Kaligrafi Dekorasi

Selasa, 07 Mei 2013

Kaligrafi


Seni menulis indah disebut Kaligrafi. Kata Kaligrafi berasal dari bahasa Yunani ( Kallos : Indah, Grafhia : Tulisan ). Kaligrafi adalah seni menulis indah dengan pena sebagai hiasan. Seni ini diciptakan dan dikembangkan oleh kaum Muslimin Arab sejak kedatangan Islam. Tulisan indah Arab sering disebut juga dengan istilah “ Khat “ . Ketika khat arab ditampilkan dalam bentuk yang memiliki cira rasa seni dan keindahan, maka khat tersebut disebut dengan seni kaligrafi
Berikut ini kami akan menampilkan beberapa kaligrafi yang mungkin bermanfaat bagi anda


Senin, 06 Mei 2013

Golongan Dekorasi MTQ Nasional Korpri di Makassar Tahun 2012


Sebagai seorang Khattat yang sudah beberapa kali mengikuti MTQ tingkat Nasional, Ana mempunyai banyak koleksi Hasil Lomba Kaligrafi .Koleksi poto tersebut hanya sebagai contoh aja ana masih banyak mempunyai koleksi poto-poto MKQ ( Musabaqah Kaligrafi al-Qur'an ) Jenis Hiasan Mushaf, Naskah dan Dekorasi Sejak MTQ Tingkat Nasional di Jambi tahun 1997 sampai MTQ Nasional di Ambon Tahun 2012.Bagi antum yang tertarik atau berminat memiliki Koleksi tersebut Silahkan Hubungi Ismail Kadir HP 085280461373

Selasa, 26 Maret 2013

Logo IIQ Institut Ilmu Al Quran Jannatu Adnin Kendari

Logo IIQ Institut Ilmu Al Quran Jannatu Adnin Kendari Sulawesi Tenggara

Rabu, 13 Maret 2013

PESANTREN DAN PERDAMAIAN REGIONAL

By
Badrus Sholeh* dan Abdul Mun’im DZ**
*Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, UIN Jakarta, dan Peneliti Pusat Studi Perdamaian LP3ES Jakarta.
**Direktur NU Online, dan Peneliti Senior CESDA-LP3ES Jakarta.

