberapa temannya membentuk organisasi politik keagamaan, The Call
of Islam dan ia menjadi koordinator nasionalnya. Melalui organisasi ini, Esack berkeinginan dan
berjuang keras untuk menemukan formulasi Islam khas Afrika Selatan, berdasarkan
pengalaman penindasan dan upaya pembebasan yang disebutnya sebagai a search
for an outside model of Islam.[15]
Tahun 1990, Esack kembali ke Pakistan, melanjutkan studi di Jami’ah
Abi Bakr, Karachi. Di sini dia menekuni Studi Qur’an (Qur’anic Studies).
Tahun 1994, Esack menempuh program Doktor di Pusat Studi Islam dan Hubungan
Kristen-Muslim (Centre for the Study of Islam and Christian-Muslim Relations
[CSIC]) University of Birmingham (UK), Inggris. Puncaknya, tahun 1996, Esack
berhasil meraih gelar Doktor di bidang Qur’anic Studies dengan desertasi
berjudul Qur’an, Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of
Inter-religious Solidarity against Oppression.[16]
B. Karya-karya Esack
Karya-karya Easck amat banyak,
baik berupa artikel maupun buku. Artikelnya yang dipublikasikan dalam jurnal
atau yang dihimpun dalam sebuah buku:
- “Muslim in South Africa: The Quest for Justice”, dalam Journal of Islam and Christian-Muslim Relation, Vol.2 No.2 (1987)
- “Contemporary Religious Thought in South Africa and Emergence of Qur’anic Hermeneutical Nation”, dalam Journal of Islam and Christian-Muslim Relation, Vol.5 No.2 (1991)
- “Qur’anic Hermeneutic: Problem and Prospect”, dalam The Muslim World, Vol.83 No.2 (1993)
- “Three Islamic Strands in the South African Struggle for Justice”, dalam Third World Quarterly, Vol.10 No.12 (1998)
- “The Exodus Paradigm in The Light of Re-interpretative Islamic Thought in South Africa”, dalam Islamochristiana, Vol. 17 (1999)
- “Muslim Engaging Apartheid”, dalam James Mutawirma (ed,), The Role of Religion in the Dismantling of Apartheid, (Geneva: Council of Churches & UNESCO, 1992)
- “From The Darkness of Oppression into the Wildness of Uncertainly”, dalam David Dorward, South Africa-The Way Forward ? (Victoria: African Research Institute, 1990);
- “Spektrum Teologi Progressif Afrika Selatan”, dalam Tore Lindholm dan Karl Vogt (ed), Dekonstruksi Syari’ah (II) : Kritik Konsep dan Penjeajahan Lain, terj. Farid Wajdi (Yogyakarta: LkiS, 1996).
Pemikiran-pemikiran
Esack yang tertuang dalam bentuk buku:
- Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity against Oppression”, Oneworld: England, 1997. Edisi Indonesia: “Membebaskan yang Tertindas; Al-Qur’an, Liberalisme, dan Pluralisme”, terj. Watung A. Budiman, Bandung: Mizan, 2000.
- On Being A Muslim: Finding a Religious Path in The World today”, Oneworld: England, 2000.
- The Qur’an: a Short Introduction”, Oneworld: England, 1997.
Adapun artikel Esack
yang ada dalam home page-nya adalah:[17]
1.
To Whom Shall We Give Our Water Holes? (Islam and International Relations, 2002.
2.
How Liberated Is Christian Liberation Theology.
3.
The Unfinished Business of Our Liberation Struggle.
4.
What Do Men Owe to Women? Islam & Gender Justice: Beyond Simplistic
Apologia.
5.
Muslim Engaging The Other and Humanum.
6.
Religio Cultural Diversity: For what and With Whom? Muslim Reflections from
a Post Apartheid South Africa in the Throes of Globalization.
7.
Glasnost and the Mass Democratic Movement, 1990.
8.
Is Being a Muslim Much Travail in Triviality?
9.
Why Celebrate Women’s Day?
10. The Liberation Struggle in South
Africa: The Bases of Our Hopes, 1988.
11. Mosques: The Battle for Control-Some
Reflections, 1989.
12. Snakes and Ladders: Personal
Reflections on the Other CST.
13. Gender and Firearms Control.
14. To Whom Shall We Give Our Water
Holes? Social, Religious, and Political Dimensions of Prejudice: Reflections of
a Muslim.
15. Does a Man not Bleed When He is
Pricked?
16. Bombing Of Planet Hollywood.
C. Keilmuan
Esack
memegang peranan penting di berbagai lembaga dan organisasi, seperti The
Organisation of People Aginst Sexism
dan The Capé Against Racism and the World Conference on Religion and Peace.
Dia juga rutin menjadi kolumnis politik di Cape Time (mingguan), Beeld
and Burger (dua mingguan), koran harian South African dan kolumnis
masalah sosial-keagamaan untuk al-Qalam, sebuah tabloid bulanan Muslim
Afrika Selatan. Ia juga menulis di Islamica,
Jurnal tiga bulanan umat Islam di Inggris serta jurnal Assalamu’alaikum,
sebuah jurnal Muslim Amerika yang terbit tiga bulan sekali.[18]
Dalam
bidang akademik, Esack menjabat sebagai Dosen Senior pada Department of
Religius Studies di University of Western Capé sekaligus Dewan Riset project on
Religion Culture and Identity. Disamping itu, ia juga pernah menjabat sebagai
Komisaris untuk Keadilan Jender, dan sekarang diangkat menjadi Guru Besar Tamu
dalam Studi Keagamaan (Religious Study) di Universitas Hamburg, Jerman.
