Perkembangan kaligrafi di nusantara beberapa dekade terakhir,
menggembirakan. Tak hanya di kalangan santri tapi juga akademisi,
pejabat, dan pengusaha. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa jauh
sebelum Islam datang masyarakat Arab dikenal sebagai bangsa yang
hampir-hampir tidak mengenal aksara,bahkan beberapa di antara mereka
tampak antipati terhadap huruf. Meski orang-orang Arab pada waktu itu
dikenal sangat piawai dalam bidang kesusastraan, namun dalam hal tradisi
tulis-menulis (khath)
masih tertinggal jauh dibanding beberapa bangsa di belahan dunia lainnya yang telah mencapai tingkat kualitas tulisan yang sangat prestisius.
Sebut saja misalnya Mesir dengan tulisan Hierogliph, India dengan gaya
Devanagari, Jepang memukau dengan aksara Kaminomoji, Indian dengan
Azteka, Assiria dengan Fonogram/huruf Paku, dan pelbagai negeri lain
yang sudah terlebih dahulu memiliki trade mark jenis huruf/ aksara.
Kehadiran Islam, dengan demikian,telah mendorong revolusi pada
perkembangan tradisi bangsa Arab.
Betapa tidak, ketika orangorang Arab tengah asyik-masyuk dengan tradisi
verbal yang mereka banggakan, wahyu pertama (Iqra’), “Bacalah!”
(al-’Alaq:1-5), telah menghentakkan mereka dari tidur panjangnya, seolah
menjadi “bom” yang menghempaskan idealisme bangsa Arab.
Maka sejak saat itu, perkembangan tradisi tulismenulis di negeri itu
benarbenar spektakuler, melompat, bahkan berlari meninggalkan
bangsa-bangsa lain. Situasi ini kian menemukan momentumnya manakalah
disokong oleh kekuatan pengaruh intelektualisme yuris muslim (fukaha)
dan sambutan “halawah” (reward) dan pundi-pundi emas dari para Sultan
atas karya kaligrafi yang berbobot.
Inilah yang pada gilirannya telah menempatkan kaligrafi Islam berada
pada puncak keagungannnya. Seorang maestro dari dari Negeri Seribu Satu
Malam,Yaqut al-Musta‘shimi (w 698H/1298M), mengibaratkan kaligrafi
sebagai arsitektur ruhani yang diekspresikan lewat medium jasmani
(al-khaththu handasatun ruhaniyyatun zhaharat bi alatin jismaniyyatin).
Dengan begitu, relasi Islam dan tradisi kaligrafi telah melahirkan
pencapaian yang sangat mengagumkan. Ribuan bahkan jutaan karya
masterpiece telah lahir dari ‘tangan emas’ para kaligrafer muslim dari
masa ke masa.Para maestro kaligrafi terbesar Islam sepanjang sejarah,
seperti Seikh Hamdullah al- Amasi (w. 520M), al-Hafizh Utsman (w.
1698M), Mir Ali Tabrizi (w. 1416M), Imaduddin al-Husayni (w. 1615M),
Hamid al-Amidi (w. 1982M), dan Hasyim Muhammad al- Baghdadi (w.1972M)
bereputasi dan sangat populer karena banyak menulis mushaf Alquran.
Ibnu Bawwab,yang digelari Qalam Allah fi Ardhihi (pena Allah di
bumi-Nya) menulis tidak kurang dari 64 mushaf. Yaqut al-Musta’shimi,
sang Qiblat al-Kuttab, dan yang karyanya telah menyebar ke seluruh sudut
dunia, juga menulis puluhan mushaf. Sayang, karya mereka kini telah
musnah. Perkembangan kaligrafi di Nusantara juga tak kalah seru.Dalam
beberapa decade terakhir Kaligrafi Islam mulai menjadi primadona, tak
hanya di kalangan santri pondok pesantren tapi juga akademisi, pejabat,
pengusaha, dan sebagainya.
Kini tak sulit menemukan karya seni rupa kaligrafi Islam yang bertengger
di pelbagai tempat: masjid, gedung-gedung megah, rumah-rumah mewah,
sekolah- sekolah,hingga gubug reyot sekalipun.Inilah gambaran revolusi
kaligrafi di Indonesia yang pada giliranya melahirkan ribuan kaligrafer
produktif. D. Sirojuddin AR dalam buku ini berupaya menjelajahi pelbagai
masterpiece yang dipersembahkan para kaligrafer mulai dari Negeri
Seribu Satu Malam (Baghdad) hingga Negeri Seribu Pulau (Nusantara).
Seperti yang dia tuturkan, buku ini memang sengaja dihadirkan untuk
menunjukkan suatu relasi guru-murid sekaligus memotret ekspansi tradisi
intelektualisme Arab dan Melayu Nusantara sehingga membentuk suatu
“Pohon Silsilah Kaligrafer Muslim” (syajarah al-khaththathin). Berbeda
dengan buku-buku Timur Tengah,buku ini menampilkan pola penyajian yang
sangat menarik, gamblang, dan enak dilihat.Sistematika buku ini adalah
berdasarkan jenis khat terpopuler disertai beberapa penjelasan dan
profil singkat.
Dimulai dengan deretan karya Indah dalam khat Naskhi (h.
1-64),khatTsuluts (h.65-174), khat Diwani (h.175-248),khat Diwani Jali
(h. 249-316), khat Farisi (h. 317-406), khat Kufi (h. 407-492), khat
Riq’ah (h. 493-556),dan ditutup dengan beberapa karya seni lukis
kaligrafi kontemporer. Walhasil, usai menyimak habis buku ini, maka kita
akan sepakat bahwa inilah buku kaligrafi terlengkap dan komprehensif
yang pernah ada di negeri ini.
Karenanya tidak berlebihan jika buku ini patut mendapat apresiasi secara
proporsional sebagai sebuah sumbangsih berharga bagi pengembangan seni
Islam di Nusantara. Namun demikian, karya kreatif ini tak sepenuhya
paripurna. Kita tentu sepakat bahwa ini hanyalah sebuah langkah awal
untuk memicu lahirnya karya-karya besar lainnya. Untuk menggambarkan
representasi kaligrafer dunia, buku setebal 574 halaman ini tampaknya
masih belum cukup mampu mengakomodasi selaksa masterpiece yang tersebar
di pelbagai sudut dunia.Oleh karena itu dipelukan kerja lanjutan.
Inilah tugas yang dibebankan Sirojuddin untuk para kaligrafer muda
Nusantara. Buku ini disinyalisasi akan membawa pembacanya berfantasi
pada masa-masa kejayaan Islam di Baghdad,kedigdayaan Islam di Andalusia,
dan Pelangi Islam di Nusantara. Lebih jauh,keindahan kaligrafi Islam
yang terhimpun dalam buku ini juga menawarkan spiritualisme yang basah,
sejuk laksana oase di padang Sahara.
Sumber : Ahmad Tholabi Kharlie,
Dosen Universitas Islam Negeri Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar