MEMBUMIKAN KEADILAN MENEGUHKAN PEMIHAKAN
Kajian tentang Teori-teori Keadilan Ekonomi Kontemporer
dan Prinsip-prinsip Alternatif Tatanan Ekonomi Etis Pro-Mustad`afin
Pendahuluan
Ketidakadilan
ekonomi merupakan problem umiversal yang dihadapi oleh semua sistem
kontemporer. Dalam hampir semua bagian dunia, dan dalam seluruh wilayah
sejarah, sistem-sistem ekonomi yang dilandaskan pada ketamakan telah mengalami
kebuntuan dalam melahirkan keadilan. Sistem-sistem semacam itu biasanya berakar
pada ekstrem-ekstrem ideologis yang kurang berhasil mengantarkan kondisi ekonomi yang lebih baik bagi seluruh partisipan.
Pada skala global, banyak orang menolak Kapitalisme tanpa regulasi dan
Sosialisme ekstrem, serta Neoliberalisme yang telah berjasa melahirkan
kemiskinan dan pemiskinan struktural dalam jumlah masif.
Kapitalisme dalam bentuk klasiknya laissez
faire telah runtuh, yang masih bertahan adalah Kapitalisme yang telah
dimofidikasi. Kapitalisme berasumsi bahwa dalam sistemnya terdapat suatu distribusi
pendapatan dan kekayaan yang merata dan fair dalam perekonomian. Dengan
tidak adanya mekanisme filter dan pemuasan keinginan secara serampangan,
pendapatan tidak didistribusikan secara
merata, sebab ketidakmerataan dalam pewarisan kekayaan berkaitan dengan akses yang tidak adil
terhadap fasilitas kredit dan pendidikan, perbedaan bakat, stamina fisik, latar
belakang keluarga, dan ambisi pribadi. Ketidakmerataan memungkinkan kelompok
berpendapatan tinggi memperoleh bagian
pendapatan yang jauh lebih besar dibandingkan kuantitas mereka. Dengan cara
ini konfigurasi barang-barang dan
jasa yang diproduksi oleh sistem
pasar tidak selaras dengan keinginan
mayoritas konsumen. Kesenjangan pendapatan yang besar diterima sebagai wajar
dan tak terhindarkan. Ini merupakan ketidakadilan yang nyata, namun
dirasionalisasi dengan argumen bahwa
seseorang yang memikirkan diri sendiri yang telah melahirkan
situasi ini merupakan "kekuatan sosial yang perlu dan
bermanfaat".[1]
Sementara itu, Sosialisme dan Marxisme sebagai
antitesis dari Kapitalisme juga tak dapat diandalkan. Ideologi ini bahkan
mengalami kemunduran lebih cepat dari yang diprediksikan. Ini disebabkan
kelemahan-kelemahan utama yang inheren di dalamnya. Pertama, ideologi
ini mengimplikasikan ketidakpercayaan pada kemampuan manusia untuk mengelola
kepemilikan pribadi dalam
batasan-batasan kesejahteraan sosial. Kedua, mesin kekuasaan negara dijalankan oleh sekelompok orang yang
kepentingannya selaras dengan kepentingan seluruh masyarakat. Dalam praktik yang
terjadi sebaliknya, sekelompok orang
yang mengendalikan kekuasaan negara memanfaatkan kekayaan dan pendapatan negara
untuk kepentingan mereka sendiri. Ketiga, subsidi umum yang besar hanya
menguntungkan si kaya dan orang-orang istimewa dibanding si miskin yang daya
belinya terbatas.[2]
Tujuan utama Sosialisme adalah menegakkan
keadilan, namun pada praktiknya Sosialisme hanya mengurangi sedikit
ketidakmerataan atau menimbulkan ketidakadilan yang lain. Kaum buruh yang tidak
mempunyai hak milik tetap menjadi buruh tanpa hak milik, mereka bekerja pada
majikan yang lebih bekuasa. Mereka juga tidak mempunyai hak untuk memilih,
semua tergantung pada pimpinan. Perjuangan akan hak-hak buruh akan berujung
pada penjara atau kematian. Dengan demikian,
negara Sosialis jauh lebih mematikan daripada Kapitalisme. Alienasi para
pekerja dari sarana-sarana produksi masih tetap, karena pusat kendali
dipisahkan dari pekerja. Praktik semacam ini bertentangan dengan ajaran
Marx sendiri tentang bagaimana alienasi
terjadi: yakni ketika pekerjaan terpisah
dari pekerjanya dalam arti pekerjaan bukan milik si pekerja sehingga dalam
pekerjaannya ia tidak mengafirmasi dirinya sendiri bahkan menolak dirinya
sendiri; dan pekerja terasing dari
pekerjaannya muncul ketika pekerjaan itu bukan miliknya namun milik orang lain.[3] Dengan cara demikian, kemungkinan eksploitasi sebagaimana terdapat
dalam Kapitalisme, yang menjadi sasaran kritik oleh Sosialisme itu sendiri,
masih hidup.
Sistem keadilan Negara Sejahtera[4] merupakan langkah maju dari Kapitalisme. Tujuan sistem ini adalah melunakkan ekses
Kapitalisme yang berlebihan dan dengan cara ini dapat mengurangi daya tarik
Sosialisme. Sistem ini cukup menarik
semua lapisan masyarakat, baik pekerja maupun kapitalis. Dari segi filosofinya,
Negara Sejahtera meyakini bahwa
kesejahteraan individu merupakan tujuan yang sangat penting yang tidak mungkin
tergantung hanya pada operasi kekuatan-kekuatan pasar; kemiskinan dan
ketidakmampuan seseorang tidak mesti merupakan bukti dari kegagalannya. Karena
itu, sistem ini mengakui full
employment (sebagaimana juga dipercaya Kapitalisme) dan distribusi
pendapatan dan kekayaan yang adil sebagai bagian dari tujuan pokok kebijakan
negara. Meski sistem ini menerapkan strateginya melalui enam perangkat negara –
regulasi, nasionalisasi industri pokok, gerakan buruh, kebijakan fiskal,
pertumbuhan yang tinggi dan full employment— subsidi umum telah
melahirkan kepincangan yang tidak adil antara si kaya dan si miskin.
Setelah krisis Kapitalisme selama 25 tahun
terakhir dan semakin berkurangnya tingkat profit yang berakibat jatuhnya
akumulasi kapital, meneguhkan tekad korporasi besar untuk kembali ke sistem
liberalisme. Melalui corporate globalization mereka merebut kembali ekonomi dan berhasil mengembalikan paham Liberalisme,
bahkan dalam skala global. Inilah yang disebut sebagai paham Neoliberalisme.
Sejak 1970-an Keynesianisme yang menjadi fondasi Welfare State telah
masuk dalam catatan kaki sejarah. Panggung kini menjadi milik dua bapak ekonom
Neoliberalisme Friederich August von Hayek[5] dan Milton Friedman.[6] Mulai dekade 1980-an,
aliran kanan baru yang diwakili oleh Margaret Thatcher dan Ronald Reagan
memperjuangkan pasar bebas dan menolak dengan tegas paham negara
intervensionis. Satu dekade kemudian, tepatnya
pada 1990-an, Kapitalisme
Neoliberal pasar bebas dari dua
tokoh tersebut telah menjadi ideologi dunia yang dominan.
Keyakinan-keyakinan Neoliberalisme
menggarisbawahi bahwa: pasar harus bekerja secara bebas tanpa campur tangan
negara, menekan pengeluaran upah dan melenyapkan hak-hak buruh, menghilangkan
kontrol atas harga; mengurangi pemborosan anggaran negara dengan memangkas
semua subsidi untuk pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan jaminan
sosial, dan pada saat yang sama subsidi besar-besaran diberikan kepada
perusahaan transnasional (TNCs) melalui tax holidays; memercayai
deregulasi ekonomi; privatisasi adalah jalan menuju persaingan bebas yang
dibungkus dengan efisiensi dan mengurangi korupsi, meski kenyataannya terjadi
konsentrasi kapital di tangan sedikit orang dan memaksa rakyat kecil membayar
lebih mahal kebutuhan dasar mereka; dan mempetieskan paham tentang public
goods dan solidaritas sosial dan menggantinya dengan tanggung jawab
individual.[7]
Gambaran di muka menyatakan bahwa
kekuatan-kekuatan yang bermain di bawah sistem Kapitalisme, Sosialisme, Negara Sejahtera, dan Neoliberalisme masih menyisakan sejumlah
masalah dalam hubungannya dengan keadilan ekonomi – baik dalam soal produksi,
konsumsi, dan distribusi – dan ini perlu diatasi secara langsung dan menangani sumber masalahnya bukan hanya
dari gejala lahiriah. Perlu ada reformasi struktur sosio-ekonomi dan
nilai-nilai keadilan yang membimbingnya.
Keterbatasan
Teori-teori Keadilan Kontemporer
Sistem-sistem ekonomi yang telah disebut di muka –
Kapitalisme, Sosialisme, Marxisme, Negara Sejahtera, dan Neoliberalisme – pada
hakikatnya bersandar kepada paham tertentu mengenai keadilan. Perdebatan
tentang keadilan itu telah melahirkan
sejumlah teori dan prinsip-prinsip keadilan. Meskipun para penganjurnya
memiliki cita-cita dan pandangan yang sama
tentang keinginan untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat, mereka memiliki perbedaan
cukup mendasar dalam menentukan makna dan definisi yang tepat tentang keadilan.
Teori-teori keadilan yang menjadi landasan pijak sistem-sistem ekonomi
kontemporer itu meliputi Prinsip Egalitarianisme Radikal, Prinsip Perbedaan,
Prinsip Berbasis Sumber Daya, Prinsip Berbasis Kesejahteraan, Prinsip Berbasis
Balasan, dan Prinsip Libertarian. Lihat prinsip-prinsip dari teori-teori
keadilan di atas dan perbandingannya pada tabel 1.
Memerhatikan
prinsip-prinsip dari enam teori keadilan sebagaimana pada tabel di atas,
terlihat jelas bahwa teori-teori tersebut mengandung keterbatasan dan kurang
memuaskan untuk menjawab persoalan-persoalan ketidakadilan secara komprehensif.
Beberapa keterbatasan dapat disebutkan di sini antara lain: Pertama, dalam hal kepemilikan, Prinsip
Egalitarianisme Radikal dan Prinsip Libertarian berada pada posisi saling
bertentangan. Yang pertama mementingkan kepemilikan kolektif, sedangkan yang
terakhir mengedepankan kepemilikan pribadi dan self-interest. Keduanya
mengalami kebuntuan dalam memecahkan masalah keadilan dalam kepemilikan. Kedua, dalam masalah sumber daya,
Prinsip Libertarianisme menyatakan bahwa dunia ini pada asalnya tidak ada yang
memiliki. Jika demikian, bagaimana dunia ini mesti diperlakukan bukan merupakan problem penting keadilan.
Ketiga, ada beberapa teori keadilan yang terlalu menekankan pada satu aspek semata
dari fakta dan problem keadilan ekonomi sehingga kurang dapat memberikan
jawaban secara tepat atas masalah keadilan itu sendiri: Prinsip Berbasis Sumber
Daya secara nyata tidak memberikan tempat bagi tanggung jawab sosial atas
mereka yang kurang beruntung, dan tidak
ada subsidi bagi mereka yang kurang
pendapatannya; Prinsip Berbasis Kesejahteraan (Utilitarianisme), dengan
berpedoman pada the great happiness for the great number,
mengorbankan sekelompok kecil orang atas nama kepentingan atau kesejahteraan mayoritas; dan
Prinsip Berbasis Balasan juga tidak dapat memberikan jawaban atas pertanyaan
bila setiap orang harus menerima balasan atau upah sesuai dengan usaha dan
kontribusi aktualnya bagi masyarakat, lalu siapakah yang bertanggung jawab atas
kondisi mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat?
Tabel 1
Perbandingan Prinsip-prinsip Keadilan
Kontemporer
No
|
Konsep Keadilan
|
Prinsip-prinsip Utama |
1
|
Egalitarianisme/
Persamaan Radikal
|
1. setiap orang harus memiliki tingkat yang sama dalam kebutuhan barang dan jasa
2.
terlalu membatasi kebebasan
individu
|
2
|
Prinsip Perbedaan
|
1. kekayaan yang lebih banyak dapat diproduksi dalam sistem di mana mereka yang lebih produktif memperoleh pendapatan lebih besar
2.
memaksimalkan posisi absolut mereka yang kurang beruntung
|
John Rawls (Theory of
Justice)
|
1.
Setiap
orang harus mempunyai hak yang sama
atas kebebasan-dasar yang seluas mungkin sesuai dengan sistem kebebasan serupa yang berlaku
untuk orang lain.
2. Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus
diatur sedemikian rupa, sehingga:
(a) kedua ketidaksamaan itu dapat diharapkan
akan menguntungkan bagi setiap orang,
(b)
dan kedua ketidaksamaan itu melekat pada kedudukan-kedudukan dan
fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua orang.
Prinsip 1 harus dipenuhi lebih dulu sebelum prinsip 2, dan 2b lebih dulu
dari 2a
|
|
3
|
Prinsip Berbasis Sumber
Daya (Dworkin)
|
1.
setiap orang harus dibuat
menerima akibat-akibat dari pilihannya:
setiap orang yang memilih bekerja keras untuk memperoleh pendapatan lebih
tidak dikehendaki untuk mensubsidi mereka yang malas dan karenanya kurang
pendapatan
2.
Setiap orang tidak boleh
merasakan penderitaan akibat dari lingkungan yang berada di luar kendali
mereka:
Setiap orang yang terlahir dengan cacat, sakit, atau anugerah alamiah
yang rendah tidak bertanggung jawab atas lingkungan
|
4
|
Prinsip Berbasis
Kesejahteraan
|
1.
berupaya memaksimalkan
kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan
2.
utilitarianisme, the great
happines for the great numbers
|
5
|
Prinsip Berbasis Balasan
|
1.
setiap orang harus diberi
balasan/upah berdasarkan: kontribusi aktual dan usahanya
2.
berupaya mengangkat standar
hidup dengan membayar usaha dan capaian
3.
hanya diterapkan pada pekerja
dewasa
|
6
|
Prinsip Libertarian
(Robert Nozick)
|
1.
setiap orang memiliki dirinya
sendiri
2.
dunia ini pada asalnya tidak ada
yang memiliki
3.
anda dapat memperoleh hak-hak
mutlak atas pembagian dunia yang tidak proporsional, asalkan anda tidak
memperburuk kondisi orang lain
4.
relatif mudah untuk memperoleh
hak-hak absolut atas pembagian dunia yang tidak proporsional
5.
karena itu, kepemilikan pribadi
sangat layak, pasar bebas dalam kapital dan pekerjaan secara moral
dikehendaki
|
Keempat, dalam Prinsip Egalitarianisme Radikal, bila setiap orang harus memiliki
tingkat yang sama dalam kebutuhan barang dan jasa, di manakah penghargaan atas
kenyataan adanya perbedaan antar orang perorang dan atas mereka yang secara
ekonomi lebih produktif? Kelima, berdasarkan
kompetisi, pasar bebas secara moral
dikehendaki sebagai alat yang dipercaya
untuk mengalokasikan dan
mendistribusikan sumber daya secara adil. Fakta menunjukkan kekuatan pasar
tidak sepenuhnya dapat memenuhi tugas alokasi dan distribusi secara adil. Dalam
kondisi demikian, siapakah yang bertanggung jawab atas redistribusi bagi mereka
yang kurang beruntung?
Keenam, apa yang sejati dari prinsip keadilan
John Rawls adalah berkenaan dengan prinsip ketidaksamaan. Prinsip ini biasa
disebut sebagai Prinsip Perbedaan. Prinsip ini hanya dapat menjawab persoalan
bagaimana ketidaksamaan diatasi. Sementara perbedaan dan
konsekuensinya tidak dilihat sebagai suatu kenyataan yang tak dapat ditolak,
perbedaan tidak dipandang sebagai potensi untuk saling mengambil manfaat dan
titik tolak untuk mengukir prestasi. Di samping itu, dalam Prinsip
Perbedaan tidak terlihat jelas apa yang
memotivasi tindakan orang-orang yang beruntung untuk berkorban bagi mereka yang
kurang beruntung. Terakhir, hampir semua teori keadilan di atas cenderung
fokus pada keadilan distributif, sehingga aspek-aspek lain dari kegiatan
ekonomi seperti konsumsi dan soal perlakuan atas sumber daya alam dan
lingkungan luput dari perhatian.
Prinsip-prinsip
Alternatif: Perspektif Etik-Qur’anik
a.
Prinsip-prinsip Keadilan
dalam Kepemilikan
Isu pertama dalam prinsip-prinsip keadilan kontemporer menyangkut kepemilikan.
Bersama-sama dengan asumsi-asumsi kebebasan dan kompetisi, Adam Smith sebagai
penggagas Liberalisme Klasik meletakkan kepentingan diri (self-interest)
sebagai basis kepemilikan. Asumsi ini oleh Libertarianisme dijadikan prinsip
pertama dalam keadilan, yaitu setiap orang memiliki dirinya sendiri.
Berbeda dari Liberalisme Klasik dan Libertarianisme, Prinsip Egalitarianisme
Radikal mengedepankan kepemilikan bersama, dan konsekuensinya mengabaikan
kepemilikan pribadi dan mengekang
kebebasan individu. Dua prinsip keadilan tersebut menemukan jalan buntu dalam
memecahkan tarik ulur antara kepentingan pribadi dan kepentingan kolektif atau
sosial.
Kepemilikan merupakan subjek penting dalam kerangka
keadilan ekonomi. Pengakuan atas hak kepemilikan adalah prasyarat untuk
berhubungan dengan dan melakukan transaksi atas kekayaan. Postulat al-Qur’an
tentang kepemilikan menyatakan: Allah Maha Memiliki segalanya, langit, bumi dan
beserta isinya; [8]
Allah adalah pemilik manfaat dan mudharat, kehidupan, kematian dan kebangkitan; [9]
Allah juga yang
memiliki rezeki untuk semua makhluk. [10]
Postulat di atas menegaskan "posisi awal" bahwa
seluruh sumber daya adalah hak mutlak Allah. Proposisi ini merupakan antitesis
dari dua prinsip keadilan Liberalisme Klasik dan Prinsip Libertarianisme.
Prinsip keadilan pertama menyatakan setiap orang memiliki dirinya sendiri.
Manusia adalah pemilik dirinya sendiri, karena itu ia memiliki kebebasan mutlak
untuk mengupayakan dan memenuhi kepentingan-kepentingannya sendiri tanpa harus
peduli pada kepentingan-kepentingan orang lain. Secara hakiki, proposisi ini
mengandung problem ontologis dari perspektif al-Qur'an. Yakni, proposisi ini
tidak menjawab masalah krusial tentang asal dan tujuan (sangkan-paran)
dari segala ciptaan yang ada di alam semesta. Proposisi ini juga mencerminkan
bias antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat dari semesta raya.
Karena ketidakjelasan asal, maka proposisi ini juga tidak memberikan arah yang
tegas tentang dimensi teleologis dari semua ciptaan, termasuk tujuan manusia
sendiri. Bias antroposentris mengarahkan prinsip keadilan Liberalisme Klasik
dan Libertarianisme meletakkan manusia sebagai tujuan dalam dirinya sendiri,
bukan sesuatu yang pada akhirnya kembali kepada asal ciptaan sebagai tujuan
akhir.
Prinsip keadilan kedua
menyatakan dunia pada awalnya tidak dimiliki siapa pun. Proposisi
ini jelas merupakan kebalikan dari postulat keadilan dalam al-Qur'an tentang
kepemilikan primordial atas segala sesuatu. Dengan menyadari posisi awal dari
kepemilikan sesungguhnya atas sumber
daya, bahkan manusia sendiri, al-Qur'an meletakkan kepemilikan manusia dalam
proporsi temporal. Postulat ini
bermaksud agar manusia sebagai homo socius and economicus
menyadari peran dan fungsinya berhadapan dengan Kuasa dan Pemilik Mutlak atas
segala sesuatu.