Pesantren di Indonesia berhasil melakukan adaptasi dengan perubahan lingkungannya. Kiprah komunitasnya seiring dengan tuntutan zaman, sesuatu yang berbeda dengan sistem pendidikan Islam di beberapa negara (madrasah di Pakistan, pondok di Malaysia). Dinamika mereka ditopang dengan dukungan masyarakat dan pemerintah, yang peduli terhadap perkembangan pesantren. Beberapa pengamat pesantren melihat sebagai suksesnya pesantren dalam menghadapi tekanan luar, baik dari negara, masyarakat maupun global. Karl Steenbrink dan Zamakhsyari Dlofier memandang dinamika komunitas pesantren dipengaruhi beberapa aspek: sistem nilai pendidikannya yang fleksibel, kuatnya hubungan elemen tradisi pesantren, dan kebebasan yang diberikan oleh negara terhadap pertumbuhan lembaga pendidikan Islam. Dinamika ini berlangsung sejak masa kolonial, dengan mulainya jaringan ulama melayu dan Arab.
Fondasi perubahan pesantren tidak hanya dipengaruhi oleh Kyai, santri, dan pesantren (masjid) (Geertz, 1971) tetapi juga telah digerakkan oleh elemen eksternal: media, politik dan masyarakat sipil.  Karena itu pesantren beradaptasi kedalam tuntutan sosial Indonesia, dengan persoalan kompleks di level  nasional dan global. Masyarakat pesantren telah berkiprah dalam stabilitas internasional, dan rekonsiliasi regional. Mereka telah terjun dalam memediasi persoalan dan konflik antara masyarakat dan negara. Masyarakat petani, nelayan, buruh dan bahkan pelaku industri menyerahkan peran komunitas pesantren sebagai wadah dan media rekonsiliasi dengan pemerintah. Masyarakat petani Situbondo mendapat perlindungan dari Pesantren Salafiah Syafi’iyah, yang melakukan advokasi atas hak-hak dasar terhadap perusahaan perkebunan pemerintah. Proses rekonsiliasi juga diambil alih oleh pesantren dalam konflik komunal di Jawa, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan tempat lain di Indonesia.   
Kalau dicermati secara historis, berdasarkan studi tentang sepuluh pesantren dalam lima wilayah Indonesia, terdapat spektrum dinamika baru pesantren yang tidak hanya didominasi oleh Pesantren mainstream yang didirikan sejak abad 19 dengan karakter inklusif, akomodatif dengan tradisi lokal dan terbuka dengan dialog-dialog antar iman, tetapi juga Pesantren jenis baru yang memiliki kecenderungan berbeda dengan pesantren mainstream yang masih mayoritas di Indonesia. Kecenderungan mereka radikal, eksklusif dan non-akomodatif, bahkan lekat dengan gerakan kekerasan berlandaskan ideologi agama. Peran aktif mereka dalam dukungan Jihad ke Maluku dan Poso, baik melalui retorika dakwah maupun pengiriman sukarelawan “pejuang” melawan Kristen Maluku dan Poso bertolak belakang dengan ide, argumentasi dan gerakan pesantren mainstream. Guruta K.H. Ambo Dalle (alm.), dilanjutkan dengan penerusnya K.H. Faried Wajedy, M.A., pengasuh DDI-AD Mangkoso, Kab. Barru, Sulawesi Selatan menolak upaya pengiriman sukarelawan ke Poso dan Maluku. Keduanya menekankan pentingnya aktualisasi doktrin bahwa Islam mengayomi kedamaian alam semesta (Al-Islam Rahmatan Lil Alamin). Ini juga menjadi dasar pemikiran bahwa pelaksanaan Syari’at Islam yang sedang trend di Sulawesi Selatan senantiasa menghargai tradisi dan agama lain. Argumentasi senada dilakukan oleh TGH Turmudzi,  pengasuh Pesantren Bagu, NTT, yang telah berupaya aktif menahan gelombang dukungan atas Tablig Akbar di Mataram, yang kemudian menimbulkan kerusuhan Mataram pada 2000. Tablig ini mengajak masyarakat Muslim Mataram untuk merespon terdesaknya Muslim Maluku dalam kerusuhan 1999-2000. Tablig ini juga dilakukan oleh jaringan pesantren non-mainstream di beberapa kota besar di Indonesia. Di Tasikmalaya, Jawa Barat, mereka juga getol berdakwah untuk penggalangan dana dan sukarelawan ke Maluku dan Poso. Tetapi mereka tidak direspon positif oleh Muslim setempat. Mayoritas pesantren mainstream  bersama masyarakat Muslim tetap konsisten mengembangkan gerakan kultural. Dalam penanggapi gagasan pelaksanaan syari’at Islam misalnya, para Kyai dan komunitas pesantren melakukan gerakan Gerbang Marhamah. Gerakan ini secara tegas berhadapan dengan gerakan destruktif Gerbang Malhamah. Gerakan ini juga dilakukan di Situbondo, dengan keterlibatan komunitas pesantren Salafiah Syafi’iyah Sukorejo, Kab. Situbondo dalam pendampingan masyarakat petani. Kebijakan kultural dan konstruktif jaringan komunitas pesantren mainstream ini sayangnya tidak didukung secara merata dengan pesantren-pesantren lainnya. Komitmen mereka dalam mengembangkan nilai-nilai dan kehidupan pluralisme baik dikalangan pesantren maupun dengan masyarakat sekitar yang berbeda etnis dan agama perlu diperkuat dan diperluas baik frekuensi maupun substansinya.
Kalau disimpulkan, studi ini terbagi kedalam beberapa pokok pikiran sebagai berikut. Pertama, terjadi proses dialogis antara komunitas pesantren dengan tradisi lokal. Islam Indonesia merupakan manifestasi akhir dari akulturasi antara tradisi Islam Arab dengan tradisi lokal. Tetapi proses evolutif ini mendapat tantangan dari fenomena tumbuhnya pesantren baru yang cenderung eksklusif, menolak dialogis antara Islam dan tradisi lokal. Kedua, komunitas pesantren juga memiliki peran aktif dalam membendung derasnya kerusuhan dan konflik yang terjadi sejak paruh akhir Orde Baru. Elit pesantren melakukan upaya preventif dan rekonsiliasi antar komunitas berbeda etnis dan agama di Situbondo, Tasikmalaya dan Mataram. Mereka juga membendung emosi Muslim ketika berkembang retorika yang mengajak Jihad melawan Kristen Maluku dan Poso. Upaya damai ini seringkali dimentahkan oleh kebijakan kontraproduktif keamanan nasional dan sekelompok elit politik yang memiliki interest tersendiri atas kerusuhan dan konflik ini. Disamping semakin menguatnya pertumbuhan pesantren baru radikal yang mengedepankan pendekatan kekerasan, dari pada upaya damai, dialogis dan rekonsiliatif. Ketiga, jaringan komunitas pesantren juga telah mengembangkan gerakan penyetaraan peran laki-laki dan perempuan melalui pelembagaan gerakan masyarakat sipil. Lembaga non pemerintah (ornop) ini menjamur, dan dipelopori oleh para alumni pesantren. Dalam observasi dan interview di beberapa pesantren, diakui oleh para elit dan komunitas pesantren bahwa keterbukaan dan kesadaran penyetaraan peran tidak dibarengi dengan keseimbangan potensi SDM. Walaupun demikian, tradisi pemisahan pesantren perempuan dan laki-laki yang selama berabad-abad terjadi di pesantren memberi peluang bagi para santri putri dan asatizah (guru-guru perempuan) untuk bersaing setara dengan santri putra. Tetapi mereka mendapat tantangan atas tekanan budaya patriarkal yang mengakar tidak hanya di pesantren, tetapi juga di banyak komunitas berbagai etnis di Indonesia. Terakhir, komunitas pesantren juga menjadi basis gerakan pluralisme, keberagaman etnis dan agama. Di masing-masing pesantren, para kyai memainkan peran berbeda-beda dalam mengusung gerakan pluralisme ini. K.H. Mahfuz, pengasuh pesantren Edi Mancoro Salatiga misalnya telah lebih dari satu dekade mempelopori kesadaran hidup bersama dalam perbedaan teologis. Gerakan ini dilakukan bersama dengan para tokoh non Muslim di Salatiga. Kuatnya dukungan intelektual Muslim dan Kristen dalam gerakan ini menciptakan kesinambungan dan kontinuitas. Kesadaran yang sama dilakukan oleh para elit pesantren DDI Mangkoso, Sulawesi Selatan dan pesantren Bagu, NTT. Keempat pola potensi jaringan komunitas pesantren ini akan menjadi modal sosial untuk membangun kehidupan masyarakat Indonesia lebih dinamis dalam kesadaran multikulturalisme.
Pola tradisi, sikap dan gerakan jaringan komunitas ini mendapat tantangan serius dari tekanan kekerasan dan radikalisme gerakan yang dilakukan oleh milisi-milisi laskar sejak terjadinya kerusuhan antar komunitas berbeda agama pasca runtuhnya Orde Baru. Euforia kebebasan ekspresi dalam periode Reformasi memberi kesempatan bagi kelompok-kelompok militan ini untuk berkampanye (baik lewat gerakan jalanan maupun mimbar-mimbar agama) dan memobilisasi gerakan. Mereka tidak terkontrol akibat tiadanya instrumen legal yang mengatur gerakan masif, khususnya berbasis ideologi agama. Kontradiksi hukum ini diperparah dengan runtuhnya bangunan organisasi dan jaringan gerakan reformasi, dan ketidakmampuan negara dalam membendung derasnya perilaku korup dan disparitas sumberdaya legislatif. Peristiwa yang menimbulkan terpecahnya sikap dan gerakan ini adalah munculnya serangan terorisme pada 2001, yang menyudutkan komunitas Muslim. 
Peristiwa 9/11 mengarahkan perhatian dunia terhadap masyarakat Muslim. Imej, brand, dan cap atas kekerasan ini ditujukan kepada jaringan Jamaah Islamiah (JI) yang dianggap bertanggungjawab atas peristiwa ini. Kemudian lebih spesifik Muslim Indonesia setelah Bom Bali, Oktober 2002, bom BEJ Jakarta, bom Makassar, bom Kuningan dan bom-bom lainnya. Peristiwa ini mempertanyakan ulang peran lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia: Pesantren. Fakta membuktikan bahwa banyak alumni pesantren yang terlibat aktif dalam  gerakan kekerasan ini. Tetapi berdasarkan riset lapangan selama dua bulan termasuk dibeberapa pesantren yang diduga aktif dalam gerakan ini bahwa sikap militansi kekerasan oleh orang-orang yang notabene disebut teroris tidak disebabkan dari sistem pengajaran dan pendidikan pesantren. Mereka sangat kuat dipengaruhi oleh pengalaman setelah selesai pendidikan di pesantren, baik di Malaysia, Afghanistan maupun tempat dan kegiatan lain. Mereka juga mendapat inspirasi dan kekuatan gerakan dari jaringan yang dibangun berdasarkan ikatan organisasi dan gerakan tertentu. Diantaranya adalah ikatan jaringan veteran Afghanistan. Pertukaran ide, gagasan dan pengalaman baru mereka di Malaysia, Afghanistan dan bahkan di Mindanao, Filipina Selatan menciptakan tradisi baru Islam yang cenderung pro-kekerasan. Generalisasi atas perubahan komunitas pesantren yang dianggap lebih radikal sempat mencuat akibat terjadinya kekerasan-kekerasan ini. Padahal, secara kualitatif dan kuantitatif mereka adalah kelompok minoritas yang diuntungkan oleh keadaan nasional yang tidak stabil secara politis dan ekonomis. Tentu saja, mayoritas Pesantren tetap mengedepankan pendekatan evolutif dan damai. Mereka telah berperan dalam menjaga kehidupan multikultural sejak awal pendiriannya dan aktif dalam proses-proses rekonsiliasi dan dialog dalam periode konflik dan kerusuhan. Tetapi dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk menopang peran-peran mayoritas pesantren ini.
Melihat fenomena dinamika perubahan pesantren baik karena pengaruh jaringan maupun tekanan nasional dan global, diperlukan langkah-langkah strategis. Pertama, kebijakan makro nasional, regional dan global. Perlunya rekonstruksi instrumen hukum yang adil, fair dan transparan atas tindakan kekerasan, khususnya menyangkut kelompok masif agama. Tekanan global atas gerakan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok jaringan Muslim hendaknya tidak menyudutkan masyarakat Muslim secara luas. Tentu saja, dibutuhkan upaya kerjasama secara langsung antara lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan lembaga internasional. Kedua, perlunya pendidikan alternatif bagi pelajar-pelajar dan komunitas pesantren dalam mengembangkan nilai-nilai pluralitas. Dan ketiga, penguatan terhadap kualitas kurikulum dan sistim pendidikan sangat dibutuhkan oleh pesantren, yang dalam jangka panjang akan meredam pengaruh negatif bangkitnya gerakan-gerakan militan Islam. 
Perlu diperhatikan bahwa radikalisme tidak tumbuh karena pendidikan di pesantren atau karena eksistensi alumni Timur Tengah. Pendidikan Islam, seliteral apapun tidak akan mempengaruhi orang untuk menjadi radikal atau terlibat dalam jaringan kelompok Islam militan, apalagi ikut dalam pemboman atas nama Islam. Sejak abad 15, jaringan Ulama Nusantara dan Timur Tengah melahirkan ulama, aktifis sosial dan intelektual. Dan tidak ada yang terlibat dalam gerakan Islam radikal, hingga abad 20. Mereka yang terlibat lebih banyak dipengaruhi pengalaman politik atau kekecewaan terhadap kinerja ormas Islam. Mereka sebagian juga terinspirasi oleh kebijakan Amerika Serikat dan sebagian negara Barat yang memiliki pola kebijakan yang mereka klaim merugikan umat Islam. Antara lain kebijakan yang tidak seimbang antara Palestina dan Israel. Pemihakan yang berlebihan terhadap Israel sangat mengecewakan mereka. Di Indonesia, tumbuhnya gerakan radikal dan milisi Islam juga dipicu oleh timbulnya konflik di Maluku dan Poso sejak awal tahun 1999. Melalui pemberitaan yang provokatif dan informasi beberapa korban yang mendapat kesempatan penggalangan solidaritas di berbagai masjid dan majelis taklim di Jawa dan Sulawesi Selatan – ‘bahwa Muslim terdesak oleh pasukan Kristen’ – maka secara spontan kelompok solidaritas ‘Jihad’. Terbentuknya pasukan jihad ini mendapat momentum dan sambutan meriah pada saat lemahnya posisi negara. Pemerintah dipandang gagal dalam melindungi masyarakat di daerah konflik, dan dampaknya terjadi penggalangan milisi keamanan sukarela.
Besarnya antusiasme pemuda Muslim terhadap lahirnya Laskar Jihad di Yogyakarta dan Laskar Mujahidin di Solo dan Jakarta, serta Laskar Jundullah di Sulawesi Selatan, juga didorong oleh krisis moneter berkepanjangan. Banyak pemuda penganggur akibat putus kerja yang mendaftar dalam milisi ini. Diantara mereka bahkan baru belajar Islam secara intensive ketika masuk dalam jaringan laskar ini. Mereka mencoba mencari pengalaman baru di Maluku dan Poso. Kini pasca konflik, terutama di kota-kota besar – antara lain Kota Ambon, Buru, Ternate, Poso- mereka berdagang dan bertani ditempat mereka yang baru, sambil melanjutkan dakwah dan penyebaran agama.