Esack juga memimpin banyak LSM dan perkumpulan, semisal Community Depelovment Resource Association,
The (Aids) Treatment Action Campaign, Jubilee 2000 dan Advisory Board of SAFM.[19]
Saat ini,
waktunya banyak dihabiskan untuk mengajar berbagai mata kuliah (wacana) yang
bertalian dengan masalah keislaman dan Muslim di Afrika Selatan, teologi Islam,
politik, environmentalisme dan keadilan jender di sejumlah Universitas di
berbagai penjuru dunia, antara lain, Amsterdam, Cambridge, Oxford, Harvard,
Temple, Cairo, Moscow, Karachi, Birmingham, Makerere (Kampala) Cape Town
dan Jakarta.[20]
III. TEMUAN PENELITIAN
A. Narasi Data
Pertama, berkaitan dengan masalah hermenutika. Metode
hermenutika Esack, seperti diakuinya sendiri diilhami dari konsep teologi
pembebasan (liberation theologi) Gueterriez dan Segundo, pola pemikiran
regresif-progresif Arkoun dan double movement Rahman. Esack meramu dari
ketiga pemikiran tersebut kemudian menambahkan dengan kunci-kunci hermeneutika
yang sengaja dibuatnya secara khusus sesuai dengan konteks masyarakat Afrika
Selatan yang diwarnai penindasan, ketidakadilan dan eksploitasi. Kunci-kunci
yang dimaksud adalah, taqwa (integritas dan kesadaran akan kehadiran
Tuhan), tauhid (keesaan Tuhan), al-nas (manusia), al-mustadh’afûn
fi al-ardh (yang tertindas di bumi), adl and qisth (keadilan dan
keseimbangan), serta jihad (perjuangan dan praksis).[21]
Kunci-kunci tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan bagaimana hermeneutika
pembebasan al-Qur’an bekerja, dengan pergeseran yang senantiasa berlangsung
antara teks dan konteks berikut dampaknya terhadap satu sama lainnya.[22]
Selain itu, kunci-kunci di atas
juga digunakan untuk tujuan tertentu dan tersruktur; dua kunci pertama taqwa
dan tauhid dimaksudkan sebagai pembangunan ktiteria moral dan doktrinal
yang akan menjadi lensa teologis dalam membaca al-Qur’an terutama teks-teks
tentang pluralisme dan solidaritas antariman. Dua kunci berikutnya al-nas
dan al-mustad’afuna fi al-ardh sebagai pengukuhan terhadap konteks atau
lokasi aktifitas penafsiran, sedang dua kunci terakhir adl–qisth dan jihad
merupakan refleksi dari metode dan etos yang menghasilkan dan membentuk
pemahaman kontekstual tentang firman Tuhan dalam masyarakat yang diwarnai
ketidakadilan.[23]
Kedua, berdasarkan metode hermeneutika tersebut, Esack
mencapai kesimpulan bahwa kerja sama dengan umat agama lain adalah sesuatu yang
tidak dilarang, jika tidak malah dianjurkan. Kesimpulan ini didasarkan atas
penafsirannya terhadap (1) ayat-ayat pluralitas, (2) ayat-ayat afinitas, dan
(3) kisah eksodus Musa serta Bani Israil dari Mesir.
1. Pluralisme Agama.
Menurut Esack,
al-Qur'an sebenarnya secara tegas dan jelas menunjukkan adanya pluralitas dan
keanekaragaman agama. “Sungguh,
orang-orang yang beriman, Yahudi, Sabi’in, Nasrani,
dan siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah, Hari Akhir, dan
berbuat kebajikan, mereka akan mendapatkan balasan dari sisi Tuhan mereka,
tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka akan bersedih hati”.
(QS. al-Baqarah, 62).
Ayat tersebut,
menurut Esack, secara tegas menyatakan adanya keselamatan yang dijanjikan Tuhan
bagi setiap orang yang beriman kepada-Nya dan Hari akhir, yang diiringi dengan
berbuat kebajikan (amal salih) tanpa memandang afiliasi agama formal
mereka. Pernyataan ini sejalan dengan pendapat Rasyid Ridla dan Thabathaba’i.[24]
Menurut Ridla, semua yang beriman kepada Allah dan beramal salih tanpa
memandang afiliasi keagamaan formal mereka akan selamat, karena Allah tidak
mengutamakan satu kelompok dengan mendlalimi kelompok yang lain. Thabathaba’i
dengan bahasa yang berbeda menyatakan ‘tidak ada nama dan tidak ada sifat yang
bisa memberi kebaikan jika tidak didukung oleh iman dan amal shalih. Aturan ini
berlaku untuk seluruh umat manusia’. Bahkan dalam pandangan Ridla dan Thabathaba’I,
teks-teks tersebut juga sebagai respon atas sikap eksklusivisme yang
terkungkung dalam sektarianisme dan khauvinisme keberagamaan yang sempit.
Rasyid Ridla menegaskan: “keselamatan tidak dapat ditemukan dalam
sektarianisme keagamaan, tetapi dalam keyakinan yang benar dan kebajikan”.
2. Prinsip
Afinitas (wilâyah)
Masalah
afinitas (wilâyah) telah menjadi kajian serius sejak masa klasik.
Sebagian besar ulama klasik dan umat Islam Afrika Selatan menolak kerjasama
dengan umat agama lain berdasarkan makna teks al-Qur’an surat al-Maidah, 51.
Menurut Esack,
benar bahwa ayat ini secara tekstual tidak mengizinkan afinitas (wilâyah)
dengan kaum agama lain, dalam hal ini Yahudi dan Nasrani. Akan tetapi, kita
tidak bisa berhenti di sini melainkan harus melihat lebih jauh ayat-ayat yang
terkait dengan hal ini secara keseluruhan dan konteks turunnya ayat. Ditempat
lain, larangan ini juga ditujukan pada orang-orang munafiq (QS. al-Nisa, 89),
orang yang mengejek din-mu (QS. al-Maidah, 57), orang yang memerangi
kamu karena din-mu dan mengusir kamu dari negerimu (QS. al-Mumtahanah,
13). Artinya, larangan-larangan tersebut adalah karena adanya sikap-sikap atau
tindakan tertentu yang merugikan umat Islam, sehingga jika sikap-sikap tersebut
tidak ditemukan berarti kontekstualisasinya adalah boleh melakukan afinitas
dengan mereka.[25]
Selain itu,
adalah fakta bahwa dalam sejarah Islam terdapat kisah kaum muslim yang mencari
suaka dan perlindungan dari penganiayaan Quraisy pada umat Nasrani di Abysina
pada tahun kelima kenabian Muhammad SAW. Di sana mereka terlindungi dari bahaya
kemurtadan dan penganiayaan. Juga, sejarah kaum muslim awal di bawah
kepemimpinan nabi Muhammad sering membuat perjanjian politik dan pertahanan
bersama kaum lain, terutama pada era awal kehidupan di Madinah. [26]
3. Paradigma
Eksodus
Selain
didasarkan atas pemahamannya tentang prinsip afinitas, juga didasarkan atas
kisah keluarnya Bani Israel dari Mesir (eksodus) seperti yang tercatat dalam
al-Qur’an. Signifikansi kisah tersebut adalah komitmen Tuhan pada kebebasan
politik bagi manusia, terlepas dari soal keimanan mereka. Dalam al-Qur’an
sendiri digambarkan bahwa Bani Israel yang dibela Musa bukanlah kaum yang
beriman melainkan justru orang yang keras kepala dan kufur. Yang beriman di
kalangan mereka hanya kelompok dzurriyah yang oleh para ahli tafsir
klasik diartikan dengan “sebagian kecil”,[27]
“anak-anak mereka”[28]
atau “beberapa pemuda”.[29]
Lebih dari,
mereka bahkan malah membuat patung sesembahan (QS. al-Baqarah, 51; Thaha,
85-97) dan ketika berbicara dengan Musa, mereka menyebut Allah dengan “Tuhanmu”
(QS. al-Baqarah, 61). Ketika diminta berperang untuk kemerdekaan mereka
sendiri, mereka mengatakan, “Pergi dan berperanglah bersama Tuhanmu, dan kami
akan duduk di sini” (QS. al-Maidah, 24). Mereka bahkan mengejek Musa, “Kami
tidak akan beriman kepadamu sebelum kami bertatap muka dengan Allah” (QS.
