Seni menulis indah disebut Kaligrafi. Kata Kaligrafi berasal
dari bahasa Yunani ( Kallos : Indah, Grafhia : Tulisan ).
Kaligrafi adalah seni menulis indah dengan pena sebagai hiasan. Seni ini
diciptakan dan dikembangkan oleh kaum Muslimin Arab sejak kedatangan Islam.
Tulisan indah Arab sering disebut juga dengan istilah “ Khat “ . Ketika
khat arab ditampilkan dalam bentuk yang memiliki cira rasa seni dan keindahan,
maka khat tersebut disebut dengan seni kaligrafi
Berikut ini kami akan menampilkan beberapa kaligrafi yang mungkin
bermanfaat bagi andaKaligrafi Dekorasi
Selasa, 07 Mei 2013
Senin, 06 Mei 2013
Golongan Dekorasi MTQ Nasional Korpri di Makassar Tahun 2012
Sebagai seorang Khattat yang
sudah beberapa kali mengikuti MTQ tingkat Nasional, Ana mempunyai banyak
koleksi Hasil Lomba Kaligrafi .Koleksi poto tersebut hanya sebagai contoh aja
ana masih banyak mempunyai koleksi poto-poto MKQ ( Musabaqah Kaligrafi al-Qur'an
) Jenis Hiasan Mushaf, Naskah dan Dekorasi Sejak MTQ Tingkat Nasional di Jambi
tahun 1997 sampai MTQ Nasional di Ambon Tahun 2012.Bagi antum yang tertarik
atau berminat memiliki Koleksi tersebut Silahkan Hubungi Ismail Kadir HP
085280461373
Selasa, 26 Maret 2013
Rabu, 13 Maret 2013
PESANTREN DAN PERDAMAIAN REGIONAL
By
Badrus Sholeh* dan Abdul Mun’im DZ**
*Dosen Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional, UIN Jakarta, dan Peneliti Pusat Studi Perdamaian LP3ES
Jakarta.
**Direktur NU
Online, dan Peneliti Senior CESDA-LP3ES Jakarta.
Pesantren di
Indonesia berhasil melakukan adaptasi dengan perubahan lingkungannya. Kiprah
komunitasnya seiring dengan tuntutan zaman, sesuatu yang berbeda dengan sistem
pendidikan Islam di beberapa negara (madrasah di Pakistan, pondok di Malaysia).
Dinamika mereka ditopang dengan dukungan masyarakat dan pemerintah, yang peduli
terhadap perkembangan pesantren. Beberapa pengamat pesantren melihat sebagai
suksesnya pesantren dalam menghadapi tekanan luar, baik dari negara, masyarakat
maupun global. Karl Steenbrink dan Zamakhsyari Dlofier memandang dinamika
komunitas pesantren dipengaruhi beberapa aspek: sistem nilai pendidikannya yang
fleksibel, kuatnya hubungan elemen tradisi pesantren, dan kebebasan yang
diberikan oleh negara terhadap pertumbuhan lembaga pendidikan Islam. Dinamika
ini berlangsung sejak masa kolonial, dengan mulainya jaringan ulama melayu dan
Arab.
Fondasi
perubahan pesantren tidak hanya dipengaruhi oleh Kyai, santri, dan pesantren
(masjid) (Geertz, 1971) tetapi juga telah digerakkan oleh elemen eksternal:
media, politik dan masyarakat sipil.
Karena itu pesantren beradaptasi kedalam tuntutan sosial Indonesia,
dengan persoalan kompleks di level
nasional dan global. Masyarakat pesantren telah berkiprah dalam
stabilitas internasional, dan rekonsiliasi regional. Mereka telah terjun dalam
memediasi persoalan dan konflik antara masyarakat dan negara. Masyarakat
petani, nelayan, buruh dan bahkan pelaku industri menyerahkan peran komunitas
pesantren sebagai wadah dan media rekonsiliasi dengan pemerintah. Masyarakat
petani Situbondo mendapat perlindungan dari Pesantren Salafiah Syafi’iyah, yang
melakukan advokasi atas hak-hak dasar terhadap perusahaan perkebunan
pemerintah. Proses rekonsiliasi juga diambil alih oleh pesantren dalam konflik
komunal di Jawa, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan tempat lain di
Indonesia.