Menuju Perdamaian Regional: Reposisi Pesantren
Disamping peran pesantren dalam perdamaian ditingkat lokal dan nasional, komunitasnya juga merambah peran wilayah yang lebih luas. Dengan potensi SDM yang semakin kuat akibat kesempatan pendidikan pasca pesantren, mereka telah menjadi ’diplomat negara’ dalam mewujudkan cita-cita bangsa: mewujudkan kedamaian dunia. Mereka telah mendapat kepercayaan untuk membantu negara-negara tetangga untuk mengatasi konflik etnis dan agama, dan menyebarkan kesadaran kedamaian melalui dialog antar iman. Beberapa alumni pesantren yang menjadi kajian buku ini, telah berkiprah dalam intelektualisme di dunia global. Misalnya, alumni Pesantren Al Mukmin Ngruki juga telah merambah profesi lintas negara, sebagai jurnalis, akademisi dan sekaligus guru. Pesantren damai ditebarkan melalui peran-peran sejenis ini. Secara lebih dinamis, komunitas pesantren berbasis ormas Islam: Nahdlatul Ulama, mendapat peran sangat strategis untuk menjembatani masyarakat Muslim Patani dan pemerintah Thailand. Peran perdamaian di tingkat regional ini telah dilakukan komunitas NU sejak puluhan tahun, tidak hanya di Asia Tenggara, tetapi juga di Timur Tengah. Pertanyaan lebih spesifik adalah apakah peran damai komunitas pesantren telah menciptakan dan mewarnai komunitas Muslim di Asia Tenggara? Bagaimana peran mereka dalam jaringan ulama di Asia Tenggara dan Timur Tengah yang terjalin sejak beberapa abad lampau? Pertanyaan ini akan menggiring kita kedalam jejak historis bagaimana pembentukan komunitas Muslim di wilayah Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh kiprah pesantren, dan sangat berdampak terhadap perdamaian dan stabilitas di wilayah ini. Demikian juga komunitas pesantren yang aktif di ormas Islam Muhammadiyah. Selain memperkuat pendidikan dasar, menengah dan tinggi, ulama Muhammadiyah juga aktif menebarkan perdamaian melalui pembangunan kesadaran hubungan antar agama, dan dialog antar iman. Peran damai ini perlu dilacak dalam sejarah bagaimana wilayah ini berbeda dengan Muslim di Timur Tengah.
Asia Tenggara tempat berkembangnya peradaban Islam yang berbeda dengan Islam di Timur Tengah. Islam mengalami adaptasi dan akulturasi dengan agama dan tradisi lokal.  Muslim di Asia Tenggara memiliki karakter toleran, lembut dan budi luhur. Muslim di wilayah ini seringkali disebut ’Malay Muslim’. Mungkin karena mayoritas Muslim yang menyebar diberbagai negara di Asia Tenggara berbahasa Melayu. Ini sebabkan oleh kelahiran atau jaringan pendidikan. Sejak puluhan tahun, ratusan ulama dari Malaysia, Brunei dan Thailand pernah belajar di pesantren atau madrasah di Indonesia. Ulama Indonesia juga menyebarkan Islam di negara Asia Tenggara, antara lain Pesantren Lukmanul Hakim di Johor yang menghebohkan itu, didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Banyak ulama muda dari berbagai negara di Asia Tenggara belajar di pesantren ini. Meskipun akhirnya dibubarkan karena sebagian komunitas pesantren ini dianggap terlibat dalam Bom Bali, 12 Oktober 2002. Setidaknya, apabila dilihat dalam sejarah, banyak ulama besar Nusantara menyebarkan pengaruh ke berbagai wilayah di Asia Tenggara. Jaringan ulama Melayu ini menurut Azyumardi Azra (2003) telah eksis selama beberapa abad, tidak hanya menjembatani ilmu Islam Arab dan Islam Nusantara, tetapi juga menerjemahkan Islam dalam konteks masyarakat Melayu yang berbeda dengan masyarakat Arab.
Beberapa karakter penting Malay Muslim yaitu: pertama, ideologi pemikirannya Sunni (Ahlussunnah Wal Jamaah) yang menekankan stabilitas dan keramahan dengan warna ideologi lain. Dalam aspek politik Malay Muslim juga menebarkan aspek kompromistis dan harmony. Tiga negara Malay Muslim: Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam adalah par excellence dari politik masyarakat Muslim Melayu, yang mengutamakan kompromi, akomodatif dan mengedepankan komunalisme-kekompakan atau di Indonesia disebut gotong royong-kekeluargaan. Tradisi ini adalah produk dari adaptasi dan akulturasi agama Islam Arab dan agama-budaya lokal Asia Tenggara yang menghasilkan agama-tradisi baru: Muslim Melayu. Dua partai politik besar Muslim Melayu: UMNO dan Golkar mencerminkan sikap adaptasi ini. Akomodatif dalam beragama dan tetap menguasai politik ’persatuan’. Hal ini diperkuat dengan eksistensi pemimpin kedua partai dalam kekuasaan tertinggi pemerintahan masing-masing: Abdullah Badawi dan Yusuf Kalla.
Berbeda dengan Muslim di Thailand dan Filipina yang mengalami guncangan terus menerus. Dalam kondisi minoritas, mereka ’dipaksa’ untuk tunduk dalam tradisi mayoritas yang didominasi oleh tradisi dan politik non Muslim. Meskipun demikian kekuatan ’ulama melayu’ dikedua wilayah ini masih sangat diperhitungkan.  Karena itu, tidak heran ketika Ulama NU diundang oleh Perdana Menteri Thaksin dan Raja Thailand untuk menjembatani perpecahan (gap) antara pemerintah Thailand dan Muslim Patani, Ulama NU melakukan pendekatan Islam Melayu. Mereka berhasil menjembatani, dan membuat kemajuan untuk menyusun ulang Muslim Patani baru dalam payung Pemerintah dan Raja Thailand. Pasca pemerintahan Thaksin, perdana menteri Thailand yang baru pun mengajak Indonesia untuk membantu penyelesain krisis di Thailand Selatan, dan tentu saja Menlu Hassan Wirayuda mendorong KH Hasyim Muzadi untuk melanjutkan langkah-langkah yang pernah dirintis. Pendekatan Melayu dalam rekonsiliasi ini akan sangat strategis, tidak hanya menyatukan hubungan yang retak antara Muslim Patani dan Pemerintah Thailand, tetapi juga revitalisasi pendidikan Islam melayu yang mulai hilang akibat penetrasi tentara Thailand, dan semakin kuatnya pengaruh Wahabi dalam pengajaran dan pendidikan madrasah di Thailand Selatan. Hal yang sama, juga menjadi fenomena di Filipina-yang barangkali lebih sulit karena lebih jauh dari tradisi Melayu.
            Sedangkan Muslim Singapura tidak mengalami tekanan seperti di Thailand dan Filipina, meskipun sama-sama minoritas. Kemajuan ekonomi dan kokohnya pemerintahan Singapura memberi kesempatan yang luas bagi Muslim Singapura yang mayoritas Muslim Melayu untuk maju bersaing dengan etnis lain, khususnya China dan India. Tradisi melayu tetap hidup di Singapura, dan membentuk koloni –masyarakat Melayu Singapura- yang tumbuh nasionalisme dibawah Negara Singapura yang kaya. Banyak tokoh Muslim Singapura yang berhasil menjadi pengusaha, politisi dan intelektual ternama, mampu bersaing dengan etnis China yang dominan dan India. Muslim Melayu Singapura tidak hanya damai karena kemakmuran dan tingkat pendidikan yang merata, tetapi khususnya terjaganya tradisi Melayu dalam masyarakat.  Muslim Melayu Singapura menjaga toleransi dan perdamaian dengan dominasi masyarakat Chinese Singapura dan India.