al-Baqarah, 55). Meski terus menyangkap dan tidak mau beriman, mereka tetap
diajak “masuk ke tanah itu dan makan makanan yang banyak” (QS. al-Baqarah, 58;
al-A`raf, 161). Tegasnya, tidak satupun baik kemerdekaan maupun karunia yang
telah diberikan kepada mereka, menjadikan mereka beriman kepada Allah.
Meski demikian,
mereka tetap dibela Tuhan dengan mengutus Musa. Acuan mustadh’afun
(tertindas) yang dialami Bani Israil akibat kesewenang-wenangan Fir’aun
mencerminkan posisi utama yang diberikan Tuhan bagi kaum tertindas. Hal
tersebut juga menandakan bahwa janji pembebasan tetap ada walaupun dalam
ketiadaan iman kepada Tuhan, dengan argumen bahwa ketertindasan mereka harus diselamatkan
dulu sebelum menekankan keimanan kepada mereka.[30]
Berdasarkan semua itu, Esack menyatakan bahwa hubungan dan kerja sama
dengan pihak non muslim adalah tidak terlarang. Akan tetapi, kerja sama
tersebut tidak bisa dilakukan secara sembrono. Ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi. (a) kerja sama tersebut tidak boleh sampai meninggalkan umat Islam
sendiri, (b) kerjasama tersebut harus memberikan perlindungan jangka panjang
terhadap Islam. Selain itu, pihak yang diajak kerja sama harus memenuhi persyaratan:
(a) telah terikat perjanjian damai atau tidak menunjukkan permusuhan terhadap
Islam, (b) bukan pihak-pihak yang membuat agama menjadi bahan ejekan, (c) bukan
orang yang mengingkari kebenaran, (d) bukan pihak atau yang membantu
pihak-pihak yang mengusir umat Islam.[31]
Ketiga, alasan formulasi konsep kerja sama Esack didasarkan
atas kenyataan (1) secara sosio-politis, Afrika Selatan berada dalam kekasaan rezim
Apartheid yang tiranik dan hegemonik, dan persoalan ini harus segera di akhiri;
(2) secara sosio-keagamaan, ada relasi yang kuat antara teologi konservatif
yang dianut sebagian besar kaum akomodasionis dengan ideologi status quo yang
dijalankan rezim apharteid. Padahal, secara teologis, tak ada satupun
pernyataan al-Qur’an yang membenarkan kekejaman perilaku politik apartheid; (3)
kuatnya ego superioritas khauvinistik kelompok keagamaan yang dianut
fundamental Islam. Keyakinan bahwa hanya Islam sebagai satu-satunya jalan untuk
mendapatkan keselamatan (eksklusif) telah membutakan mata akan kenyataan bahwa
agama yang ada tidak hanya Islam, dan bahwa penganut agama lain juga berjuang
menegakkan kebenaran serta menentang kezaliman.
B. Kajian atas Konsep
Pertama,
tentang hermenutika. Bangunan teori hermeneutika Esack tidak lahir dengan sendirinya tetapi di
dasarkan dan diramu dari berbagai pemikiran, khususnya Gueterrez, Arkoun dan
Rahman. Esack mengambil konsep pembebasan dari Gueterrez dan double movement
Rahman untuk menjelaskan soal praksis dan semangat teks, dan mengambil konsep regresif-progresif Arkoun
untuk memberikan landasan kontekstualisasi teks pada masa kekinian. Namun,
Esack berbeda dari ketiganya ketika dia memberikan kunci-kunci penafsiran yang
terdiri atas 6 hal. Selain itu, Esack juga berbeda dengan penempatan posisi
penafsiran. Dalam pola hermeneutika biasa, eksistensi teks dalam konteks (lokus penafsiran) ditentukan oleh “kuasi transformatif” yang mampu menggeser paradigma atau model cara baca terhadap teks. Akan tetapi, Esack
justru menempatkan posisi sentral penafsiran pada teks partikular (prior
texts) dan responsinya terhadap konteks tanggapan audiens, serta menentukan arti penting relevansi teks dalam konteks
kontemporer. Sedemikian, sehingga ditemukan “makna baru” yang dibutuhkan.
Yakni, makna baru yang sesuai dengan kebutuhan dan konteks partikular
(sosial-politik-keagamaan) Afrika Selatan. [32]
Dalam
bahasa yang lebih mudah, teori hermenutika Esack pertama kali didasarkan atas
pembacaannya terhadap realitas praksis. Ketika realitas tersebut harus dirubah,
karena terjadi ketimpangan, maka disana dicarikan justifikasinya dari
ayat-ayat, karena semangat teks sesunguhnya adalah pembebasan dari ketimpangan.
Ayat-ayat dimaknai secara baru untuk mendukung gagasan dan upayanya dalam
memberikan perubahan social masyarakat sesuai dengan élan vital alQur'an
sendiri. Inilah rumusan khas hermeneutika Esack yang tidak ditemukan dalam
hermeneutika lainnya.
Kedua,
konsep kerja sama Esack benar-benar di dasarkan atas pembacaannya atas realitas
praksis Afrika Selatan dan metode hermenutika yang dikembangkannya. Karena itu,
hasilnya memang sering berbeda atau bahkan berseberangan dengan
penafsiran-penafsiran klasik. Akan tetapi, Esack tidak berarti sama sekali
meninggalkan tafsir klasik. Ia tetap dan justru menggunakannya dalam upaya
mendukung pemikiran dan proses hermeneutikanya.