Postulat al-Qur'an tentang kepemilikan di atas merupakan
titik pijak untuk melahirkan rumus turunan yang disebut sebagai prinsip-prinsip
fundamental kepemilikan antara lain:
sumber daya adalah hak Allah;[11] sumber daya adalah amanat;[12] cara
memperoleh yang benar.[13] Secara umum, pernyataan-pernyataan
al-Qur'an menjelaskan pengakuan dua tingkat kepemilikan, yakni kepemilikan
nyata dan mutlak, dan kepemilikan terbatas dan merupakan mandat dari
Pemilik Mutlak. Allah adalah pemilik sejati dan mutlak atas seluruh
kekayaan.[14]
Tabel 2
Perbandingan Teori Kepemilikan dan
Implikasinya
Teori
|
Prinsip
|
Implikasi
|
Libertarianisme
|
·
Pada awalnya dunia ini tidak
ada yang memiliki
·
Absolutisme self-interest
·
Kepemilikan individu mutlak
|
·
Kepentingan diri berada di atas
segalanya
·
tidak mengenal fungsi sosial
kekayaan;
·
pajak dan retribusi sosial
semacamnya merupakan perampasan atas kepemilikan pribadi; enggan menerima hak kepemilikan publik dan
cenderung meminimalkan barang-barang publik
untuk kesejahteraan sosial
·
privatisasi atas sumber daya publik
dan HaKI
|
Egalitarianisme
Radikal
|
·
Kebebasan individu dibatasi
·
Absolutisme kepemilikan
kolektif
|
·
Kepentingan kolektif sebagai
panglima;
·
negara cenderung totaliter
karena akumulasi kekuasaan politik dan ekonomi;
·
elite penguasa sebagai
personifikasi negara
|
Etika al-Qur'an
|
·
Kepemilikan individu terbatas
·
Kepemilikan kolektif dijamin
·
Sumber daya bukan kepemilikan
eksklusif
|
·
Ada fungsi sosial dalam
kepemilikan pribadi baik melalui sarana wajib maupun sukarela;
·
kepemilikan kolektif untuk
kesejahteraan bersama;
·
sumber daya menjadi hak bersama
semua spesies makhluk hidup yang perlu dijaga kelestariannya;
·
menolak privatisasi atas sumber
daya milik publik dan HaKI atas kekayaan milik bersama masyarakat
|
Sejalan dengan postulat dan prinsip-prinsip kepemilikan,
al-Quran memperkenalkan keunikan konsep tentang kepemilikan pribadi. Ini
terletak pada fakta bahwa legitimasi "kepemilikan tergantung pada
usaha/kerja yang melekat padanya".[15]
Al-Qur'an hadir dengan mempertahankan moderasi, keseimbangan antara dua hal, yaitu mengakui kepemilikan pribadi dan kepemilikan
untuk mengamankan distribusi kesejahteraan yang sangat luas dan menguntungkan
melalui institusi-institusi yang
dibangunnya.
Pangkal kepemilikan publik berpijak pada ayat: “Dia Allah
yang telah menjadikan semua yang ada di bumi untuk kamu”.[16] Ada sumber daya alam
bebas yang diciptakan Allah untuk seluruh manusia, seperti air, ruang angkasa,
dan sumber daya laut. Sumber daya lain seperti mata air, hutan dan bumi,
kehidupan liar, dan sumber daya bumi
seperti bahan tambang, mineral, minyak bumi fosil, adalah milik
kolektivitas penduduk yang tinggal di wilayah yang mengandung sumber daya
tersebut, seperti dinyatakan hadis berikut:
“Dari Ibnu Abbas
berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Kaum Muslim itu beryarikat dalam tiga hal,
yakni (kepemilikan) air, rerumputan (hutan) dan api (sumber energi), dan
menjualnya adalah haram. Abu Said
berkata, yaitu air yang mengalir.”[17]
b.
Prinsip-prinsip Keadilan dalam
Produksi
Persoalan utama dalam perekonomian adalah bagaimana menjawab
problem kelangkaan sebagai akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan masyarakat
dengan faktor-faktor produksi yang tersedia (sumber daya, modal, tenaga kerja
dan manajemen). Kebutuhan dasar manusia terbentang dari kebutuhan
yang sifatnya individual (private goods) seperti sandang, pangan dan
papan, dan kebutuhan publik (public goods) seperti pendidikan, kesehatan
dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dua
bentuk kebutuhan tersebut merupakan
sarana kehidupan yang tak terelakkan. Untuk memastikan keseimbangan dua
kebutuhan tersebut, penggunaan dan penguasaan serta faktor-faktor produksi,
serta proses produksi harus berada dalam kerangka keadilan.
Sumber daya alam
adalah sarana utama dalam produksi guna memenuhi kebutuhan dasar manusia yang
sifatnya universal.[18] Al-Qur'an
secara meyakinkan percaya bahwa sumber daya itu tersedia dalam kadar yang
"cukup" untuk memenuhi
kebutuhan manusia dan seluruh makhluk non-manusia. Namun sumber daya itu tidak dapat mencukupi keinginan-keinginan
manusia yang rakus dan tanpa batas.
Pandangan al-Qur'an tentang sumber daya berbeda dengan
keyakinan dari Prinsip Libertarian dan Rawlsian. Kaum Libertarian percaya bahwa
sumber daya alam itu tidak terbatas dan karenanya tidak penting untuk
dipertimbangkan dalam faktor pembangunan dan pendapatan nasional. Dua faktor
yang menentukan pembangunan dan pendapatan nasional adalah sumber daya manusia
atau tenaga kerja dan modal. Sementara itu, Prinsip Rawls yang menjadi dasar
bagi welfare state meyakini sumber daya itu barang langka, namun tetap
tidak diperhitungkan dalam faktor-faktor pembangunan dan pendapatan nasional.
Dengan demikian, dua prinsip di atas pada hakikatnya sama-sama tidak menaruh
kepedulian atas faktor sumber daya
sebagai bagian penting dalam
menentukan kelanjutan pembangunan dan pendapatan nasional.
Al-Qur’an juga mengenal konsep tentang modal, yakni segala sesuatu yang melibatkan campur tangan
manusia (kerja, man made) dan penggunaan sumber daya alam dalam proses
produksi. Secara kategoris bahwa kekayaan hasil tangan manusia sebagai
modal dapat dibedakan secara bertingkat menjadi tiga tingkatan: Al-Rizq:
kekayaan/modal sebagai faktor produksi yang masih mungkin di dalamnya
terdapat unsur atau cara memperoleh yang halal dan atau haram; Al-Fad}l: kekayaan/modal sebagai faktor produksi
yang diusahakan melalui cara-cara yang halal, inilah yang disebut sebagai
“modal bebas korup”; dan Al-T}ayyibah: kekayaan/modal sebagai faktor produksi yang memiliki 3 indikator: Dari
segi substansinya ia tidak
bercampur antara yang halal dan haram, tidak membahayakan jiwa dan akal, dan
banyak manfaatnya. Dari segi cara
memperolehnya halal. Dari segi dampaknya, ia peduli pada kelestarian lingkungan, menjamin
kelangsungan keanekaragaman hayati,
swasembada pangan, bebas polusi udara dan air, dan sanitasi lingkungan. Inilah yang disebut
sebagai “modal bebas korup dan ramah lingkungan”.
Tiga hierarki
modal di muka, memperkuat prinsip al-Qur'an tentang pendayagunaan sumber daya
alam dan lingkungan yang tidak dikenal dalam prinsip keadilan manapun. Campur
tangan manusia atas sumber daya sebagai faktor produksi perlu memperhitungkan
secara cermat ketersediaannya secara lestari. Karena itu, modal sebagai
intervensi manusia yang juga merupakan faktor produksi mesti memasukkan
pertimbangan cara-cara intervensi yang benar dan memiliki dampak positif bagi
lingkungan.
Ketersediaan
sumber daya alam tidak ada manfaatnya bila manusia sendiri tidak produktif.
Sumber daya alam akan memberikan kegunaan
dengan daya dukung aktivitas produksi. Islam mengandaikan berbagai macam
aktivitas ekonomi seperti pertanian, peternakan, perdagangan, industri, dan
pekerjaan dalam berbagai profesi. Secara
eksplisit al-Qur'an menyebutkan istilah kerja dengan kasb. [19] Pekerja akan produktif jika ia memiliki
etos kerja yang tercermin dalam ikhtiar,
[20] yakni kebebasan manusia
untuk menentukan nasib dirinya sendiri. Al-Qur'an, kemudian, menegaskan bahwa
manusia hidup untuk bekerja sebagai konsekuensi dari kedudukannya sebagai
pemakmur dunia. Oleh karena itu, tiada jalan yang lebih baik untuk memenuhi
fungsi kekhalifahan ini melainkan berbuat ihsan, mengisi waktu dengan kerja
profesional dan aktivitas produktif.[21] Profesionalisme dan
produktivitas kerja manusia juga dipengaruhi oleh motivasi intrinsik. Untuk
mencapai suatu kehidupan sosial-ekonomi yang berkeadilan diperlukan motivasi
individu yang benar sebagai suatu mekanisme filter yang baik.
Dalam Prinsip
Libertarianisme, kepentingan pribadi adalah motivasi utama bagi individu untuk
memaksimalkan efisiensi sementara persaingan akan berperan sebagai pembatas
kepentingan pribadi dan membantu menjaga kepentingan sosial. Libertarianisme
hanya percaya bahwa keadilan dan efisiensi dapat dicapai jika dan hanya jika
secara otomatis dengan mengejar kepentingan pribadi, bukan kepentingan umum.
Karena dua kepentingan ini tidak selalu selaras, memungkinkan orang-orang kaya
untuk menyelewengkan sumber daya yang langka guna memenuhi keinginan-keinginan
mereka yang tidak penting bahkan mengorbankan pemenuhan barang-barang untuk
kepentingan mereka yang kurang beruntung. Prinsip Egalitarianisme Radikal mengasumsikan bahwa mengejar kepentingan pribadi mesti akan
merugikan kepentingan sosial; jalan keluarnya diusulkan agar kepentingan
pribadi dihapuskan dan dikontrol oleh negara untuk mengawal kepentingan sosial.
Egalitarianisme mencegah individu mengejar kepentingan pribadi, ia mencerabut
dirinya dari mekanisme agar individu bekerja secara efisien.
Prinsip
al-Qur'an secara tegas mengasumsikan bahwa kepentingan pribadi tidak selalu
merupakan motivasi yang buruk. Kepentingan pribadi akan berbahaya bagi
masyarakat jika melampaui batas-batas kemanusiaan dan tidak diarahkan untuk
menciptakan suatu masyarakat yang menjadikan persaudaraan dan keadilan
sosio-ekonomi sebagai tujuan utamanya.
Ada mekanisme yang efektif di sini dan perlu diciptakan untuk mendorong
individu agar bekerja demi kepentingan masyarakat, sembari mengakui bahwa
kepentingan pribadi adalah suatu keniscayaan. Keseimbangan antara dua
kepentingan ini digariskan oleh al-Qur'an melalui prinsip tolong-menolong dalam kebajikan dan
takwa (ta`a>wun `ala> al-birr wa al-taqwa>).[22]
Sebagai akibat
perbedaan etos kerja, bakat bawaan dan ketrampilan yang diajarkan, “perbedaan” pada prinsipnya merupakan
keniscayaan dan hakikat dari kehidupan alamiah yang tak bisa ditolak. Perbedaan merupakan pijakan
nyata untuk menciptakan keseimbangan ekonomi. Kaya dan miskin, majikan dan
buruh, pemilik dan penggarap tanah, atasan dan bawahan, adalah dua status dan
fungsi dalam relasi ekonomi “kemitraan”. Yakni
suatu relasi kerjasama dan partisipasi, saling memanfaatkan untuk
keuntungan bersama,[23] bukan
hubungan atas-bawah yang berbingkai eksploitasi dan opresif.