Tantangan Baru
Tradisi damai dan komitmen dalam menjaga toleransi dan kerjasama Malay Muslim di Asia Tenggara dalam satu dekade terakhir mendapat tantangan kuat, akibat derasnya tradisi Wahabi dalam pendidikan Islam di Asia Tenggara, dan khususnya tekanan global atas klaim tumbuhnya gerakan terorisme di Asia Tenggara. Tulisan Sidney Jones tentang Jamaah Islamiah (JI), Rohan Gunaratna dalam Inside Alqaidah, dan terutama setelah terbitnya karya Nasir Abbas tentang JI  mengguncang ulama di Asia Tenggara, bagaimana bisa gerakan radikalisme dan terorisme bisa berkembang dalam alam Muslim Melayu? Seolah mereka ’kecolongan’ atas eksistensi gerakan ini. Ini menjadi tantangan baru, bagaimana tradisi Malay Muslim dilakukan revitalisasi dalam pendidikan, politik dan budaya agar bisa memenuhi tuntutan masyarakat baru Asia Tenggara, yang sedang survive dalam tekanan ekonomi global. Trauma krisis ekonomi belum pulih dalam kehidupan masyarakat, dan ini akan mudah dimasuki oleh tradisi baru yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Jihad yang dulu di pesantren dan madrasah memiliki makna luhur, menciptakan kedamaian dan kemajuan dalam masyarakat, kini mendapat nuansa dan interpretasi baru dengan kekerasan dan perang. Tantangan juga semakin berat dengan trend politisasi regulasi syari’at Islam, yang jauh dari nilai-nilai dan kebiasaan Muslim Melayu yang tidak suka atas formalisasi Islam. Muslim Melayu menyajikan Islam secara substantif dan kultral. Budaya hedonis politisi yang pragmatis ini akan menjadi bumerang bagi masa depan Muslim di Asia Tenggara dalam jangka panjang. Muslim Indonesia yang dulu dilihat damai dalam beribadah dan bermuamalah (termasuk bersiasah), kini dilihat oleh Muslim Malaysia dan Singapura sebagai saudara tua yang berubah dan nampak menegangkan (kalau tidak menakutkan). Semakin pudarnya tradisi Muslim Melayu dalam paruh kedua dekade terakhir membutuhkan daya juang dan pikir serius bagaimana upaya revitalisasi dan refleksi atas pengembangan pendidikan dan dakwah yang lebih humanis dan toleran. Kedamaian tradisi Malay Muslim harus dikembalikan, dengan kerjasama yang kuat antara Ulama dan Umara. Ini akan mencipkan wilayah yang damai dan makmur, gemah ripah loh jinawi, toto tentrem karta raharja, Baldatun Tayyibah Wa Rabbun Gafur.