Meski
demikian, Esack bukan berarti pemikir yang liar dan liberal. Sebaliknya, ketika
ia mematok syarat-syarat tertentu dalam pelaksanaan kerja sama antar umat
beragama yang begitu ketat, Esack justru bisa jatuh pada kategori konservatif
dan tradisional. Sebab, hasil akhirnya ternyata bisa tidak jauh beda dengan
tafsir-tafsir klasik yang secara eksplisit melarang adanya hubungan dan kerja
sama dengan pihak lain.
IV. ANALISA TEORITIS
A. Keberlakuan Teoritis
Ada dua
kajian teori yang ditulis dalam pendahuluan dan ditemukan dalam pembahasan:
hermeneutika dan pola kerja sama antar umat beragama. Pertama,
hermeneutika. Berdasarkan pengertian yang diberikan, hermeneutika sesungguhnya
tidak berbeda dengan tafsîr dalam tradisi Islam. Menurut Dzahabi, tafsir
adalah seni atau ilmu untuk menangkap dan menjelaskan maksud-maksud Tuhan
--dalam al-Qur`an-- sesuai dengan tingkat kemampuan manusia (bi qadr
al-thâqah al-basyariyah).[33]
Dalam tradisi keilmuan Islam, tafsir ini kemudian berkembang menjadi dua
aliran: tafsîr bi al-ma’tsûr dan tafsîr bi al-ra’y. Tafsîr bi
al-ma’tsûr adalah interpretasi al-Qur`an yang didasarkan atas penjelasan
al-Qur`an dalam sebagian ayat-ayatnya, berdasarkan atas penjelasan Rasul, para
shahabat atau orang-orang yang mempunyai otoritas untuk menjelaskan maksud
Tuhan, sementara tafsîr bi al-ra’y adalah interpretasi yang didasarkan
atas ijtihad.[34]
Dalam
perbandingan diantara keduanya, model tafsir bi al-ma`tsûr sesuai dengan
model hermeneutika objektif. Sebagaimana hermeneutika objektif yang berusaha
memahami maksud pengarang dan masuk dalam tradisinya, tafsir bi al-ma`tsûr
juga berusaha menangkap maksud Tuhan dalam al-Qur`an dengan cara masuk pada
kondisi realitas historisnya saat turunnya ayat. Dalam pandangan tafsir bi
al-ma`tsûr, yang paling mengetahui maksud Tuhan adalah Rasul, para shabat
dan mereka yang sezaman. Kita tidak akan dapat menangkap maksud al-Qur`an tanpa
bantuan mereka dan memahami realitas historis yang melingkupinya. Karena itu,
metode tafsir bi al-ma’tsûr senantiasa mengikatkan dan menyandarkan diri
pada tradisi masa Rasul, shahabat dan yang berkaitan dengan periode awal
turunnya al-Qur`an.
Sementara itu, tafsir bi
al-ra’y sesuai dengan model hermeneutika subjektif. Sebagaimana konsep
hermeneutika subjektif, tafsir bi al-ra’y tidak memulai penafsirannya
berdasarkan realitas-realitas historis atau analisa-analisa linguistik
melainkan memulai dari prapemahaman si penafsir sendiri kemudian berusaha
mencari legitimasinya atau kesesuaiannya dalam teks tersebut.[35]
Pernyataan ini dapat dilihat, antara lain, pada interpretasi yang dilakukan Ibn
Arabi tentang ayat Dia membiarkan kedua lautan mengalir yang keduanya
kemudian bertemu (QS. al-Rahman, 19). Ibn Arabi yang sufistik memulai
tafsirannya berdasarkan prinsip-prinsip ajarannya kemudian mencari dukungannya
dalam teks. Karena itu, menurutnya, yang dimaksud dua lautan dalam ayat diatas
adalah lautan substansi raga yang asin dan pahit dan lautan ruh yang murni,
yang tawar dan segar yang keduanya saling bertemu dalam wujud manusia.[36]
Meski demikian jauh dan meski
hermeneutika subjektif (tafsir bi al-ra’y) didasarkan atas konteks
kekinian, tetapi ia masih lebih banyak berkutat dalam lingkaran wacana, belum
pada aksi. Gadamer sendiri menyebut hermeneutika lebih hanya merupakan
permainan bahasa, karena segala yang bisa dipahami adalah bahasa (being that
can be understood is language).[37]
Artinya, metode hermeneutika yang lain baru pada tahap pemahaman, tetapi
bagaimana memahami teks dan realitas, belum pada tahap bagaimana merubah
realitas.
Hermeneutika Esack tidak seperti
itu, melainkan telah masuk pada dataran praxis. Baginya, interpretasi bukan
sekedar memproduksi atau mereproduksi makna melainkan lebih dari itu adalah
bagaimana makna yang dihasilkan tersebut dapat merubah kehidupan. Yang penting
adalah bagaimana hasil penafsiran bisa diaplikasikan dalam kehidupan manusia,
bisa memberi motivasi pada kemajuan dan kesempurnan hidup manusia. Tanpa
keberhasilan tahap ketiga ini, betapapun hebatnya hasil interpretasi tidak ada
maknanya. Sebab, disinilah memang tujuan akhir dari diturunkannya teks suci.
Dengan mengutip pendapat Bultman, Esack mengasumsikan bahwa setiap orang
mendatangi teks dengan persoalan dan harapannya sendiri, sehingga sangat tidak
mungkin untuk menuntut penafsir lepas sepenuhnya dari subyektivitas dirinya dan
menafsirkan suatu tanpa dipengaruhi pemahaman dan pertanyaan awal yang berada
dalam benaknya.[38]
Lebih lanjut, hal itu berarti juga bahwa penafsiran dan kebenarnnya tidak ada
yang tunggal melainkan justru beragam, sesuatu dengan konteks dan waktunya.
Sedemikian, sehingga dapat dipahami jargon al-Qur'an shalih li kulli zaman
wa makan (al-Qur'an senantiasa
sesuai dengan segala ruang dan waktu).
Berdasarkan
analisis di atas, metode hermeneutika Esack tampak lebih aplikatif dan
menjanjikan dibanding metode hermenutika yang lain, baik objektif maupun
subjektif, tafsir bi al-ma`tsur maupun bi al-ra'y. Tema
sentralnya yang lebih mengutamakan praxis dapat dipakai dan dikembangkan di
tanah air dalam upaya eksplorasi dan pemberian solusi atas berbagai persoalan
social keagamaan yang memang sangat membutuhkan pemecahan-pemecahan mendesak
dan sesuai dengan konteks keindonesiaan.