Hubungan
antara tenaga kerja atau buruh dan modal
selalu mewarnai kegiatan ekonomi. Hubungan keduanya sering menimbulkan
konflik dan ini sudah lama terjadi dalam dunia perekonomian. Konflik semacam
ini menghasilkan dampak buruk yang rumit. Hingga kini konflik industri belum pernah diatasi secara substansial oleh
Prinsip Libertarian. Sementara itu,
Prinsip Egalitarianisme Radikal terlalu mengedepankan protes dalam hubungan antara tenaga kerja dan
modal. Karl Marx mengembangkan teori nilai
dan surplus nilai. Menurut teori nilai, nilai komoditas apa pun
merupakan hasil kaum pekerja dan karenanya produk-produknya harus dibagi secara
sosial. Modal adalah sekumpulan jasa
tenaga kerja pada masa
lalu
dan menjadi hak pekerja.[24]
Kapitalis menjual komoditas di pasar dengan harga yang sama dengan jumlah
tenaga kerja yang digunakan dalam produksi. Pada saat yang sama, pekerja tetap hidup subsistens. Akibatnya,
surplus nilai hanya dinikmati kaum Kapitalis. Ini tentu saja melahirkan eksploitasi
tenaga kerja oleh modal.[25]
Persoalan
ini bersumber dari kenyataan bahwa kepemilikan dan penguasaan modal hanya
menjadi hak bagi kapitalis. Sementara tenaga kerja tidak berpatisipasi dalam
proses penguasaan faktor-faktor produksi. Tenaga kerja sebagai bagian dari
faktor produksi tidak dihitung sebagai penyertaan modal oleh kaum Kapitalis.
Karenanya eksploitasi tidak dapat terelakkan.
Al-Qur'an
mencoba memberikan solusi atas konflik industri berbasis relasi tenaga kerja
dan modal melalui prinsip kemitraan yang
termanifestasi dalam dua bentuk kerjasama, yakni musha>rakah dan mud}a>rabah. Dua bentuk kerjasama ini
pada dasarnya merupakan cerminan dan manifestasi dari prinsip keadilan (`adl),
altruisme (ih}sa>n) dan meritokrasi (nas}i>b). [26]
Keadilan
juga harus menjadi kerangka proses produksi. Oleh karena kebutuhan harus terus
tersedia sepanjang masa, proses produksi perlu mempertimbangkan faktor-faktor
non-ekonomi, utamanya kelestarian sumber daya alam yang dapat menjamin
kesinambungan spesies manusia dan non-manusia. Ekologi, dengan demikian, perlu
berada di dalam kalkulasi aktivitas
produksi, dan aktivitas ekonomi pada umumnya. Rasionalitas ini menyadarkan
bahwa efisiensi dalam aktivitas produksi adalah terbatas dan bergantung kepada
kondisi-kondisi yang berada di luar
ekonomi itu sendiri.
Karena
itu, al-Qur'an menegaskan relasi yang seimbang (tawa>zun) antara manusia dan alam.
Alam bukanlah proyek promothean (seperti
prinsip Libertarian), yang
menjadi "objek" bagi manusia; [27] Bumi
ini diciptakan menjadi hak bagi semua komunitas makhluk yang ada di dalamnya.[28]
Mempertimbangkan sumber daya alam dan lingkungan serta hak-hak ekologis dari
spesies di luar manusia, proses produksi
yang melibatkan teknologi perlu memperhatikan kelestarian dan mempertahankan
keseimbangan ekologis yang dibutuhkan untuk kehidupan dan memihak kepada
perkembangan dan otonomi dari individu-individu dan komunitas-komunitas yang
bersifat ramah lingkungan. Al-Qur'an
menyebutnya dengan ungkapan "bersyukur", agar negeri yang damai dan
sejahtera, baldah t}ayyibah, [29] dapat menjadi kenyataan.
Tabel 3
Perbandingan Teori
Produksi dan Implikasinya
Teori
|
Prinsip
|
Implikasi
|
Berbasis Balasan
|
·
setiap orang harus diberi
balasan/upah berdasarkan: kontribusi aktual dan usahanya
|
Meritokrasi murni minus
ih}sa>n
|
Egalitarianisme Radikal
|
·
kepentingan sosial sebagai
motif utama;
·
setiap orang harus memiliki
tingkat yang sama dalam kebutuhan barang dan jasa
|
Sama rata sama rasa
mengabaikan sunnatullah tentang perbedaan
|
Libertarianisme
|
·
sumber daya alam itu tidak terbatas;
·
kepentingan pribadi sebagai motif utama dalam berusaha
|
·
Sumber daya alam tidak penting sebagai faktor pembangunan dan
pendapatan nasional;
·
eksploitasi tanpa batas merusak sumber daya alam dan lingkungan
|
Prinsip
Perbedaan
|
·
kekayaan/pendapatan yang lebih banyak untuk mereka yang lebih produktif
|
Meritokrasi murni minus
ih}sa>n
|
Rawlsianisme
|
·
sumber daya alam itu barang langka;
·
ketidaksamaan untuk saling menguntungkan secara fair
|
(inkonsisten) sumber daya alam bukan faktor pembangunan dan pendapatan nasional
|
Etika al-Qur'an
|
·
sumber daya alam cukup untuk memenuhi kebutuhan, bukan
keinginan tanpa batas;
·
keseimbangan kepentingan pribadi dan sosial;
·
ikhtiar menentukan nasib individu;
·
Individu menerima apa yang menjadi haknya berdasarkan usaha, tanpa sepenuhnya
memandang kontribusi aktualnya;
·
Perbedaan untuk saling mengambil manfaat, kompetisi, kerjasama, dan
ih}sa>n;
|
·
sumber daya alam penting dalam produksi, penentu kelanjutan
pembangunan; satu variable dalam pendapatan nasional;
·
usaha adalah kewajiban individu dan hasilnya merupakan hak;
·
ketidaksamaan adalah untuk prestasi dan kebajikan bersama.
|
c. Prinsip-prinsip Keadilan dalam Konsumsi
Produksi dan
konsumsi adalah dua aspek ekonomi yang berpasangan. Dalam ilmu ekonomi,
konsumsi adalah permintaan (demand), sedangkan produksi adalah penawaran
(supply). Konsumsi adalah tahapan
terakhir dan terpenting dalam produksi kekayaan. Konsumsi merupakan tujuan dari
semua aktivitas produksi. Kekayaan diproduksi hanya untuk dikonsumsi. Kekayaan yang diproduksi sekarang akan
dikonsumsi besok.
Konsep tentang konsumsi dalam
al-Qur’an tersurat dalam ungkapan infa>q. Kata ini
dalam berbagai bentuknya tersebut sebanyak 71 kali dalam al-Qur’an. Infa>q adalah suatu
tindakan membelanjakan harta untuk kepentingan diri sendiri, untuk
keperluan orang lain dan untuk kebutuhan sosial suatu komunitas dalam
rangka meraih keridhoan Allah.
Secara
fundamental prinsip keadilan ekonomi dalam al-Qur’an mengambil posisi berbeda
dalam hal konsumsi dengan pendekatan ekonomi Libertarian. Perbedaannya terletak
pada cara atau pendekatan dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia. Keadilan ekonomi dalam al-Qur'an tidak
menghendaki dan mengakui pola konsumsi
yang murni materialistik. Semakin tinggi
manusia menaiki tangga peradaban, konsumsi lebih dibayang-bayangi oleh
keinginan-keinginan psikologis. Selera artistik, gaya hidup snobbish
(bergelimang kemewahan), dorongan untuk pamer
-- semua faktor psikologis ini memainkan peran yang sangat dominan dalam menentukan bentuk-bentuk lahiriah
konkret dari keinginan-keinginan psikologis tersebut.[30] Peradaban modern telah
menghancurkan kesederhanaan; peradaban materialistik mewarnai kesenangan yang
terus membuat keinginan-keinginan manusia menjadi sangat bervariasi dan banyak
dan kesejahteraan ekonomi hampir hanya diukur
dari berbagai karakter keinginannya itu yang diupayakan untuk dicapai
melalui sarana-sarana tertentu.
Cara pandang
tentang kehidupan dan kemajuan ini
berseberangan dengan konsepsi al-Qur’an.
Etika keadilan al-Qur’an berusaha mereduksi kebutuhan material manusia
yang eksesif dengan maksud untuk menekankan energi spiritual manusia dalam
pencarian duniawi. Pertumbuhan batiniah lebih dari sekadar ekspansi lahiriah
merupakan ideal tertinggi manusia dalam hidup ini. Kemajuan tidak semata diukur
dari standar hidup yang tinggi yang berimplikasi pada perluasan keinginan
secara tanpa batas, sehingga meningkatkan ketidakpuasan terhadap apa yang sudah
dicapai. Kepuasan bukan semata tingkat konsumsi tertinggi sebagaimana diyakini
oleh Teori Pertumbuhan Ekonomi yang secara prinsip mengadopsi keadilan
Libertarian.
Sejak awal
al-Qur'an memberikan kebebasan memilih (freedom of choice) pada semua
orang untuk mengonsumsi segala sesuatu
yang menyenangkan dan disukai, sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sosial
tradisional dan perbedaan temperamental mereka.
Al-Qur'an hanya memberikan rambu proporsionalitas berupa perilaku
tengah-tengah dalam konsumsi[31] – antara asketisme yang
sembunyi dari kesenangan dunia di satu sisi, dan materialisme yang membenamkan
manusia dalam kesenangan inderawi dan hedonisme kehidupan; tidak melampaui
batas maksimal (berlebihan, boros, dan mewah) atau batas minimal (kikir dan
bakhil); keterbatasan sumber daya ekonomi (untuk memenuhi keinginan) merupakan pertimbangan
utama bagi efisiensi dan prioritas (awla>wiyah) dalam pemenuhan kebutuhan berdasarkan preferensi
d}aru>riyya>t, h}a>jiyya>t, dan tah}si>niyya>t.[32].
Membelanjakan
kekayaan untuk kebutuhan dan keinginan pribadi bukanlah hal buruk sejauh
kebutuhan dan keinginan itu tidak akan
membahayakan kelangsungan (sustainability) hidup dirinya dan masyarakat
umumnya. Memenuhi dan memanfaatkan kebutuhan pribadi harus berada dalam
kerangka dan batasan-batasan tertentu agar konsumsi atas sumber daya tidak melanggar
"rambu-rambu ekologis dan kemanusiaan" dan menjamin keberlangsungan
masa depan. Konsumsi tidak semata
berorientasi keduniaan dan berjangka pendek, namun juga untuk memastikan
kehidupan jangka panjang dengan bekerja untuk kesejahteraan ekologis dan kemanusiaan
melalui suatu pengurangan dalam pemborosan dan konsumsi yang tidak penting
meskipun ia memiliki kekayaan yang cukup untuk mendapatkannya.