Sabtu, 16 Juni 2012

Hiasan Mushaf MTQ Prov DKI Tahun 2012

Inilah Salah satu Hasil Karya Hiasan Mushaf  Pada MTQ Prov DKI Jakarta Tahun 2012
Sebagai seorang Khattat yang sudah beberapa kali mengikuti MTQ tingkat Nasional, Ana mempunyai banyak koleksi Hasil Lomba Kaligrafi .Koleksi poto tersebut hanya sebagai contoh aja ana masih banyak mempunyai koleksi poto-poto MKQ (Musabaqah Kaligrafi al-Qur'an) Sejak MTQ Tingkat Nasional di Jambi tahun 1997 sampai MTQ Nasional di Ambon Tahun 2012. Koleksi yang ana miliki berbentuk CD dan setiap CD berisi kurang lebih 100 photo untuk semua jenis lomba seperti Golongan Naskah, Hiasan Mushaf dan Dekorasi.
Harga per CD Rp. 90.000 + 10.000 (ongkos kirim)
Jumlah total : Rp 100.000
Bagi antum yang tertarik atau berminat memiliki Koleksi tersebut Silahkan Hubungi Ismail Kadir HP 085280461373

Minggu, 20 Mei 2012

Musik Bambu MTs Pesri Siap Unjuk Gigi

Tak sekadar potensi akademik siswa yang digenjot. Pihak MTs Pesri pun mendorong minat dan bakat siswa di bidang seni musik tradisional khususnya musik bambu. Siswa yang berminat diajarkan memainkan salah satu musik tardisional ini sebagai ekstrakurikuler sejak beberapa bulan lalu. Hasilnya, para siswa MTs Pesri ini pun dinyatakan siap menampilkan kemampuan mereka saat acara wisuda santri yang akan dilaksanakan bulan ini. "Untuk kesiapan mereka tampil sudah pasti. Dan saat ini mereka sedang latihan intensif karena akan tampil di acara wisuda santri Pesri," ujar Kepala MTs Pesri Kendari, Ismail Kadir M.Ag Musik bambu memang tengah gencar ditampilkan. Namun untuk di MTs Pesri musik tradisional ini sengaja dipilih agar kesenian tradisional musik bambu terpinggirkan karena tergerus oleh zaman. Dengan begitu. peserta didik yang hidup di dunia modern masih bisa menikmati dan mengenal musik bambu, bukan hanya marching band. "Jika sekolah-sekolah lain pada umumnya memiliki marching band, maka MTs Pesri punya grup musik bambu," imbuhnya. Tak tanggung-tanggung, untuk membina peserta didiknya, pihaknya mendatangkan langsung pelatih musik bambu dari Konsel. Karena memang di Kabupaten tersebut banyak sekolah yang membina peserta didiknya untuk mempelajari musik bambu. "Kami ingin kesenian tradisional ini tetap tumbuh. Karena inilah salah stau ikon yang kita miliki. Selian itu peserta didik juga banyak yang berminat, baik laki-laki maupun perempuan," pungkas Ismail. (m2) Sumber : http://www.kendarinews.com/news/index.php?option=com_content&task=view&id=27296&Itemid=126

Rabu, 11 April 2012

SEKITAR PERHAKIMAN DAN PEMBINAAN KALIGRAFI MUSABAQAH KHAT AL-QUR’AN (MKQ)

By Drs. H. Didin Sirojuddin AR, M.Ag
Musabaqah Khat Al-Qur’an (MKQ) adalah cabang Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang menekankan kepada kemahiran menulis dan/atau melukis ayat-ayat Al-Qur’an. MKQ yang bertujuan mendidik untuk melahirkan para khattat dan pelukis kaligrafi mahir dan profesional, memiliki peranan dan fungsi dalam kehidupan individu dan sosial pesertanya. Dalam fungsi-fungsi individual, MKQ berperan sebagai sarana komunikasi, sumber usaha, dan wahana ekspresi yang penuh nilai estetika. Sedangkan dalam fungsi-fungsi sosialnya MKQ membuka jalan dan mendorong semakin banyak digunakannya kaligrafi untuk segala kepentingan seperti dekorasi mesjid dan panggung-panggung atraksi, penulisan buku-buku pelajaran, mushaf Al-Qur’an, majalah, koran, dan sarana-sarana informasi tekstual dan visual seperti advertensi dan pameran. Kaligrafi juga difungsikan untuk medium-medium seni dan sarana peralihan kebudayaan dan peradaban.