Kalau dicermati
secara historis, berdasarkan studi tentang sepuluh pesantren dalam lima wilayah
Indonesia, terdapat spektrum dinamika baru pesantren yang tidak hanya
didominasi oleh Pesantren mainstream yang
didirikan sejak abad 19 dengan karakter inklusif, akomodatif dengan tradisi
lokal dan terbuka dengan dialog-dialog antar iman, tetapi juga Pesantren jenis
baru yang memiliki kecenderungan berbeda dengan pesantren mainstream yang masih
mayoritas di Indonesia. Kecenderungan mereka radikal, eksklusif dan
non-akomodatif, bahkan lekat dengan gerakan kekerasan berlandaskan ideologi
agama. Peran aktif mereka dalam dukungan Jihad
ke Maluku dan Poso, baik melalui retorika dakwah maupun pengiriman
sukarelawan “pejuang” melawan Kristen Maluku dan Poso bertolak belakang dengan
ide, argumentasi dan gerakan pesantren mainstream. Guruta K.H. Ambo Dalle
(alm.), dilanjutkan dengan penerusnya K.H. Faried Wajedy, M.A., pengasuh DDI-AD
Mangkoso, Kab. Barru, Sulawesi Selatan menolak upaya pengiriman sukarelawan ke
Poso dan Maluku. Keduanya menekankan pentingnya aktualisasi doktrin bahwa Islam
mengayomi kedamaian alam semesta (Al-Islam
Rahmatan Lil Alamin). Ini juga menjadi dasar pemikiran bahwa pelaksanaan
Syari’at Islam yang sedang trend di Sulawesi Selatan senantiasa menghargai
tradisi dan agama lain. Argumentasi senada dilakukan oleh TGH Turmudzi, pengasuh Pesantren Bagu, NTT, yang telah
berupaya aktif menahan gelombang dukungan atas Tablig Akbar di Mataram, yang kemudian menimbulkan kerusuhan
Mataram pada 2000. Tablig ini
mengajak masyarakat Muslim Mataram untuk merespon terdesaknya Muslim Maluku
dalam kerusuhan 1999-2000. Tablig ini
juga dilakukan oleh jaringan pesantren non-mainstream di beberapa kota besar di
Indonesia. Di Tasikmalaya, Jawa Barat, mereka juga getol berdakwah untuk
penggalangan dana dan sukarelawan ke Maluku dan Poso. Tetapi mereka tidak
direspon positif oleh Muslim setempat. Mayoritas pesantren mainstream bersama
masyarakat Muslim tetap konsisten mengembangkan gerakan kultural. Dalam
penanggapi gagasan pelaksanaan syari’at Islam misalnya, para Kyai dan komunitas
pesantren melakukan gerakan Gerbang
Marhamah. Gerakan ini secara tegas berhadapan dengan gerakan destruktif Gerbang Malhamah. Gerakan ini juga
dilakukan di Situbondo, dengan keterlibatan komunitas pesantren Salafiah
Syafi’iyah Sukorejo, Kab. Situbondo dalam pendampingan masyarakat petani.
Kebijakan kultural dan konstruktif jaringan komunitas pesantren mainstream ini
sayangnya tidak didukung secara merata dengan pesantren-pesantren lainnya.
Komitmen mereka dalam mengembangkan nilai-nilai dan kehidupan pluralisme baik
dikalangan pesantren maupun dengan masyarakat sekitar yang berbeda etnis dan
agama perlu diperkuat dan diperluas baik frekuensi maupun substansinya.