Perilaku
konsumsi harus berpijak pada prinsip keselamatan, yakni sustainability
dan investasi masa depan secara kontinyu. [33] Untuk itu, al-Qur’an menegaskan dalam
beberapa ayatnya tentang berjuang untuk kesinambungan generasi dan masa depan, [34] kemakmuran bumi (`isti`mar fi al-ard}) dan,
sekaligus larangan melakukan kerusakan atas lingkungan (fasa>d fi al-ard}, `ayth fi al-ard}).[35] Inilah yang dimaksud sebagai prinsip
solidaritas kemanusiaan dan lingkungan (h}ifz} al-bi>’ah).
Gambar 1
Teori Batas-batas Konsumsi
Berlebih-lebihan
(isra>f)
Pemborosan (tabdhi>r)
Bermewah-mewahan (taraf/bat}ar)
Batas Atas/maksimal
d}aru>riyya>t
Al-infa>q: konsumsi bersahaja
preferensi h}a>jiyya>t
tah}si>niyya>t
Batas Bawah/minimal
Kikir (qatr),
Bakhil (bukhl)
Perilaku
konsumsi dalam konteks al-Qur'an mempunyai hubungan erat dengan komitmen rasional
dan moral. Al-Qur'an menggarisbawahi cara memanfaatkan dan mengeluarkan
kekayaan dibangun atas fondasi nilai keadilan. Ada perbedaan mendasar antara
Prinsip Libertarianisme yang menjadi falsafah Kapitalisme, dan anak kandungnya
Sosialisme yang mendasarkan diri pada Prinsip Egalitarianisme Radikal, dengan
prinsip al-Qur'an. Perilaku konsumen menurut Kapitalisme bersumber dari
"rasionalisme ekonomi" dan Prinsip Utilitarianisme (Prinsip Berbasis
Kesejahteraan). Rasionalisme ekonomi menafsirkan perilaku manusia berdasarkan
pada kalkulasi kaku yang diarahkan semata untuk keberhasilan ekonomi.
Keberhasilan ekonomi dimaknai secara definitif sebagai menciptakan uang dari
manusia. Perolehan kekayaan apakah dalam bentuk uang maupun komoditas,
merupakan tujuan utama kehidupan. Sementara Prinsip Utilitarianisme berfungsi
sebagai sumber nilai-nilai dan sikap moralnya. "Kejujuran hanya bermanfaat
bila dapat memastikan kredit atau keuntungan, sehingga bersifat tetap dan industrial."[36] Dualitas yang memunculkan perilaku konsumen
ini menitikberatkan pada maksimalisasi utilitas
sebagai tujuan utama konsumsi. Utilitas harus dimaksimalkan sebagai
bagian dari manifestasi homo-economicus yang tujuannya adalah mencapai
tingkat tertinggi perolehan ekonomi dan stimulusnya adalah sense of money.
Tabel 4
Perbandingan Teori Konsumsi dan
Implikasinya
Teori
|
Prinsip
|
Implikasi
|
Libertarianisme
|
·
Motif: murni materialistik,
memuaskan keinginan tanpa batas
·
Tujuan: pertumbuhan ekonomi
·
Kebebasan: manusia bebas
mempergunakan kekayaannya tanpa seorang pun berhak intervensi kecuali atas
seijin pemiliknya
|
·
Tingkat konsumsi tertinggi
memola dan mendorong gaya hidup snobish, hedonistik;
·
mindless
consumerism (pemilikan atas hubungan/relasi sosial);
·
eksploitasi tanpa batas atas
sumber daya alam dan lingkungan
|
Prinsip
Berbasis Sumber Daya
|
·
setiap orang tidak boleh merasakan penderitaan akibat
lingkungannya;
·
setiap orang yang memilih
bekerja keras untuk memperoleh pendapatan lebih besar tidak dikehendaki untuk
menyubsidi atau membantu mereka yang kurang pendapatannya
|
Menunjukkan
sikap asosial terhadap kenyataan yang terjadi di lingkungan sekitar
|
Etika al-Qur’an
|
·
Motif: energi spiritual dalam
pencarian duniawi, memenuhi kebutuhan dan keinginan rasional
·
Tujuan: Pertumbuhan batiniah
lebih dari sekadar ekspansi lahiriah merupakan ideal tertinggi manusia dalam
hidup ini
·
Hierarki dan Prioritas: cara bagaimana sumber daya dapat dikonsumsi
secara proporsional dan
menurut tingka keutamaannya
·
H}ifz} al-bi>’ah: Solidaritas sosial dan lingkungan
|
·
Proporsionalitas: sikap
tengah-tengah antara asketisme yang sembunyi dari kesenangan dunia dan
materialisme yang membenamkan manusia dalam kesenangan inderawi dan hedonisme
kehidupan; menumbuhkan
empati terhadap yang kurang beruntung;
·
antisipatif dan responsif
atas terjadinya ancaman kelangkaan sumber daya alam dan kemerosotan
lingkungan
|
Al-Qur'an
menawarkan satu bentuk rasionalitas lain yang bertumpu pada tiga hal pokok. Pertama,
berbasis pada tauhid dan keyakinan akan hari keadilan – interrelasi erat
kehidupan dunia dan akhirat—mempunyai dua akibat: (1) hasil dari pilihan
tindakan manusia berakibat langsung di dunia (ajr al-dunya>) dan
di akhirat (ajr al-a>khirah),[37] karena itu utilitas yang
berasal dari pilihan tindakan tersebut merupakan totalitas nilai dari dua
akibat di atas; (2) sejumlah alternatif
penggunaan pendapatan ditingkatkan dengan memasukkan semua keuntungan yang
hanya didapat pada hari akhir (ajr al-a>khirah).[38] Alternatif penggunaan itu
antara lain untuk memberikan bantuan secara cuma-cuma orang miskin dan
membutuhkan, memelihara binatang, menabung untuk kesejahteraan generasi
mendatang dan memperbaiki kehidupan komunitas yang balasannya tidak bersifat
langsung bagi individu.
Kedua, keberhasilan dalam al-Qur'an dimaknai
sebagai "perkenan Allah" dan bukan akumulasi kekayaan. Penggunaan
sumber daya alam dan sumber daya manusia bukan hanya keistimewaan, namun juga
kewajiban dan tugas khalifah yang dipersembahkan pada Allah.[39] Oleh karena itu, kemajuan
dan kesempurnaan material berada dalam
nilai-nilai moral. Ketiga, harta apakah dipandang sebagai kekayaan atau
pendapatan, adalah karunia Allah.[40]
d.
Prinsip-prinsip Keadilan dalam
Distribusi dan Redistribusi
Persoalan distribusi berhubungan erat dengan pertanyaan:
untuk siapa kita melakukan kegiatan produksi? Bagaimana produksi nasional akan didistribusikan di
antara faktor-faktor produksi yang berbeda-beda? Bagaimana mengatasi problem
ketidaksamaan sebagai akibat dari distribusi? Ini merupakan tiga pertanyaan
utama yang dihadapi oleh setiap masyarakat dengan sistem ekonomi apa pun yang
menjadi anutannya.
Distribusi sebagaimana dirujuk oleh istilah du>lah[41] dalam
al-Qur’an merupakan landasan pentingnya peradaran harta, kekayaan dan
pendapatan agar tidak terkonsentrasi di tangan orang-orang tertentu yang sudah
kaya atau berkecukupan secara ekonomi.[42] Di
samping pernyataan langsung tentang perlunya pendapatan dan kekayaan
didistribusikan sehingga tidak terjadi konsentrasi, al-Qur’an juga menyebutkan
tiga macam tindakan yang mencegah terjadinya proses distribusi yang adil, yakni
larangan menimbun harta (al-iktina>z),[43]
bermegah-megahan yang melalaikan (al-taka>thur), [44] dan
celaan atas penumpukan harta dan terlalu “perhitungan” (jama`a ma>l wa `addadah). [45]
Untuk menjalankan proses distribusi dibutuhkan basis legitimasi.
Yang dimaksud basis adalah kriteria atau
prinsip apa pun yang menentukan dan berlaku bagi siapa saja yang memiliki
hubungan nyata dengan kekayaan dan pendapatan.
Kriteria distribusi yang memungkinkan cukup banyak dan inilah yang menyebabkan perbedaan natural atau perbedaan
perolehan antara individu-individu. Kriteria itu meliputi: pertukaran, [46] kebutuhan, [47] kekuasaan, [48]
dan sistem sosial atau nilai etis.
Sintesis dari kriteria
pertukaran dan kebutuhan di muka berbeda dengan Prinsip Berbasis Balasan yang
memandang kriteria "usaha" dan "kontribusi aktual" sebagai
basis distribusi. Kriteria usaha diterima oleh al-Qur'an karena "setiap
orang tidak akan menerima kecuali apa yang ia usahakan". Namun, kriteria
kontribusi aktual tidak sepenuhnya diterima karena beberapa alasan: bahwa dalam
harta dan kekayaan seseorang ada hak bagi mereka yang kurang beruntung; mereka
yang memiliki tanggung jawab memberi nafkah kepada keluarga dengan sendirinya
memperoleh tunjangan lebih daripada mereka yang bujangan; dan dengan ketulusan
dan kesukarelaan seseorang diperbolehkan berkorban untuk orang lain sehingga
bagiannya ia distribusikan kepada mereka yang membutuhkan.
Skema distribusi perlu didefinisikan melalui sejumlah
ukuran dan kebijakan distribusi yang dipandu oleh aturan-aturan syariah dengan
seluruh implikasi ekonominya. Skema distribusi itu sendiri meliputi dua macam: Pertama, distribusi pra produksi atas
sumber daya atau kekayaan alam, antara lain: 1) kemitraan untuk mengatasi
kesenjangan antarindividu yang diakibatkan oleh perbedaan kuantitas aset
produktif [49]
baik berupa kepentingan publik dan beberapa jenis sumber daya alam; 2) larangan membatasi akses ekonomi[50] karena bertentangan
dengan prinsip kemitraan atas manfaat kekayaan alam dari tanah yang tidak
bertuan; 3) merampas tanah yang tidak produktif[51] untuk
tujuan produktif melalui mekanisme iqt}a>`[52]; 4) regulasi barang tambang untuk kesejahteraan
publik[53]; 5)
efisiensi sumber daya air dan sumber daya alam terbarukan.
Kedua, regulasi
distribusi output produksi (kekayaan dan pendapatan) antara lain: 1) berbagi
surplus pemanfaatan modal produksi[54]; 2) warisan untuk pemerataan kekayaan[55]; 3) zakat sebagai
wujud solidaritas sosial[56]; 4) wakaf sebagai filantropi sosial[57]; 5) hadiah tanpa pamrih[58]; 6) al-fay’,[59] al-ghani>mah[60] dan rika>z[61] untuk kesejahteraan bersama.