Untuk pertamakalinya kaligrafi dikompetisikan dalam bentuk sayembara pada MTQ Nasional ke-12 tahun 1981 di Banda Aceh disusul kemudian MTQ Nasional ke-13 tahun 1983 di Padang. Materi lombanya adalah penulisan ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuk naskah hitam putih dengan tinta cina hitam. Dalam MTQ Nasional ke-14 tahun 1985 di Pontianak, kaligrafi tidak disayembarakan dan hanya didemonstrasikan di kain spanduk di muka umum. Kaligrafi barulah dilombakan secara langsung dengan diikuti utusan yang mewakili kafilah Propinsi pada MTQ Nasional ke-15 tahun 1988 di Bandar lampung dan MTQ Nasional ke-16 tahun 1991 di Yogyakarta untuk mengerjakan karya Penulisan Buku, Penulisan Dekorasi, dan Penulisan Hiasan Al-Qur’an tanpa membedakan kelas putra dan putri. Pada MTQ Nasional ke-17 tahun 1994 di Pekanbaru dan MTQ-MTQ Nasional selanjutnya, peserta MKQ diwakili oleh putra dan putri dari setiap Propinsi untuk masing-masing mengerjakan karya Golongan Naskah, Hiasan Mushaf, dan Dekorasi.

Dalam rentang waktu tersebut, telah terjadi perubahan dan kemajuan kualitas estetis karya peserta seiring modifikasi-modifikasi aturan musabaqah. Keadaan tersebut mendorong diperlukannya pembinaan perhakiman dan pelatihan peserta yang intensif dan terstruktur untuk pengembangan cabang MKQ terlebih pengembangan kaligrafi secara lebih khusus di seluruh wilayah Indonesia.

Penampilan dan Masalah Perhakiman

Beberapa karakter yang merupakan “plus-minus” cabang MKQ menonjol antara lain dalam beberapa hal berikut:
  1. Peralatan musabaqah yang rumit dan beragam terdiri dari aneka jenis kalam dan cat dengan aneka medianya seperti kertas dan triplek.
  2. Waktu pengerjaan yang panjang (6 sampai 8 jam)
  3. Hasil karya yang permanen sehingga dapat dilihat dan dinilai secara terbuka oleh semua pihak setiap saat.
Ciri-ciri ini merupakan modal untuk mengukur metode penilaian dan kapabilitas Dewan Hakim MKQ sehingga dapat memilih, memilah, dan memutuskan karya-karya unggulan secara cermat dan akurat. Dari tiga ciri di atas, ada empat tuntutan yang harus dipenuhi Dewan Hakim MKQ, yaitu:
  1. Mengenal baik peralatan musabaqah (dari ukuran dan potongan kalam hingga warna-warna primer dan tertier cat pilihan peserta) karena menentukan kualitas hasil karya.
  2. Menilai dengan cermat dan tidak terburu-buru dengan “menyisir” semua karya secara berulang untuk mengklasifikasi karya-karya terpilih dan tersisih.
  3. Sanggup menentukan secara tepat karya-karya unggulan berdasarkan pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisa, dan evaluasi, sehingga dapat menghindarkan kontroversi dan klaim dari semua pihak.
  4. Sanggup menerangkan alasan-alasan di balik pemilihan karya-karya unggulan dan menjelaskan kelebihan serta kekurangan setiap karya yang dinilainya.
Persyaratan tersebut diperlukan dan dapat dipenuhi hanya apabila Dewan Hakim MKQ benar-benar ahli di bidangnya dan/atau berpengalaman sebagai khattat dan seniman yang banyak mengikuti eksibisi lomba dan mengikuti perkembangan karya peserta di lapangan. Dengan demikian, kemahiran pokok yang harus dimiliki Dewan Hakim MKQ adalah:
  1. Menguasai gaya-gaya khat yang dilombakan (Naskhi, Sulus, Diwani, Diwani Jali, Farisi, Kufi, dan Riq’ah).
  2. Berwawasan luas dalam bidang seni rupa (teori warna, teori garis, unsur komposisi, unsur bentuk, ornamen, dan arabesk).
Peningkatan kualitas estetis Dewan Hakim ini sangat diperlukan, seiring dengan semakin meningkatnya kualitas karya peserta yang dapat dilihat dari hal-hal berikut:
  1. Peserta semakin menguasai huruf-huruf untuk aliran-aliran khat yang dilombakan.
  2. Ornamen yang digunakan pada Golongan Hiasan Mushaf dan Dekorasi rata-rata bagus, semakin variatif, dan kaya nuansa.
  3. Peserta semakin memahami aturan dan teknik musabaqah yang nampak baik dari ketepatan hasil karya dengan isyarat soal maupun pedoman musabaqah.
  4. Pendidikan rata-rata peserta meningkat dengan mayoritas mahasiswa, sehingga memperkaya wawasan dan gagasan yang dapat dilihat dalam karyanya yang semakin bermutu.
Tidak selalu peningkatan kualitas peserta ini diikuti oleh peningkatan kualitas Dewan Hakim yang kerapkali “kalah terampil” dibandingkan peserta. Jika peserta lebih maju, adalah karena ditunjang oleh keterlibatan mereka dalam lomba-lomba kaligrafi, latihan-latihan secara pribadi atau via sanggar, buku-buku kaligrafi yang semakin mudah diperoleh, aktifitas sehari-hari dalam berkarya di pelbagai media, dan tambah derasnya informasi seni rupa termasuk kaligrafi melalui pameran-pameran. Di sisi lain, umumnya Dewan Hakim MKQ semakin ketinggalan, karena -- berbeda dengan peserta yang gigih berlatih untuk lomba -- umumnya tidak sengaja memperdalam kaligrafi meskipun hanya untuk tujuan menambah bekal dalam perhakiman.

Untuk itu, Dewan Hakim MKQ harus memiliki ilmu yang memadai dan menguasai teknik tentang obyek yang dinilai, sehingga hasil penilaiannya obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan.