Kedua, konsep kerja
sama antar umat beragama. Selama ini, hubungan dan kerja sama antar agama masih
lebih didasarkan atas kepentingan social dan paradigma inklusif maupun
pluralis. Paradigma inklusif adalah pandangan yang mempercayai adanya kebenaran
dan keselamatan pada agama dan kelompok lain. Misalnya, dalam komunitas
Katolik, paradigma ini tampak pada Konsili Vatikan II tentang hubungan antara
gereja dengan agama-agama non Krestiani (Nostra Aetate). Dalam Islam,
dikenal istilah non-muslim par excellance dan muslim par excellance.
Dengan konsep-konsep ini, maka kerja sama dengan umat agama lain bukan sesuatu
yang tabu dan terlarang, karena mereka bukanlah orang kafir. Sementara itu,
paradigma pluralis adalah suatu pemikiran yang berpendapat bahwa setiap
agama mempunyai kebenaran dan jalan keselamatan sendiri-sendiri, sehingga tidak
ada yang berhak mengklaim hanya agamanya yang benar. Tegasnya, paradigma
pluralis ini mengekspresikan adanya fenomena “satu Tuhan banyak agama” yang
berarti sikap toleran terhadap adanya jalan lain kepada Tuhan. Dalam konteks
ini yang diperhatikan adalah aspek esoteris, spiritual atau –menurut istilah
Schuon—jantung dari agama-agama (the heart of religions) bukan aspek
eksoteris atau wujud zahir antar agama.
Namun, paradigma-paradigma tersebut
ternyata tidak mampu memberi bekal dan basis keagamaan yang kokoh bagi
terlaksananya hubungan dan kerja sama antar umat beragama, sehingga
benturan-benturan di antara mereka masih tetap mudah terjadi. Artinya, hubungan
dan kerja sama yang dilakukan hanya kerja sama semu, tidak tulus. Karena itu
diperlukan landasan dan basis teologi yang memang pluralis sehingga kerja sama
yang dilakukan dapat dilaksanakan secara baik dan langgeng, bukan atas
kepentingan social melainkan kesadaran keagamaan.
Esack telah memberikan basis yang
diperlukan. Dia merombak penafsiran-penafsiran yang lebih menonjolkan ayat-ayat
eksklusif untuk kemudian menggantinya dengan penafsiran yang mengedepankan
sifat pluralis. Ini penting, sebab pemikiran masyarakat yang eksklusif dan
keras karena memang didasarkan atas penafsiran-penafsiran yang cenderung
eksklusif. Padahal, menurut ditulis Esack, al-Qur'an sesungguhnya sangat
mengajarkan sikap-sikap pluralis dan justru sangat mengecam sikap-sikap
eksklusif.
Selain
itu, untuk memberikan basis teologis bagi kerja sama, Esack juga menunjukkan
bahwa dalam bidang hukum dan social, al-Qur'an sebenarnya sangat respek
terhadap agama lain, dalam hal ini Yahudi dan Nasrani. Tidak sedikit ayat
al-Quran yang menyatakan hal itu. Antara lain, ahli kitab sebagai penerima
wahyu diakui sebagai bagian dari komunitas, Sesungguh, inilah ummatmu, umat
yang satu (QS. al-Mukminun, 52). Norma-norma dan peraturan keagamaan kaum
Yahudi dan Nasrani diakui (QS. al-Maidah, 47) dan bahkan dikuatkan oleh Nabi
ketika beliau diseru untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka (QS. al-Maidah,
42-43). Dalam bidang sosial terpenting, makanan dan perkawinan, al-Qur’an
secara tegas menyatakan, makanan orang ahli kitab halal (sah) bagi kaum muslim
dan makanan kaum muslim halal bagi ahli kitab (QS. al-Maidah, 5). Begitu juga,
laki-laki muslim dibolehkan mengawini “wanita suci ahli kitab” (QS. al-Maidah,
5). Lebih dari itu, kesucian kehidupan religius penganut agama wahyu lainnya
ditegaskan oleh fakta bahwa izin pertama yang pernah diberikan bagi perjuangan
bersenjata adalah justru dimaksudkan untuk terjaminnya kesucian ini. Artinya,
tujuan pertama dari perang yang dilakukan orang Islam adalah justru untuk
melindungi dan memelihara kesucian tempat-tempat ibadah, apapun agamanya (QS.
al-Hajj, 40).
Semua
itu, menurut Esack, menunjukkan bahwa pluralisme agama tidak hanya diakui dari
sisi penerimaan kaum lain sebagai komunitas sosio-religius yang sah melainkan
juga dari aspek penerimaan kehidupan spiritualitas mereka dan keselamatan
melalui jalan yang berbeda itu. Pemeliharaan kesucian tempat-tempat ibadah
seperti diatas tidak dimaksudkan semata-mata demi menjaga integritas masyarakat
multiagama seperti dalam masyarakat modern saat ini melainkan atas dasar
kenyataan adanya orang lain yang juga tulus dan sama-sama melayani Tuhan.
Hanya saja, catatan untuk
Esack, ia belum memberikan perubahan secara lebih luas, masih berkutat pada
soal penafsiran. Padahal, sikap masyarakat juga dipengaruhi oleh metode dan
ajaran teologis yang diterima. Secara metodologis, kajian teologi Islam memang
cenderung eksklusif. Selama ini, kajian-kajian teologi lebih banyak menggunakan
logika Aristotelian yang bersifat deduktif-bayaniyah.
Metode deduksi ini yang kesimpulannya dihasilkan lewat jalan silogisme
mengkonsekuensikan dua hal; keseragaman dan sikap clear and cut. Akibatnya,
masyarakat menjadi susah menerima perbedaan dan cenderung melihat sesuatu
secara hitam-putih, benar-salah, aku-kamu dan kemudian hanya berbicara tentang
dirinya sendiri serta kebenarannya sendiri. Mereka tidak dapat melihat
kemungkinan kebenaran fihak lain. Kondisi itu masih diperparah oleh dua
kenyataan, (1) bahwa teologi berkaitan dengan emosi dan menuntut kesetiaan
total terhadap pengikutnya. Tegasnya, teologi diwarnai oleh tingkat personal
commitment yang pekat terhadap ajaran agama yang dipeluknya. (2) bahasa
yang digunakan dalam teologi adalah bahasa actor (pemain) bukan pengamat
atau peneliti (spectator). Sedemikian, sehingga munculnya sikap truth
claim pada pemeluk agama tidak dapat dihindarkan, dan ini akan dapat
menyebabkan benturan serta kekerasan ketika berhadapan dengan truth claim
dari agama atau fihak lain.