Memberikan surplus pemanfaatan modal berupa aset-aset tetap
memperkuat penolakan al-Qur'an terhadap Prinsip Berbasis Balasan yang
mengharuskan adanya kompensasi terhadap apa pun dalam aktivitas produksi,
termasuk di dalamnya surplus modal harus diganti dengan biaya bagi mereka yang
ingin mempergunakannya. Sistem
warisan kekayaan memberikan argumen atas penolakan al-Qur'an terhadap
pernyataan Prinsip Berbasis Balasan bahwa setiap orang harus menerima balasan
sesuai dengan kontribusi aktualnya. Warisan mendistribusikan dan mentransfer
kekayaan dari orang meninggal kepada anggota keluarganya yang berhak tanpa
memandang apakah anggota keluarga itu memberi kontribusi atau tidak atas
kekayaan orang meninggal. Distribusi zakat
merupakan bantahan atas Prinsip Libertarian Nozick yang menyatakan bahwa pajak
apa pun atas pendapatan dan kekayaan (dan pungutan semisalnya termasuk zakat)
oleh negara merupakan pelanggaran atas hak-hak kepemilikan eksklusif (self-interest)
karena membiarkan orang untuk memiliki sebagian hak orang lain; pajak dapat
dikatakan sama dengan kerja paksa; tidak adil seseorang bekerja untuk
kepentingan orang lain. Di sisi lain,
tampak jelas bahwa praktek zakat merupakan bantahan atas Prinsip Berbasis
Balasan tentang "kontribusi aktual". Pengeluaran zakat dari kepemilikan pribadi adalah sah dan penerima
zakat juga sah memperoleh sekaligus memiliki bagian itu tanpa memandang
kontibusi aktualnya. Berbeda dengan Prinsip Berbasis Kesejahteraan atau Utilitarianisme
yang berupaya memaksimalkan kesejahteraan
masyarakat dengan mengorbankan sekelompok kecil lainnya, institusi wakaf bekerja dengan logika
kepentingan publik (al-mas}lah}ah al-`a>mmah). Artinya,
demi kepentingan publik, individu diperkenankan mewakafkan harta/kekayaannya
dengan pengorbanan tulus. Dengan kata lain, individu berkorban demi
kesejahteraan masyarakat, bukan sebaliknya atas nama kesejahteraan masyarakat
kepentingan individu atau kelompok kecil dikorbankan.
Sedangkan skema
distribusi pendukung meliputi: larangan atas riba sebagai eksploitasi terhadap
mereka yang lemah[62];
larangan atas penimbunan harta; dan larangan atas monopoli.
Meski tiga skema
distribusi di atas sudah dijalankan,
masih ada kemungkinan kemiskinan dan
ketertindasan. Problem ini juga menjadi perhatian beberapa prinsip keadilan
kontemporer seperti Prinsip Perbedaan dan Prinsip Rawls. Prinsip Libertarian Nozick sebenarnya
juga menyediakan bagaimana meralat (rectification) ketidakadilan masa
lalu, namun ia tidak membuat upaya sistematis dari prinsip ralat tersebut,
bahkan pada akhirnya ia menyerahkan tugas ralat ketidakadilan ini kepada
Prinsip Perbedaan.
Secara jelas
al-Qur’an menunjukkan keberpihakan terhadap orang-orang miskin dan tertindas. Populasi
kaum mustad}`afi>n baru yang merupakan produk dari
kecenderungan politik dan ekonomi struktural selama tiga dekade terakhir, akan
terus tumbuh dan meningkat lebih-lebih setelah periode krisis ekonomi yang
meluas. Keadaan semacam ini membuat populasi mereka akan menjadi subkultur yang
menyebar mulai dari krisis perumahan dan pekerjaan, penyusutan besar dalam
belanja sosial, perubahan-perubahan pada level makro ekonomi, strategi
pembangunan kembali potensi lokal, dan sejumlah sebab-sebab lain.
Oleh karena itu,
problem kemiskinan dan ketertindasan saat ini lebih mencerminkan kemiskinan,
pemiskinan dan penindasan “struktural”. Maka, diperlukan proses
redistribusi secara sistemik untuk dapat mengangkat derajat mereka yang kurang
beruntung dari ketidakberdayaan, ketidakpastian dan kelangkaan. Merujuk
kepada al-Qur’an surat al-Anfa>l
8: 26, upaya-upaya
keberpihakan terhadap eksistensi mereka dapat meliputi dua hal – layanan
sosial-karitatif dan pemberdayaan sosial. Yang pertama bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar mereka agar tetap survival;
yang kedua bermaksud untuk mengangkat “kapasitas” dan “otoritas” mustad`afin
agar sustainable.
“Peningkatan
kapasitas” berupa membuka akses atau peluang bagi mereka untuk memperoleh pendidikan, pelayanan
kesehatan dan ketrampilan (life skill)
sehingga tidak lagi menjadi orang yang lemah fisik maupun mental. Pendidikan
yang murah, peningkatan ketrampilan dan akses pelayanan kesehatan yang mudah
mendorong terjadinya peningkatan kualitas hidup, potensi mereka dapat
dikembangkan dan ketrampilan hidupnya (life skills) meningkat
signifikan. Dengan cara ini, kaum mustad}`afi>>n memiliki posisi
tawar yang lebih baik dan diharapkan dapat meningkatkan derajat kelayakan hidup
secara memadai. Akses lain yang dibutuhkan kaum mustad}`afi>n
adalah kemudahan memperoleh sumber daya air bersih. Air bersih sangat penting
tidak semata untuk bertahan namun juga mengatrol mutu hidup mereka. Karena itu,
segala tindakan ekonomi yang membatasi akses mereka kepada air bersih atau
membuat mereka tidak mampu memperolehnya secara gratis, merupakan pelanggaran
serius terhadap hak kepemilikan publik
terhadap air sebagaimana rezim Neoliberalisme memaksakan proses privatisasi sumber daya air.
Tabel 5
Perbandingan Teori Distribusi dan
Implikasinya
Teori
|
Prinsip
|
Implikasi
|
Libertarianisme
|
·
hak-hak kepemilikan eksklusif (self-interest)
·
hak-hak absolut atas distribusi dunia secara tidak proporsional.
|
·
pajak pendapatan dan kekayaan
dan pungutan semisalnya oleh negara merupakan pelanggaran hak milik karena
membiarkan orang untuk memiliki sebagian hak orang lain; pajak sama dengan
kerja paksa;
·
Kebebasan membolehkan
ketidakadilan distributif tidak ada konsep tentang tanggung jawab sosial
untuk mengatasi kelangkaan, ketidakberdayaan, dan ketidakpastian mereka yang
kurang beruntung
|
Berbasis
Balasan
|
kompensasi terhadap apa pun dalam aktivitas ekonomi
|
Semua pemanfaatan modal berupa aset-aset tetap harus
ditukar dengan biaya yang setimpal
|
Berbasis
Kesejahteraan
|
memaksimalkan kesejahteraan untuk sejumlah besar masyarakat
|
Atas nama kesejahteraan bagi masyarakat banyak,
kepentingan sekelompok kecil dikorbankan
|
Berbasis Sumber
Daya
|
tidak ada kewajiban atas individu maupun kolektif
untuk menyubsidi mereka yang kurang beruntung.
|
·
Setiap orang dibuat hanya
untuk bekerja dan memikirkan pendapatan bagi dirinya sendiri;
·
setiap orang tidak perlu
menanggung akibat dari lingkungannya.
|
John Rawls
|
ketidaksamaan
sosial-ekonomi perlu diatur sedemikian rupa sehingga ketidaksamaan itu dapat
diharapkan saling menguntungkan bagi setiap orang
|
·
Upaya agar mereka yang kurang
beruntung menjadi lebih baik dilakukan dengan cara mengurangi kesejahteraan
mereka yang beruntung
·
diperlukan biaya besar untuk
mencapai keadilan sosial-ekonomi
|
Etika al-Qur’an
|
·
Distribusi sumber daya alam dan lingkungan berada dalam kerangka
partisipasi;
·
Redistribusi kekayaan dan pendapatan merupakan tanggung jawab
bersama untuk memastikan jaminan
sosial, peningkatan kapasitas dan otoritas
bagi mereka yang kurang beruntung.
|
·
Menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia
·
kemitraan dalam kepemilikan kekayaan alam tertentu dapat mereduksi
disparitas atau kesenjangan dalam pendapatan dan kekayaan;
·
harmoni antara kepentingan
pribadi dan kepentingan sosial, dan antara kesejahteraan individu dan
kesejahteraan sosial
·
meningkatkan aktivitas
perekonomian
|
“Peningkatan
otoritas” kaum mustad}`afi>n dalam proses
pengambilan keputusan. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar (sandang, pangan,
papan), terbukanya akses dan peluang pendidikan dan ketrampilan, serta pelayanan kesehatan yang murah dan
mudah memang penting. Bagaimanapun keberpihakan itu pada akhirnya mesti
memasuki wilayah politik. Alangkah makin
mantap jika pemberdayaan sosial juga mencakup pelibatan kaum tertindas dan
miskin itu sebagai bagian dari warga negara dalam posisi menentukan kebutuhan
dan kepentingan mereka, memutuskan kebijakan secara bersama-sama dengan
kelompok sosial lainnya. Sesudah partisipasi dapat diraih, usaha berikutnya
adalah memosisikan kaum mustad}`afi>n sebagai pengawas
terhadap pelaksanaan kebijakan-kebijakan
atau keputusan penting bagi mereka. Partisipasi dalam pengambilan
keputusan saja belum cukup. Melakukan kontrol (controling) atas
bagaimana implementasi kebijakan itu berjalan memungkinkan mereka dapat menjaga
dan memelihara kepentingan-kepentingan sosial-ekonomi mereka. Partisipasi dan kontrol membuat mereka memiliki otoritas dan kekuatan di
hadapan kelompok-kelompok sosial
lainnya.
Dari sini bisa dilihat bahwa prinsip al-Qur’an berbeda dari
Prinsip Rawls yang percaya bahwa
atas dasar prospek yang sama, pendidikan dan ketrampilan perlu diberikan kepada mereka yang kurang
beruntung agar dapat meningkatkan kondisi mereka. Dalam perspektif al-Qur'an,
tawaran Rawls hanya menekankan pada upaya "peningkatan kapasitas" dan
mengabaikan dua upaya lain yang sama pentingnya. Yakni pemenuhan kebutuhan
fisiologis yang bersifat mendesak dan peningkatan "otoritas" mereka
yang kurang beruntung, yang meliputi partisipasi dan kontrol dalam proses
(politik) pengambilan kebijakan dan implementasinya.
e.