Kalau
disimpulkan, studi ini terbagi kedalam beberapa pokok pikiran sebagai berikut. Pertama, terjadi proses dialogis antara
komunitas pesantren dengan tradisi lokal. Islam Indonesia merupakan manifestasi
akhir dari akulturasi antara tradisi Islam Arab dengan tradisi lokal. Tetapi
proses evolutif ini mendapat tantangan dari fenomena tumbuhnya pesantren baru
yang cenderung eksklusif, menolak dialogis antara Islam dan tradisi lokal. Kedua, komunitas pesantren juga memiliki
peran aktif dalam membendung derasnya kerusuhan dan konflik yang terjadi sejak
paruh akhir Orde Baru. Elit pesantren melakukan upaya preventif dan
rekonsiliasi antar komunitas berbeda etnis dan agama di Situbondo, Tasikmalaya
dan Mataram. Mereka juga membendung emosi Muslim ketika berkembang retorika
yang mengajak Jihad melawan Kristen
Maluku dan Poso. Upaya damai ini seringkali dimentahkan oleh kebijakan
kontraproduktif keamanan nasional dan sekelompok elit politik yang memiliki
interest tersendiri atas kerusuhan dan konflik ini. Disamping semakin
menguatnya pertumbuhan pesantren baru radikal yang mengedepankan pendekatan
kekerasan, dari pada upaya damai, dialogis dan rekonsiliatif. Ketiga, jaringan komunitas pesantren
juga telah mengembangkan gerakan penyetaraan peran laki-laki dan perempuan
melalui pelembagaan gerakan masyarakat sipil. Lembaga non pemerintah (ornop)
ini menjamur, dan dipelopori oleh para alumni pesantren. Dalam observasi dan
interview di beberapa pesantren, diakui oleh para elit dan komunitas pesantren
bahwa keterbukaan dan kesadaran penyetaraan peran tidak dibarengi dengan
keseimbangan potensi SDM. Walaupun demikian, tradisi pemisahan pesantren
perempuan dan laki-laki yang selama berabad-abad terjadi di pesantren memberi
peluang bagi para santri putri dan asatizah
(guru-guru perempuan) untuk bersaing setara dengan santri putra. Tetapi
mereka mendapat tantangan atas tekanan budaya patriarkal yang mengakar tidak
hanya di pesantren, tetapi juga di banyak komunitas berbagai etnis di Indonesia.
Terakhir, komunitas pesantren juga
menjadi basis gerakan pluralisme, keberagaman etnis dan agama. Di masing-masing
pesantren, para kyai memainkan peran berbeda-beda dalam mengusung gerakan
pluralisme ini. K.H. Mahfuz, pengasuh pesantren Edi Mancoro Salatiga misalnya
telah lebih dari satu dekade mempelopori kesadaran hidup bersama dalam
perbedaan teologis. Gerakan ini dilakukan bersama dengan para tokoh non Muslim
di Salatiga. Kuatnya dukungan intelektual Muslim dan Kristen dalam gerakan ini
menciptakan kesinambungan dan kontinuitas. Kesadaran yang sama dilakukan oleh
para elit pesantren DDI Mangkoso, Sulawesi Selatan dan pesantren Bagu, NTT.
Keempat pola potensi jaringan komunitas pesantren ini akan menjadi modal sosial
untuk membangun kehidupan masyarakat Indonesia lebih dinamis dalam kesadaran
multikulturalisme.
Pola tradisi,
sikap dan gerakan jaringan komunitas ini mendapat tantangan serius dari tekanan
kekerasan dan radikalisme gerakan yang dilakukan oleh milisi-milisi laskar sejak terjadinya kerusuhan antar
komunitas berbeda agama pasca runtuhnya Orde Baru. Euforia kebebasan ekspresi
dalam periode Reformasi memberi kesempatan bagi kelompok-kelompok militan ini
untuk berkampanye (baik lewat gerakan jalanan maupun mimbar-mimbar agama) dan
memobilisasi gerakan. Mereka tidak terkontrol akibat tiadanya instrumen legal
yang mengatur gerakan masif, khususnya berbasis ideologi agama. Kontradiksi
hukum ini diperparah dengan runtuhnya bangunan organisasi dan jaringan gerakan
reformasi, dan ketidakmampuan negara dalam membendung derasnya perilaku korup
dan disparitas sumberdaya legislatif. Peristiwa yang menimbulkan terpecahnya
sikap dan gerakan ini adalah munculnya serangan terorisme pada 2001, yang
menyudutkan komunitas Muslim.