Sementara itu, dalam aspek materi kajian, teologi lebih banyak berbicara
dan “membela” Tuhan, bukan tentang realitas kemanusiaan sehingga ia tidak peka
terhadap persoalan sosial. Karena itu, ia harus ditarik ke bumi dan dipaksa
berbicara dan membela kemanusiaan. Teologi yang teosentris dirubah menjadi antroposentris
dan dari yang selama ini hanya bersifat ilâhiyat (metafisika) harus
diarahkan menjadi insaniyat (humaniora) dan tarikhiyat (sejarah).
Antara lain, misalnya, bahwa tauhid bukan konsep yang menegaskan tentang
keesaan Tuhan yang diarahkan pada faham trinitas maupun politheisme, melainkan
lebih merupakan kesatuan pribadi manusia yang jauh dari perilaku dualistik,
seperti hipokrit, kemunafikan atau perilaku oportunistik.
Apa yang dimaksud tauhid, bukan
sekedar merupakan sifat dari sebuah dzat (Tuhan), deskripsi ataupun sekedar
konsep kosong yang hanya ada dalam angan, tetapi lebih mengarah untuk sebuah
tindakan kongkrit (fi’li); baik dari
sisi penafian maupun menetapan (isbat).
Sebab, apa yang di kehendaki dari konsep tauhid tersebut tidak akan bisa di
mengerti dan tidak bisa difahami kecuali dengan ditampakkan. Jelasnya, konsep
tauhid tidak akan punya makna tanpa direalisasikan dalam kehidupan kongkrit.
Realisasi nafi (pengingkaran) adalah
dengan menghilangkan tuhan-tuhan modern, seperti ideologi, gagasan, budaya,
sains --dan bahkan agama tertentu-- yang telah membuat manusia sangat
tergantung kepadanya dan menjadi terkotak-kotak. Realisasi dari isbat (penetapan) adalah dengan
penetapan satu ideologi yang menyatukan dan membebaskan manusia dari
belenggu-belenggu tuhan-tuhan modern tersebut.
Dengan demikian, dalam konteks
kemanusiaan yang lebih kongkrit, tauhid adalah upaya pada kesatuan sosial
masyarakat tanpa perbedaan agama, suku, kelas, ras dan warna kulit, sebab
distingsi kelas bertentangan dengan kesatuan dan persamaan eksistensial
manusia. Tauhid berarti kesatuan kemanusiaan tanpa diskriminasi atau perbedaan
agama, ras, ekonomi, dan seterusnya.
Dengan konsep-konsep teologi seperti di atas, pemikiran masyarakat tidak
akan lagi bersifat eksklusif melainkan pluralis, minimal inklusif. Sebab, yang
diutamakan adalah kemanusiaan dan kebaikan bersama tanpa melihat perbedaan
warna kulit, ras atau agama, bukan hanya kebaikan golongannya sendiri.
B. Setting Penelitian Ke Depan
Penelitian ke depan hendaknya lebih mengedepankan persoalan-persoalan praksis dan juga metodologis. Ini penting, pertama, sebagai bahan pengayaan metodologis di lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam, seperti UIN, IAIN dan STAIN. Harus diakui, selama ini kekurangan dan kelemahan utama sarjana agama adalah dalam bidang metodologi, sehingga tidak mampu mengembangkan disiplin keilmuannya. Dengan adanya penelitian seperti ini, diharapkan akan dapat membantu mengatasi kesulitan dan kelemahan tersebut. Kedua, dapat sebagai masukan bagi persoalan-persoalan praktis di lapangan yang memang membutuhkan penyelesaian segera dan tepat.
V. PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Metode hermeneutika yang
dikembangkan Esack sebenarnya tidak berbeda dengan konsep liberation
theology Gueterrez, bahkan memang diilhami dari sana. Ia tidak berangkat
dari teks menuju konteks, melainkan dari konteks (praxis) baru kepada teks.
Hasil pembacaan atas teks kemudian diaplikasikan kepada praxis. Karena itu,
hermeneutika Esack mempunyai nilai lebih dibanding yang lain. (a) Hermeneutika
Esack tidak hanya berputar pada wacana melainkan praktis. Yang penting adalah
bagaimana dapat menggerakan masyarakat, bukan pada bentuk argumentasinya. (b)
Hermeneutika Esack bukan penafsiran spekulatif melainkan mengarah pada tujuan
tertentu, yaitu perubahan ke arah terciptanya tatanan masyarakat yang
berkeadilan.
2.
Konsep kerjasama Esack didasarkan
atas kepentingan sosiologis dan teologis. Secara sosiologis, kondisi masyarakat
Afrika Selatan membutuhkan kerja sama untuk menegakkan keadilan dan kebenaran,
sedang secara teologis didasarkan atas penafsirannya terhadap teks al-Qur’an.
Menurutnya, al-Qur’an secara eksplisit dan implisit menghargai dan menerima
kebenaran pada agama lain, sehingga kerja sama muslim-non muslim harus
dilakukan atas dasar kesadaran teologis ini.
3.
Alasan Esack untuk menformulasikan
kembali konsep pluralisme dan kerjasama antar umat beragama di dasarkan atas kenyataan
bahwa kebanyakan tafsir-tafsir klasik yang dipakai masyarakat muslim bersifat
eksklusif. Dalam kondisi yang tertindas dan lemah, umat Islam masih tidak mau
berjuang bersama “orang lain” demi menegakkan kebenaran yang itu justru
merupakan visi penting Islam. Sedemikian, sehingga tafsir dan sikap-sikap
eksklusif mereka tidak merubah keadaan menjadi lebih baik, tetapi justru malah
melanggengkan penindasan, ketidakadilan, sewenang-wenangan dan sejenisnya, yang
semua itu sangat bertentangan dengan watak Islam.
B.
Rekomendasi
1.
Konsep pluralisme, kerukunan dan
kerja sama antar agama yang dikembangkan di tanah air, terutama oleh Departemen
Agama, hendaknya juga didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan teologis
keagamaan, bukan semata kepentingan sosiologis. Sebab, tanpa dasar teologis,
kerja sama yang dilakukan hanya semu, sehingga tetap menyimpan potensi konflik
dan mudah meledak.
2.