Prinsip-prinsip Keadilan
dalam Peran Pasar dan Negara
Persoalan
penting tentang peran negara tidak dapat dilepaskan dalam perbincangan ekonomi
kontemporer. Masalah ini terkait dengan bagaimana negara mengambil posisi dalam
menjamin, memelihara dan mengatur berbagai kepemilikan. Ini merupakan salah satu isu yang menentukan
dalam berbagai sistem ekonomi kontemporer dan menjadi unsur pembeda antara satu sistem dengan
sistem lainnya. Kapitalisme yang berbasis Prinsip Libertarian cenderung
mementingkan hak-hak dan kepemilikan individu, sementara sistem
Sosialisme/Komunisme mendasarkan diri pada Prinsip Egalitarianisme Radikal
dengan kepemilikan kolektif dan mengekang kebebasan individu. Kini, hampir
dapat dikatakan bahwa sistem ekonomi
Neoliberal yang hidup mempersempit
wilayah otoritas negara atas individu.
Tujuannya adalah untuk mencapai
kesejahteraan ekonomi dengan memberi kebebasan penuh kepada individu. Intervensi
dan meningkatnya otoritas negara
dikhawatirkan dapat menekan
kebebasan individu.
Kebutuhan
akan peran negara atau otoritas
pusat tak terelakkan karena
kesejahteraan umat manusia tidak mungkin
kecuali berada dalam sebuah sistem
sosial dan dengan kerjasama. aktivitas ekonomi perlu dijamin melalui suatu
sistem pemerintahan yang mengemban batasan-batasan
moral agar diberlakukan, dan ia bertanggung jawab atas semua peran yang diamanahkan
tersebut. Peran negara ini tidak lain
dalam rangka untuk menciptakan tatanan ekonomi yang berkeadilan. [63]
Dari sudut
pandang legitimasi, prinsip al-Qur'an secara tegas mengundang peran negara
dalam menata dan menegakkan keadilan sosial-ekonomi. Prinsip ini bersebrangan
dengan Prinsip Libertarian Nozick yang enggan memberi legitimasi kepada campur
tangan negara dalam bidang ekonomi kecuali dengan porsi yang sangat kecil.
Teori entitlement yang dikemukakan oleh Nozick dalam rangka
mempertahankan the minimal state. The minimal state dalam sistem
Neoliberalisme dilucuti sedemikian rupa melalui rejim privatisasi, deregulasi,
dan liberalisasi. Sementara itu, Prinsip Rawls yang banyak diadopsi untuk
mempertahankan welfare state kiranya bermain pada posisi tengah antara
Kapitalisme dan Sosialisme, meskipun Rawls sendiri tidak pernah secara
eksplisit mengundang intervensi negara.
Tiga peran
penting negara dalam melakukan intervensi aktivitas ekonomi secara relatif
terbatas, yakni menyangkut negara sebagai pemilik dan produsen, redistributor
kekayaan dan pendapatan, serta regulator kehidupan perekonomian.
Peran pertama mengandaikan bahwa semua yang berkaitan
dengan kebutuhan hidup semua penduduk dan warga negara harus berada di bawah
kendali negara baik kepemilikan maupun pengelolaan produksinya atas nama mandat
kepemilikan publik. Demikian pula perusahaan-perusahaan yang mengelola produksi
sumber daya alam dan lingkungan milik bersama itu harus dikuasai oleh negara
demi kesejahteraan (al-fala>h}) sebesar-besarnya bagi
semua penduduk. Prinsip ini berbeda dengan apa yang diyakini oleh Prinsip
Libertarian dan Liberalisme Klasik. Libertarianisme dan Liberalisme Klasik
bersandar pada kepentingan diri (self-interest). Karenanya dua prinsip
ini menghendaki privatisasi terhadap seluruh sumber daya tanpa kecuali atas
nama efisiensi dan distribusi yang adil.
Peran pemerintah yang ekstensif dalam kepemilikan dapat berarti pelanggaran
atas hak-hak dan kepemilikan individu.
Peran kedua memastikan
agar dalam proses distribusi tidak satu pun dari faktor-faktor
produksi ditekan pembagiannya dan mengeksploitasi faktor lainnya. Sumber daya
termasuk tanah, pekerja dan modal sama-sama berharga. Karenanya pemilik tanah,
pekerja dan pemilik modal harus berbagi bersama dalam hasil-hasil
produksi. Di samping itu, al-Qur’an juga
secara tegas menghendaki agar sebagian dari hasil produksi itu diberikan kepada mereka yang tidak dapat memberikan kontribusi
dalam produksi karena alasan-alasan
seperti cacat sosial, fisik dan ekonomi. Ini sekali lagi menguatkan prinsip
al-Qur'an bahwa seseorang dapat memperoleh balasan tanpa sepenuhnya memandang
kontribusi aktualnya.
Peran ketiga
berbentuk regulasi, baik regulasi terhadap perilaku konsumsi warga negara
maupun regulasi pasar. Peran ini dalam
satu sisi merupakan antitesis terhadap Prinsip Libertarian, yang karena alasan
hak-hak absolut atas pembagian dunia yang tidak proporsional, maka kepemilikan
pribadi sangat layak dan pasar bebas dalam kapital dan pekerjaan secara moral
dikehendaki. Pasar bebas adalah mekanisme bagi alokasi dan distribusi yang
adil. Untuk itu, campur tangan negara sebisa mungkin dilucuti. Pada praktiknya,
Prinsip Libertarian ini diterapkan oleh
Neoliberalisme yang mencoba menghapuskan subsidi umum bagi rakyat banyak dengan
dalih pemborosan, sementara pada saat yang sama korporasi multinasional (MNCs)
dan transnasional (TNCs) meminta fasilitas tax holidays. Karena itu,
Neoliberalisme mesti menuntut proses deregulasi yang menghalangi terjadinya
pasar bebas yang menguntungkan secara ekonomi bagi sekelompok kecil
konglomerat. Suatu paradoks yang
bertentangan dengan rasa keadilan (al-`adl) sekaligus mengancam
kesejahteraan umum (al-fala>h}). Di sisi lain, prinsip al-Qur'an
menawarkan suatu alternatif bagi etisasi pasar untuk menghindarkan dari
praktek-praktek spekulatif dan judi (gharar).
Tabel 6
Perbandingan Teori Peran Negara
dan Implikasinya
Teori
|
Prinsip
|
Implikasi
|
Libertarianisme
|
Pasar bebas dalam
kapital dan pekerjaan secara moral dikehendaki
|
Minimal State; negara
dilucuti kekuasaannya melalui deregulasi dan privatisasi dan liberalisasi
|
Egalitarianisme
Radikal
|
Campur tangan negara
bersifat absolut
|
Negara totalitarian
|
Etika al-Qur’an
|
Intervensi negara
adalah keniscayaan bagi penciptaan pasar etis
|
Peran negara sebagai
pemilik dan produsen, regulator, redistributor adalah komplementer bagi pasar
etis
|
Peran dan campur
tangan negara dalam kehidupan dan tatanan ekonomi penduduknya, dengan demikian, tentu saja diakui. Al-Qur’an mendukung kebebasan dan
tidak menghendaki batasan-batasan yang tidak diperlukan. Oleh karena itu, peran
negara dalam kaitan ini harus bersifat komplementer atas peran pasar
untuk menjamin alokasi dan distribusi sumber daya yang adil melalui persaingan
sempurna dan etis. Karena itu batasan peran negara yang melengkapi itu adalah
untuk menjaga rasa keadilan (al-`adl)
dan kesejahteraan umum utamanya (al-fala>h}).
Tujuan dan Implikasi
Tujuan penerapan
prinsip-prinsip keadilan tersebut dalam aktivitas ekonomi adalah untuk mencapai
kesejahteraan baik pada tingkat individu
maupun kolektif, yang indikatornya meliputi survival dan sustainable,
kaya dan bebas dari kemiskinan; memelihara harga diri (tidak mengemis) dan
kemuliaan (bebas dari jeratan hutang).
Upaya menjaga "rasa keadilan" (sense of
justice) dan menerapkan prinsip-prinsip keadilan dalam rangka menuju kesejahteraan
(sense of happiness)
melahirkan sejumlah implikasi dalam proses pelembagaannya melalui: (1)
penubuhan nilai-nilai keadilan sebagai
motif bertindak (motive of action) dalam aktivitas ekonomi; (2)
perwujudan kebaikan dan kewajiban-kewajiban agama (religious obligations and
virtues) dalam aktivitas ekonomi;
(3) penegakkan suatu sistem manajemen sosial-ekonomi (socio-economic
management) yang berkeadilan, manusiawi, dan ramah lingkungan; dan (4)
implementasi peran pemerintah (role of state) dalam menjalankan sistem
politik dan kebijakan yang adil dan menyejahterakan untuk semua.
Penutup
Problem ketidakadilan dan kegagalan sistem-sistem ekonomi
dan teori-teori keadilan kontemporer menjawabnya, mendorong upaya pemikiran
terhadap teori dan praktik ekonomi berkeadilan tetap relevan dalam mana
ketidakpastian, kelangkaan, dan ketidakberdayaan sebagian penduduk bumi terus
mengalami peningkatan di tengah-tengah sekelompok kecil orang yang bergelimang
kekayaan dan limpahan materi. Keadilan sebagai dasar pijak aktivitas dan
kebijakan ekonomi semakin memperoleh tempat dalam diskusi-diskusi tentang sistem
ekonomi kontemporer. Tak terkecuali Islam – sebagai agama sekaligus pandangan
dunia dan way of life – berupaya urun
rembug memberikan kontribusi tentang apa, bagaimana, dan ke mana keadilan akan
diarahkan dalam aktivitas perekonomian.
Merespon tantangan ketidakadilan dan peluang untuk
menawarkan nilai-nilai keadilan yang orisinal dalam ruang dialektis di mana
berbagai sistem ekonomi saling berkompetisi, berhimpit, dan berebut pengaruh,
bahasan-bahasan terdahulu telah memberikan alternatif jawaban atas problem
ketidakadilan, implementasi, dan dimensi teleologisnya dalam hubungannya dengan
lima persoalan utama yang menyangkut aktivitas kepemilikan, produksi, konsumsi,
distribusi, dan peran negara.
Pembahasan secara rinci pada bab-bab terdahulu telah
menggambarkan suatu jawaban konseptual al-Qur'an terhadap problem ketidakadilan, yang darinya
dapat ditarik beberapa prinsip keadilan ekonomi sebagai berikut:
1.
Pada hakikatnya sumber daya adalah
hak mutlak Allah, manusia adalah pemilik terbatas berdasarkan amanah;
2.
Sumber daya dimiliki manusia
secara kemitraan, bukan hak eksklusif,
spesies lain memiliki hak serupa atasnya;
3.