Peristiwa 9/11
mengarahkan perhatian dunia terhadap masyarakat Muslim. Imej, brand, dan cap atas kekerasan ini
ditujukan kepada jaringan Jamaah Islamiah
(JI) yang dianggap bertanggungjawab atas peristiwa ini. Kemudian lebih
spesifik Muslim Indonesia setelah Bom Bali, Oktober 2002, bom BEJ Jakarta, bom
Makassar, bom Kuningan dan bom-bom lainnya. Peristiwa ini mempertanyakan ulang
peran lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia: Pesantren. Fakta
membuktikan bahwa banyak alumni pesantren yang terlibat aktif dalam gerakan kekerasan ini. Tetapi berdasarkan
riset lapangan selama dua bulan termasuk dibeberapa pesantren yang diduga aktif
dalam gerakan ini bahwa sikap militansi kekerasan oleh orang-orang yang notabene disebut teroris tidak
disebabkan dari sistem pengajaran dan pendidikan pesantren. Mereka sangat kuat
dipengaruhi oleh pengalaman setelah selesai pendidikan di pesantren, baik di
Malaysia, Afghanistan maupun tempat dan kegiatan lain. Mereka juga mendapat
inspirasi dan kekuatan gerakan dari jaringan yang dibangun berdasarkan ikatan organisasi
dan gerakan tertentu. Diantaranya adalah ikatan jaringan veteran Afghanistan.
Pertukaran ide, gagasan dan pengalaman baru mereka di Malaysia, Afghanistan dan
bahkan di Mindanao, Filipina Selatan menciptakan tradisi baru Islam yang
cenderung pro-kekerasan. Generalisasi atas perubahan komunitas pesantren yang
dianggap lebih radikal sempat mencuat akibat terjadinya kekerasan-kekerasan
ini. Padahal, secara kualitatif dan kuantitatif mereka adalah kelompok
minoritas yang diuntungkan oleh keadaan nasional yang tidak stabil secara
politis dan ekonomis. Tentu saja, mayoritas Pesantren tetap mengedepankan
pendekatan evolutif dan damai. Mereka telah berperan dalam menjaga kehidupan
multikultural sejak awal pendiriannya dan aktif dalam proses-proses rekonsiliasi
dan dialog dalam periode konflik dan kerusuhan. Tetapi dibutuhkan
langkah-langkah strategis untuk menopang peran-peran mayoritas pesantren ini.
Melihat
fenomena dinamika perubahan pesantren baik karena pengaruh jaringan maupun
tekanan nasional dan global, diperlukan langkah-langkah strategis. Pertama,
kebijakan makro nasional, regional dan global. Perlunya rekonstruksi instrumen
hukum yang adil, fair dan transparan atas tindakan kekerasan, khususnya
menyangkut kelompok masif agama. Tekanan global atas gerakan kekerasan yang
dilakukan oleh sekelompok jaringan Muslim hendaknya tidak menyudutkan
masyarakat Muslim secara luas. Tentu saja, dibutuhkan upaya kerjasama secara
langsung antara lembaga-lembaga pendidikan Islam dengan lembaga internasional.
Kedua, perlunya pendidikan alternatif bagi pelajar-pelajar dan komunitas
pesantren dalam mengembangkan nilai-nilai pluralitas. Dan ketiga, penguatan
terhadap kualitas kurikulum dan sistim pendidikan sangat dibutuhkan oleh
pesantren, yang dalam jangka panjang akan meredam pengaruh negatif bangkitnya
gerakan-gerakan militan Islam.
Perlu
diperhatikan bahwa radikalisme tidak tumbuh karena pendidikan di pesantren atau
karena eksistensi alumni Timur Tengah. Pendidikan Islam, seliteral apapun tidak
akan mempengaruhi orang untuk menjadi radikal atau terlibat dalam jaringan
kelompok Islam militan, apalagi ikut dalam pemboman atas nama Islam. Sejak abad
15, jaringan Ulama Nusantara dan Timur Tengah melahirkan ulama, aktifis sosial
dan intelektual. Dan tidak ada yang terlibat dalam gerakan Islam radikal,
hingga abad 20. Mereka yang terlibat lebih banyak dipengaruhi pengalaman
politik atau kekecewaan terhadap kinerja ormas Islam. Mereka sebagian juga
terinspirasi oleh kebijakan Amerika Serikat dan sebagian negara Barat yang memiliki
pola kebijakan yang mereka klaim merugikan umat Islam. Antara lain kebijakan
yang tidak seimbang antara Palestina dan Israel. Pemihakan yang berlebihan
terhadap Israel sangat mengecewakan mereka. Di Indonesia, tumbuhnya gerakan
radikal dan milisi Islam juga dipicu oleh timbulnya konflik di Maluku dan Poso
sejak awal tahun 1999. Melalui pemberitaan yang provokatif dan informasi
beberapa korban yang mendapat kesempatan penggalangan solidaritas di berbagai
masjid dan majelis taklim di Jawa dan Sulawesi Selatan – ‘bahwa Muslim terdesak
oleh pasukan Kristen’ – maka secara spontan kelompok solidaritas ‘Jihad’.