Teknik Penilaian
Berdasarkan Pedoman Perhakiman Cabang Khat Al-Qur’an, Dewan Hakim MKQ menilai dua sub pokok materi, yaitu huruf dan ornamen untuk tiga golongan musabaqah, yaitu:
  1. Golongan Naskah (penguasaan huruf)
  2. Golongan Hiasan Mushaf (penguasaan huruf dan ornamen)
  3. Golongan Dekorasi (penguasaan huruf dan ornamen).
Secara rinci, penilaian untuk tiga golongan musabaqah tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
Penilaian huruf diarahkan kepada:
  1. Bidang kebenaran kaedah mencakup: bentuk dan proporsi huruf, jarak spasi dan letak huruf, serta keserasian dan komposisi huruf untuk gaya-gaya khat Naskhi, Sulus, Diwani, Diwani Jali, Farisi, Kufi, dan Riq’ah yang dilombakan.
  • Bidang estetika atau keindahan khat mencakup: kekayaan imajinasi dalam mengolah, kebersihan, dan kehalusan.
  • Mencermati kecenderungan peserta yang memilih “mazhab guru” atau gaya-gaya yang disukainya (seperti gaya Hasyim Muhammad al-Baghdadi, Hamid al-Amidi, Muhammad Syauqi, Muhammad Izzat, Mustafa Gazlan Bek atau Mustafa Raqim untuk pola-pola goresan huruf yang menandakan perbedaan stil dan orientasi).
  1. Penilaian Ornamen atau hiasan diarahkan kepada:• Bidang keindahan hiasan mencakup: kekayaan imajinasi dan tatawarna, keserasian format, kebersihan, dan kehalusan.• Mencermati kecenderungan peserta yang memilih ragam hias Nusantara, arabesk, atau kombinasi warna yang beranekaragam yang menandakan wawasan rupa yang berbeda-beda.
Skor nilai untuk masing-masing golongan adalah sebagai berikut:
  1. Bobot nilai Golongan Naskah maksimal 100 (Kebenaran Kaedah Khat 60 dan Keindahan Khat 40).
  2. Bobot nilai Golongan Hiasan Mushaf dan Golongan Dekorasi masing-masing maksimal 100 (Kebenaran Kaedah Khat 35, Keindahan Khat 25, dan Keindahan Hiasan 40).
Berbeda dengan cara penilaian tilawah, tahfizh, syarhil, fahmil atau tafsir yang menggunakan sistem auditif melalui pendengaran yang diproses satu-persatu secara bergiliran, proses penilaian khat dapat dilakukan serentak dengan sistem fisual melalui penglihatan langsung dalam waktu tak terbatas dengan penyisiran yang berulang-ulang. Dengan demikian, asal Dewan Hakim menguasai teknik dan materi musabaqah, kekeliruan penilaian (seyogianya) tidak akan terjadi karena:
  1. Penilaian seluruh karya secara serentak memudahkan mengklasifikasi karya-karya unggulan dan karya-karya tersisih: dimulai pada babak penyisihan dengan memilih 10 besar, kemudian 6 besar, terakhir 3 besar. Pada babak final, urutan 1, 2, dan 3 ditentukan dengan keriteria dan cara penilaian yang sama.
  2. Karya-karya yang dipampang di satu lokasi lomba dapat dilihat secara jelas sehingga dapat diketahui yang bagus dan tidak bagus secara jernih.
  3. Lamanya waktu tak terbatas selama penilaian, memberi kesempatan mengulang atau mengevaluasi ulang penilaian, sehingga hasil akhir penilaian benar-benar obyektif dan akurat.
  4. Proses penilaian dengan waktu tak terbatas dan berulang-ulang yang menghasilkan angka-angka obyektif dan akurat ini menunjukkan tim penilai MKQ sangat bisa kualified, professional, dan proporsional.
Sungguhpun metode perhakiman MKQ sangat potensial untuk menghasilkan penilaian yang akurat, realisasinya di lapangan tidaklah selalu mudah karena terkait dengan “hakim ideal” yang ahli sekaligus jujur. Persyaratan “hakim ideal” tersebut tidak selalu mudah dikabulkan, terlebih bagi hakim-hakim daerah yang tidak terjangkau pembinaan atau informasi perkembangan kaligrafi yang cukup. Sementara masalah kejujuran acapkali samar karena tertutup kemutlakan dan kebebasan Dewan Hakim dalam menilai.

Mengingat banyaknya persoalan berkenaan dengan masalah kemampuan, banyak cara mengupgrade Dewan Hakim MKQ, baik secara terkordinasi oleh lembaga yang berkompeten sepeti LPTQ maupun dengan cara belajar mandiri. Beberapa hal berikut dapat dijadikan kunci untuk mencapai tujuan tersebut:
  1. Mengadakan kaderisasi Dewan Hakim MKQ melalui penataran-penataran atau pemberian tugas-tugas PR (seperti pembuatan karya-karya yang menggambarkan tugas MKQ) yang diperiksa oleh tim ahli tunjukan LPTQ.
  2. Pendalaman wawasan yang diusahakan oleh hakim sendiri dengan membaca sebanyak mungkin buku-buku kaligrafi dan merekonstruksi hasil karya peserta MKQ di arena musabaqah. Cara terakhir dapat dibuat melalui dokumentasi foto untuk diketahui desain, gaya, dan orientasinya masing-masing.
  3. Untuk memperdalam bahasa rupa dan iluminasi atau ornamen, cara yang tepat adalah dengan studi banding dan pengamatan atas karya-karya seni rupa atau lukisan di buku-buku atau katalog-katalog seni rupa, dekorasi di dinding-dinding masjid, ragam iluminasi mushaf Al-Qur’an, dan pameran-pameran seni rupa.
  4. Keterlibatan hakim (berdasarkan keahliannya di bidang kaligrafi) dalam pembinaan kader-kader daerah akan membantu meningkatkan pengetahuan dan keahliannya.
  5. Memperbanyak dialog dengan para khattat, pelukis, dan ahli seni dalam rangka konsensus menentukan suatu karya yang bagus, ideal, dan sesuai dengan norma-norma musabaqah.
Beberapa masalah tersebut dapat dijadikan bekal untuk “memahami lebih jauh” seni khat melalui perhakiman MTQ. Pengembangan lebih lanjut, sudah tentu, dapat diperoleh hanya melalui pengalaman panjang di lapangan.

Metode Pembinaan Kaligrafi

Kaligrafi yang dilombakan dalam MKQ memiliki tujuan-tujuan pengajaran, pendidikan, estetis, praktis, dan ekonomis. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diperlukan metode yang intensif dan terstruktur, sehingga pengembangannya menjangkau seluruh elemen yang mencakup pembentukan kader, rotasi kegiatan yang kontinyu, dan membuahkan hasil yang kongkrit.
Jangkauan pengembangan ini, jika disimpulkan, mencakup pembinaan “tiga pilar kaligrafi” sebagaimana dikatakan oleh Ali ibn Abi Thalib:

اَلخَطُّ مخْفِيٌّ فى تَعْلِيْمِ اْلأُسْتَاذِ، وَقِوَامُهُ فى كَثْرَةِ اْلمَشْقِ، وَدَوَامُهُ عَلى دِيْنِ الإِسْلاَمِ

“Kaligrafi itu tersirat dalam pengajaran guru, tegak profesionalnya tergantung banyak latihan, dan kekekalannya adalah pada pengamalan agama Islam.”

Ini berarti pembinaan harus diarahkan kepada tiga hal:
  1. Guru, pelatih, instruktur, official, atau juri kaligrafi yang mumpuni karena akan menentukan sukses tidaknya pembinaan.
  2. Latihan-latihan gencar dan intensif murid di bawah bimbingan gurunya.
  3. Menjamin tambah profesionalnya pembinaan dengan lahirnya hasil karya untuk pelbagai kepentingan agama seperti lukisan kaligrafi Al-Qur’an atau kegiatan MTQ.
Struktur pembinaannya harus melalui tiga jenjang:

1. Pembinaan Jangka PendekJangka waktunya 1 (satu) tahun dan diarahkan untuk menciptakan pelbagai aktivitas kaligrafi tahunan seperti pada MTQ Tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota, dan Propinsi dan lomba-lomba kaligrafi pada Peringatan Hari-hari Besar Islam dan Nasional.

Pembinaan untuk kepentingan jangka pendek ini dikelola oleh Pemda Tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan, dan Kabupaten/Kota dengan agenda pelatihan kader peserta, pelatih, dan dewan hakim kaligrafi Tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan, dan Kabupaten/Kota menjelang pelaksanaan kegiatan.

2. Pembinaan Jangka Menengah

Jangka waktunya 2 (dua) tahun dan difokuskan untuk meraih prestasi Nasional dan Internasional dalam pelbagai event lomba dan perhelatan akbar kaligrafi seperti MTQ Nasional, Pospenas, MTQ Mahasiswa Nasional, dan lomba-lomba kaligrafi berskala ASEAN di Brunei Darussalam dan Internasional di Turki. Kegiatan pembinaan jangka menengah ini dikelola oleh Pemda Tingkat Propinsi termasuk untuk kegiatan yang bersifat pendelegasian atas nama Pemerintah Pusat.
Konsentrasi pembinaan diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang mencakup:
  • Seleksi kader MTQ Nasional duta Propinsi melalui pemusatan latihan berjenjang.
  • Pelatihan para calon peserta Peraduan Menulis Khat ASEAN dan International Calligraphy Competition.
  • Seleksi dan pelatihan duta Pospenas dan MTQ Nasional Mahasiswa.
  • Mengadakan penataran official, pelatih, dan Dewan Hakim kaligrafi.
3. Pembinaan Jangka Panjang

Jangka waktunya 5 (lima) tahun dan merupakan pembinaan permanen yang dilaksanakan di seluruh institusi pendidikan dan latihan (diklat) yang berkompeten. Pengelola program ini adalah Pemda Tingkat Propinsi bekerjasama dengan lembaga-lembaga diklat professional.
Pusat-pusat pembinaan jangka panjang ini ialah:
  • Sekolah dan perguruan tinggi dengan memasukkan kaligrafi sebagai mata pelajaran muatan lokal (mulok) dan ekstra kurikula.
  • Sanggar-sanggar kaligrafi untuk dijadikan tempat latihan berkarya.
  • Masjid dan beberapa lembaga pendukungnya seperti DKM, BKPRMI, dan majlis ta’lim untuk rekrutmen peserta binaan.
Cakupan materi dan kegiatan pembinaan jangka panjang yang bersifat permanen ini bertujuan membentuk para kader khattat/kaligrafer professional yang akan mengisi aneka aktivitas kaligrafi di Tingkat Desa/Kelurahan sampai Tingkat Nasional dan Internasional, dan jadi modal kader pembinaan jangka pendek dan menengah.

Pembinaan jangka panjang yang diplot untuk “waktu seterusnya” merupakan “pembinaan semesta” yang mencakup seluruh aspek perkaligrafian yang dibutuhkan. Agendanya terdiri dari:

a). Kegiatan primer, mencakup pembelajaran kaligrafi di sekolah/perguruan tinggi dan latihan di sanggar kaligrafi. Materinya adalah:
  • Pendalaman huruf dan penguasaan seluruh aliran kaligrafi.
  • Penguasaan aneka teknik melukis dengan segala bahan.
  • Pengembangan skil untuk membuat karya-karya di pelbagai media (seperti kertas, kanvas, kaca, kayu, stucco, dan lain-lain).
b) Kegiatan sekunder, ditujukan untuk menopang dan mengembangkan hasil dan kemampuan yang diperoleh pada kegiatan primer. Aktivitas kegiatan sekunder terdiri dari:
  • Pameran atau pergelaran kaligrafi untuk melatih apresiasi khattat dan penonton, sekaligus sebagai ajang penjualan karya.
  • Lomba kaligrafi antar pelajar dan mahasiswa peserta pembinaan sebagai ajang peningkatan mutu karya dan latihan berkompetisi.
  • Forum diskusi seni untuk meningkatkan wawasan dan pemahaman seni, budaya, dan sejarah Islam agar peserta terdorong lebih kreatif berkarya.
  • Rekreasi seni dengan kegiatan melukis di alam terbuka seperti pantai atau gunung, demonstrasi kaligrafi di muka umum, dan kunjungan ke pameran dan tokoh kaligrafi.
  • Kewirausahaan dengan memasarkan karya hasil produksi peserta.
Ikhtitam

Begitu besarnya minat kaula muda terhadap kaligrafi, sehingga pembinaannya terasa amat mendesak. Potensi tersebut berimplikasi tidak hanya kepada perlunya pembinaan para pelajar muda tersebut, tetapi juga kepada para guru, pelatih, official, dan Dewan Hakim yang secara langsung terlibat di dalamnya.

Karena itu pembinaan tersebut harus menyeluruh dan sepanjang waktu meliputi semua aspeknya, dan pelaksanaannya tidak setengah-setengah atau hanya untuk kepentingan temporer seperti MTQ Nasional yang tidak datang setiap saat.

Jika pembinaan dilaksanakan serentak untuk jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang, maka akan lahir kader-kader yang tangguh sehingga mekanisme kegiatan kaligrafi apa pun akan mudah dilaksanakan dengan hasil sesuai harapan.
Insya Allah.

*Disampaikan pada acara Pelatihan Dewan Hakim Kaligrafi se-Provinsi Riau, 14-15 Desember 2007, di Pekanbaru