Secara metodologis, pemikiran
hermenutika Esack sangat baik untuk dikembangkan dalam kajian-kajian keagamaan,
dalam upaya memberikan justifikasi keilmuan terhadap pergerakan keagamaan
masyarakat. Namun, yang harus dicermati, pola Esack yang sering mengambil
argumen secara tidak utuh dapat menyesatkan di samping dikhawatirkan dapat
terjadi “pelacuran hermeneutika”, sesuatu yang sangat dikecam oleh Esack
sendiri.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abu Zaid, Al-Qur`an,
Hermenutik dan Kekuasaan, terj. Dede Iswadi, (Yogya, RqiS, 2003)
Abu Zaid, Nasr
Hamid, Isykâliyât al-Ta`wîl wa Aliyât al-Qirâ’ah, (Kairo, al-Markaz
al-Tsaqafi, tt).
Al-Razi, Tafsî
Fakhr al-Râzi, XVII, 150; al-Nasafi, Majmû`ah Min al-Tafâsir, III,
(Beirut, Dar al-Ahya, tt),
Azad, Abu
al-Kalam, Tarjuman Qur’an, (Heiderabad, Syed Abd Latif for Qur'an, 1962)
Baidlawi, Majmû`ah
Min al-Tafâsir, III, (Beirut, Dar al-Ihya, tt)
Bertens, Filsafat
Barat Abad XX, I, (Yogyakarta, Kanisius, 1981).
Bleicher, Josef
(ed), Contemporary Hermeneutics (London: Routledge and Kegan Paul,
1980).
Budhy Munawar
Rahman, Islam Pluralis, (Jakarta, Paramadina, 2001).
Bultman,
Rudolf, Essays, Philosophical, and Theological, (London: SCM Press,1955).
Dagut, Simon, Profile
of Farid Esack , http://www.Home page Farid Esack.com
Dzahabi, Al-Tafsîr
wa al-Mufassirûn, I, (Beirut, Dar al-Fikr, 1976), 15
Esack, Farid,
“Contemporary Religious Thought in South Africa and the Emergence of Qur’anic
Hermeneutical Notion,” dalam I.C.M.R.,2. (1991)
Esack, Farid,
http://www.Home page Farid Esack.com
Esack, Farid, Qur'an Liberation and Pluralism,
(England, Oneworld, 1997)
Gadamer, Truth
and Method, (New York, The Seabury Press, 1975).
Ibn Arabi, Tafsir
Ibn Arabi, II, (Beirut, Dar al-Fikr, tt).
Ibn Hisyam, Abd
Al-Malik, Sirah Rasululllah, II, (Kairo: t.p, t.t)
Lyden, John
(ed), Enduring Issues In Religion, (San Diego: Greenhaven Press Inc,
1995).
Myers, Michael
D. “Qualitative Research in Information System”, dalam Jurnal MIS Quarterly
(12: 2), Juni 1997, 241-242,
MISQ Discovery,
Archival Version, Juni, 1997, diambil dari situs
http://www.misq.org/misqd961/iswolrd, Desember 2001
Rahman, Fazlur.
Islam dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung, Pustaka, 1985).
Rasyid Ridla, Tafsir
al-Manâr, XI, (Beirut, Dar al-Ihya, tt)
Ridla, Rasyid, Tafsir
al-Manar, I, (Beirut, Dar al-Makrifah, 1980).
Thabathabai, Al-Mizan
fi Tafsir al-Qur'an, (Qum, al-Hauzah, 1973).
Segundo, Juan
Louis, The Theology of Liberation, (New York: Orbit Books, 1991).
Shihab,Alwi, Islam
Inklusif, (Bandung, Mizan, ).
Sumaryono, Hermeneutik,
(Yogya, Kanisius, 1996).
Surachmad,
Winarno, Dasar dan Teknik Research, (Bandung: Tarsito, 1978).
UGM, Laporan
Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan & Kawasan bekerja sama dengan
Departemen Agama RI, Perilaku Kekerasan
Kolektif, Kondisi & Pemicu, (Yogya, UGM, 1997).
Zamakhsyari, Al-Kasysyâf,
II, (Beirut, Dar al-Ihya, tt).
CURRICULUM VITAE
1.
Nama :
Drs. Achmad Khudori Soleh, M.Ag
2.
NIP :
150 299 504
3.
Tpt/ tgl lahir : Nganjuk, 24 Nopember 1968
4.
Pangkat/Gol :
Lektor/ III-C
5.
Jabatan :
Pembantu Dekan II Bidang Keuangan dan
Administrasi
Umum, Fakultas Psikologi UIN Malang
6.
Alamat :
- Rumah: Jl. Joyosuko, Gg. Metro II/ 41-R
Merjosari,
Malang,
Telp : (0341) 574 217
HP : 081 555 10624
- Kantor: Fak. Psikologi UIN Malang
Jl. Gajayana,
Malang
Telp : (0341) 551354 (psw 115)
Fax : (0341) 572533
7.
Pendidikan :
- SDN tamat 1982
- MTsN, tamat 1985
- MAN, Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang, 1988
- S-1, Fak. Tarbiyah IAIN Sunan Ampel, Malang, 1993
- S-2, Jur. Filsafat Islam, PPs IAIN Su-KA, Yogyakarta
- S-3, Filsafat Islam, PPS UIN Su-Ka, Yogyakarta (proses desertasi)
8.
Hasil Penelitian :
- Pandangan dan Kritik al-Ghazali atas Teologi Islam Klasik (Ilmu Kalam), 2003
- Konsep al-Farabi tentang Hirarki Ilmu Pengetahuan, 2004
- Kerja sama antar Umat Beragama dalam al-Qur'an (Perspektif Hermeneutika Farid Esack), 2004
- Membangun Integrasi Ilmu Agama dan Umum (Mencari Basis Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis), 2005
- Epistemologi Pemikiran Islam (Perbandingan antara al-Farabi dan Ibn Rusyd), 2006
9.
Karya Tulis
- Menjadi Kekasih Tuhan, (Yogyakarta, Mitra Mustaka, 1997)
- Kegelisahan al-Ghazali Otobiografi Intelektual (Bandung, Pustaka Hidayah, 1998)
- Figh Kontekstual I tentang Thaharah (Jakarta, PT. Pertja, 1998)
- Fiqh Kontekstual II tentang Shalat (Jakarta, PT. Pertja, 1998)
- Fiqh Kontekstual III tentang Jenazah (Jakarta, PT. Pertja, 1998)
- Fiqh Kontekstual IV tentang Zakat, Puasa dan Haji (Jakarta, PT. Pertja, 1999)
- Fiqh Kontekstual V tentang Muamalah (Jakarta, PT. Pertja, 1999)
- Fiqh Kontekstual VI tentang Perkawinan (Jakarta, PT. Pertja, 1999)
- Fiqh Kontekstual VII tentang Jinayah dan Hudud (Jakarta, PT. Pertja, 2000)
- Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta, Jendela, 2003)
- Wacana Baru Filsafat Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004)
[2] Fazlur Rahman, Islam
dan Modernitas, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung, Pustaka, 1985), 9-10.
[3] Nasr Hamid Abu Zaid, Isykâliyât
al-Ta`wîl wa Aliyât al-Qirâ’ah, (Kairo, al-Markaz al-Tsaqafi, tt), 11;
Sumaryono, Hermeneutik, (Yogya, Kanisius, 1996), 31
[4] Fazlur Rahman, Islam
dan Modernitas, 13
[5] Bertens, Filsafat
Barat Abad XX, I, (Yogyakarta, Kanisius,
231
[6] Alwi Shihab, Islam
Inklusif, (Bandung,
Mizan, ), 84-45, Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis, (Jakarta, Paramadina, 44-49
[7] John Lyden (ed), Enduring
Issues In Religion, (San Diego: Greenhaven Press Inc, 1995), 63 .
[8] Budhy
Munawar-Rachman, Islam Pluralis, 46
[9] Winarno Surachmad, Dasar
dan Teknik Research, (Bandung: Tarsito, 1978), 132
[10]
Hermeneutik merupakan suatu teori filsafat tentang interpretasi makna dan juga
sebagai salah satu model spesifik analisa yakni sebagai pendekatan filosofis
terhadap pemahaman manusia. Josef Bleicher (ed) Contemporary Hermeneutics (London:
Routledge and Kegan Paul, 1980), 1. Fokus analisa hermeneutik adalah perosalan
“makna” teks atau yang dianalogikan sebagai teks (text or text-analogue),
pertanyaan yang sangat mendasar dari analisa hermeneutic adalah apa makna dari
sebuah teks? Michael D. Myers, “Qualitative Research in Information System”,
dalam Jurnal MIS Quarterly (12: 2), Juni 1997, 241-242, MISQ Discovery,
Archival Version, Juni, 1997, diambil dari situs
http://www.misq.org/misqd961/iswolrd, Desember 2001
[11] Bonteheuwel adalah
suatu daerah yang sangat tandus di negeri itu dan dengan sengaja disisihkan
sebagai tempat pemukiman bagi orang kulit hitam, kulit berwarna, dan keturunan India. Farid
Esack, Qur’an, 2
[12] Simon Dagut, Profile
of Farid Esack , 4
[13] Ibid. 5
[14] Ibid
[15] Esack, “Contemporary
Religious Thought in South
Africa and the Emergence of Qur’anic
Hermeneutical Notion,” dalam I.C.M.R.,2. (1991), 215
[16] Simon Dagut, Profile
of Farid Esack, 4.
[17] Esack, http://www.Home
page Farid Esack.com
[18] Ibid
[19]Ibid
[20]Ibid
[21] Esack, Qur’an,
83
[22] Esack, Qur’an, 86
[23] Ibid, 86-87
[24] Rasyid Ridla, Tafsir
al-Manar, I, (Beirut, Dar al-Makrifah, 1980), 336; Thabathabai, Al-Mizan
fi Tafsir al-Qur'an, (Qum, al-Hauzahal-Ilmiyah, 1973), 193
[25] Esack, Qur’an,
181
[26] Abd Al-Malik Ibn
Hisyam, Sirah Rasululllah, II, (Kairo: t.p, t.t), 146
[27] Al-Razi, Tafsî
Fakhr al-Râzi, XVII, 150; al-Nasafi, Majmû`ah Min al-Tafâsir, III, (Beirut, Dar al-Ahya, tt),
277
[28] Zamakhsyari, Al-Kasysyâf,
II, 364; al-Baidlawi, Majmû`ah Min al-Tafâsir, III, (Beirut, Dar al-Ihya, tt), 277
[29] Rasyid Ridla, Tafsir
al-Manâr, XI, 469
[30] Esack, Qur’an,
202. Berbeda dengan Esack yang mengusung tema eksodus, Abul kalam Azzad yang
juga mengupayakan solidaritas antara berbagai kelompok keagamaan di India dalam
menentang kolonial Inggris, mengusung term amar ma`ruf nahi munkar.
Sebab, menurutnya, ma`ruf adalah sesuatu yang diterima secara baik oleh
semua orang meski berbeda agama (common good). Begitu pula sebaliknya, munkar
adalah sesuatu yang ditolak oleh semua orang. Dengan mengidentifikasi kolonial
Inggris sebagai yang munkar, yang ditolak oleh semua orang India dari
kalangan agama apapun, Azzad mengupayakan bersatunya seluruh rakyat India untuk
menentangnya. Abu al-Kalam Azad, Tarjuman Qur’an, 175-6.
[31] Esack, Qur'an, 184-201
[32] Menurut Esack,
penggunaan “lingkaran hermeneutik” yang dimaksudkan mirip seperti dalam teologi
pembebasan yang ditawarkan Juan Louis Segundo. Lihat Esack, Qur’an, 11.
Lihat juga, Juan Louis segundo, The Theology of Liberation, (New York:
Orbit Books, 1991), 9.
[34] Ibid, 152
& 255
[35] Abu Zaid, Isykâliyât al-Ta`wîl, 2. Meski demikian,
menurut Abu Zaid, hal itu bukan berarti kita sama sekali mengabaikan teks dan
apa yang ditunjukkan dalam maknanya. Bagi Zaid, teks al-Qur`an dan maknanya
tetap tetapi lafat-lafat yang dipakainya yang itu merupakan kode-kode
senantiasa memberikan pesan “baru” kepada kita. Dari
situlah penafsir kemudian mampu menangkap signifikansi teks untuk kondisi saat
ini. Lihat Abu Zaid, Al-Qur`an, Hermenutik dan Kekuasaan, terj. Dede
Iswadi, (Yogya, RqiS, 2003), 96
[36] Tafsir Ibn Arabi,
II, (Beirut,
Dar al-Fikr, tt), 280
[37] Gadamer, Truth
and Method, (New York, The Seabury Press, 1975), 450; Josef Bleicher, Contemporary
Hermeneutics, 116
[38] Rudolf Bultman, Essays,
Philosophical, and Theological, (London: SCM Press,1955), 251. Lihat juga
Esack, Qur’an, 51