Ihktiar, manusia bebas menentukan
pilihan atas nasibnya sendiri;
4.
Individu menerima apa yang menjadi
haknya berdasarkan usaha, tanpa sepenuhnya
memandang kontribusi aktualnya;
5.
Perbedaan adalah keniscayaan untuk
saling mengambil manfaat, berkompetisi, bekerjasama, dan berbuat ih}sa>n;
6.
Konsumsi pada asalnya adalah boleh
kecuali melampaui batas maksimal (berlebih-lebihan, boros, bermewah-mewahan)
atau minimal (kikir);
7.
Efisiensi dan prioritas konsumsi berdasarkan hierarki kebutuhan dan
menjaga kelestarian lingkungan alam dan kemanusiaan;
8.
Distribusi sumber daya alam dan
lingkungan berada dalam kerangka partisipasi;
9.
Redistribusi kekayaan dan pendapatan
merupakan tanggung jawab bersama untuk
memastikan jaminan sosial, peningkatan kapasitas dan otoritas bagi mereka yang kurang beruntung.
10. Peran negara adalah keniscayaan yang bersifat komplementer bagi
pasar yang etis guna menjamin rasa keadilan dan capaian kesejahteraan umum.
Sudah saatnya sistem dan aktivitas perekonomian untuk
mempertimbangkan faktor kelestarian
sumber daya alam/lingkungan dan kemanusiaan sebagai variabel penting
dalam pembangunan berkelanjutan. Lebih dari itu, variabel ini juga perlu
diadopsi untuk melengkapi maqa>s}id al-shari>`ah yang lima – h}ifz} al-di>n, h}ifz} al-nafs, h}ifz} al-`aql, h}ifz} al-nasl, dan h}ifz} al-ma>l – dengan maksud
keenam, yaitu h}ifz} al-bi>'ah, proteksi dan konservasi lingkungan.
Konsep keadilan ekonomi dalam al-Qur’an,
prinsip-prinsip keadilan yang
diturunkannya, dan tujuan penerapannya,
sebagaimana dijelaskan di atas,
menetapkan prinsip-prinsip moral untuk ditubuhkan dan diinternalisasikan dalam
institusi-institusi ekonomi. Institusi-institusi ini menentukan bagaimana
setiap orang berjuang untuk hidup, memasuki kontrak dan transaksi, pertukaran
barang dan jasa dengan pihak lain, dan memproduksi fondasi material secara
independen atas kelangsungan ekonominya. Melalui prinsip-prinsip ini pula keadilan
ekonomi tidak semata membebaskan setiap orang untuk terlibat secara kreatif
dalam kerja berorientasi ekonomi, namun juga melampauinya, yakni menjadi jiwa
dan spirit bagi mereka.
Dalam kaitan penubuhan prinsip-prinsip keadilan ini ke
dalam institusi-institusi ekonomi, penelitian ini memiliki
keterbatasan-keterbatasan tertentu antara lain: pertama, karena pendekatannya qawliyyah,
prinsip-prinsip yang dideduksi secara tematik itu bersifat normatif, maka
diperlukan penelitian lebih lanjut dengan mempergunakan pendekatan kawniyyah
untuk memastikan secara empirik apakah prinsip-prinsip keadilan normatif itu
memperoleh verifikasi atau falsifikasi
dari praktek dan kenyataan lapangan; dan kedua, karena sifat
normatifnya, prinsip-prinsip keadilan
itu membutuhkan kajian lanjutan yang tak kurang seriusnya dengan fokus pada interpretasi pragmatis untuk
kebutuhan operasionalisasinya pada tingkat praksis.
Sistem keadilan ekonomi melibatkan individu dan
tatanan sosial. Karena itu, sistem keadilan ekonomi membutuhkan interrelasi
secara timbal balik dengan sistem keadilan sosial, yang dalam khazanah
pemikiran keislaman telah banyak dibahas secara luas. Di sisi lain kajian ini
membawa kepada pentingnya dukungan sensitivitas keadilan ekologis. Keadilan
ekologis menjadi signifikan karena berkaitan erat dengan kegiatan produksi dan
konsumsi atas berbagai sumber daya yang dapat diperbarui (renewable
resources) maupun yang habis pakai atau tidak dapat diperbarui (unrenewable
resources), serta berbagai dampak langsung dan tidak langsungnya atas
keberlangsungan hidup semua makhluk bumi. Keadilan ekologis ini berakar pada sustainability
di mana masa depan kehidupan yang berkeadaban bergantung. Menimbang urgennya
usaha-usaha investasi hijau (green
investment) dan pelestarian lingkungan hidup, perlu kiranya ada suatu
penelitian yang secara khusus mendalami persoalan-persoalan keadilan ekologis.
[1] George
Soule, Ideas of the Great Economists (New York: Mentor, 1952), hlm. 53;
George Dalton, Economic System and Society (Kingsport, Tenn: Kingsport Press, 1974), hlm. 77.
[2] Norman
Furniss dan Timothy Tilton, The Case of Welfare State: From Social Security
to Social Equality (Bloomington, Indiana: International Union Press, 1977),
hlm. 42.
[3] Lihat
pembahasan tentang alienasi ini dalam Karl Marx, Economic and Philosophic
Manuscripts of 1884 (Moscow: Foreign Language Publishing House, 1961), hlm.
67-83.
[4] Negara
Sejahtera memperoleh dua momentum: setelah Depresi Besar dan Perang Dunia II
sebagai respon terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh Sosialisme dan
kesulitan-kesulitan akibat Depresi dan Perang Dunia II tersebut. Untuk melihat
sejarah Negara Sejahtera silahkan merujuk pada Maurice Bruce, The Coming of
the Welfare State (London: Batsford, 1968).
[5] Pengaruh
besar Hayek terutama pada pendasaran filosofis ekonomi pasar bebas, ia juga
menentang keras kolektivisme dan fascisme yang melanda sebagian Eropa saat itu.
Lihat B. Herry Priyono,”Dalam Pusaran Neoliberalisme”, dalam I. Wibowo dan
Francis Wahono, ed. Neoliberalisme (Yogyakarta:
Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003), hlm. 52-53.
[6] Ia
dikenal sebagai penentang gagasan John M. Keynes tentang campur tangan negara
atau pemerintah dalam kehidupan ekonomi, yang biasanya dilakukan lewat
stabilisasi untuk mengontrol inflasi dan pengangguran, dengan kebijakan
investasi untuk mengangkat belanja masyarakat, lihat ibid.
[7]
kebangkitan liberalisme ekonomi ini pada intinya memperjuangkan leissez
faire, yakni paham yang mempertahankan hak-hak atas pemilikan dan kebebasan
individual, dan lebih percaya kepada pasar daripada metode regulasi negara
untuk menyelesaikan masalah sosial. Lihat Mansour Fakih, Bebas dari
Neoliberalisme (Yogyakarta: Insist Press,
2003), hlm. 54-58.
[8] Saba’ 34:22; al-Zumar 39:43; al-Baqarah 2:108; A<lu `Imra>n 3:189; al-Ma>’idah 5:17-18, 40, 120 dsb.
[13]
al-Baqarah 2:215.
[14] al-Nu>r 24: 42; T}a>ha>
20:6; A<li `Imra>n 3:26; Fa>t}ir
35:13; al-Isra>'
17:111; al-Furqa>n
25:2; al-Zumar 39:6, 44; al-Shu>ra> 42:49; al-Zukhruf
43:84; al-Ja>thiyah
45:27, dan lain-lain.
[15] al-Nisa>’ 4:32, hlm. 122.
[16]
al-Baqarah 2:29.
[17] lihat
Ibn Majah, Sunan (Beirut:
Da>r al-Fikr,
t.th.), jilid ii, kita>b
al-rahn ba>b
al-muslimu>n
shuraka>’ fi
thalath, hadis no. 2472, hlm. 826.
[19] QS.
al-Nisa>’ 4:32.
[20] QS.
al-Ra`d 13:11.
[21] QS.
al-`As}r 103:1-3.
[22] QS.
al-Ma>'idah 5:3.
[23]
al-Zukhruf 43:32.
[24] Lihat
Karl Marx dan Friedriech Engel, Capital: Manifesto of the Communist Party
(Chicago: Encyclopaedia of Britannica Inc., 1952), hlm. 85-95.
[25] M.A.
Mannan, Islamic Economics: Theory and Practice (Delhi: Idarah-I Adabiyt-I Delli, c1980), hlm.
129-131.
[26] al-Nahl
16:90, al-Nisa>'
4:32.
[27]
Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahnya…al-An`am 6:38, hlm. 192.
[29] QS. Saba' 34:15.
[30] M.A.
Mannan, Islamic Economics: Theory and Practice (Delhi, Idarah-i
Adabiyat-i Delli, 1980), hlm. 79.
[31]
al-Furqa>n
25:67.
[32] Lihat
al-Ghazali dalam al-Mustas}fa> fi> `Ilm al-Us}u>l (T.tp.: Da>r al-Fikr, t.th.) dan
Imam al-Shatibi dalam al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Ah}ka>m (Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.).
[33] al-H}ashr 59:18.
[34] al-Nisa>’ 4:9.
[35] al-Ma>’idah 5:32; lihat juga al-Baqarah 2:251,
dan 220.
[36] Monzer
Kahf,"A Contribution to the Thery of Consumer Behavior in an Islamic
Society", dalam Khurshid Ahmad, ed. Studies in Islamic Economics…hlm.
21-22.
[37] QS.
al-Baqarah 2:261.
[38] QS.
Maryam 19:31-33.
[39] QS.
al-Mulk 67:15.
[40] QS.
al-Baqarah 2:265.
[41] QS.
al-H}ashr 59:7.
[42] QS.
al-H}ashr 59:7.
[43] Ibnu
Manzur, Lisa>n
al-`Arab, vol. 5, hlm.401-402.
[44] QS.
al-Taka>thur
102:1.
[45] QS. al-Humazah 104:1-2.
[46] QS. al-Baqarah
2:275.
[47] QS. Hu>d 11:6.
[49] QS.
al-Zukhruf 43:32.
[55] Ibid.,
al-Nisa>’ 4:7,
lihat juga ayat 8-14.
[56]
al-Tawbah 9:60.
[58] Ibn
Hajar al-Asqalani, Fath}
al-Ba>ri> Sharh S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r al-Mu`arrafah,
t.th.), vol. V, hlm. 243.
[59] QS.
al-Hashr 59:6; lihat juga pada ayat-ayat 7-10, yang menyebutkan bagian harta
ini untuk Allah dan rasulNya, kaum
kerabat, anak yatim, orang miskin, ibnu
sabil, orang fakir yang berhijrah dan
terusir dari kampung halamannya.
[60] QS.
al-Anfa>l 8:41.