Terbentuknya pasukan jihad ini mendapat momentum dan sambutan meriah pada saat
lemahnya posisi negara. Pemerintah dipandang gagal dalam melindungi masyarakat
di daerah konflik, dan dampaknya terjadi penggalangan milisi keamanan sukarela.
Besarnya
antusiasme pemuda Muslim terhadap lahirnya Laskar Jihad di Yogyakarta dan
Laskar Mujahidin di Solo dan Jakarta, serta Laskar Jundullah di Sulawesi
Selatan, juga didorong oleh krisis moneter berkepanjangan. Banyak pemuda
penganggur akibat putus kerja yang mendaftar dalam milisi ini. Diantara mereka
bahkan baru belajar Islam secara intensive ketika masuk dalam jaringan laskar
ini. Mereka mencoba mencari pengalaman baru di Maluku dan Poso. Kini pasca
konflik, terutama di kota-kota besar – antara lain Kota Ambon, Buru, Ternate,
Poso- mereka berdagang dan bertani ditempat mereka yang baru, sambil
melanjutkan dakwah dan penyebaran agama.
Menuju
Perdamaian Regional: Reposisi Pesantren
Disamping peran
pesantren dalam perdamaian ditingkat lokal dan nasional, komunitasnya juga
merambah peran wilayah yang lebih luas. Dengan potensi SDM yang semakin kuat
akibat kesempatan pendidikan pasca pesantren, mereka telah menjadi ’diplomat
negara’ dalam mewujudkan cita-cita bangsa: mewujudkan kedamaian dunia. Mereka
telah mendapat kepercayaan untuk membantu negara-negara tetangga untuk
mengatasi konflik etnis dan agama, dan menyebarkan kesadaran kedamaian melalui
dialog antar iman. Beberapa alumni pesantren yang menjadi kajian buku ini,
telah berkiprah dalam intelektualisme di dunia global. Misalnya, alumni
Pesantren Al Mukmin Ngruki juga telah merambah profesi lintas negara, sebagai
jurnalis, akademisi dan sekaligus guru. Pesantren damai ditebarkan melalui
peran-peran sejenis ini. Secara lebih dinamis, komunitas pesantren berbasis
ormas Islam: Nahdlatul Ulama, mendapat peran sangat strategis untuk
menjembatani masyarakat Muslim Patani dan pemerintah Thailand. Peran perdamaian
di tingkat regional ini telah dilakukan komunitas NU sejak puluhan tahun, tidak
hanya di Asia Tenggara, tetapi juga di Timur Tengah. Pertanyaan lebih spesifik
adalah apakah peran damai komunitas pesantren telah menciptakan dan mewarnai
komunitas Muslim di Asia Tenggara? Bagaimana peran mereka dalam jaringan ulama
di Asia Tenggara dan Timur Tengah yang terjalin sejak beberapa abad lampau?
Pertanyaan ini akan menggiring kita kedalam jejak historis bagaimana
pembentukan komunitas Muslim di wilayah Asia Tenggara sangat dipengaruhi oleh
kiprah pesantren, dan sangat berdampak terhadap perdamaian dan stabilitas di
wilayah ini. Demikian juga komunitas pesantren yang aktif di ormas
Islam Muhammadiyah. Selain memperkuat pendidikan dasar, menengah dan tinggi,
ulama Muhammadiyah juga aktif menebarkan perdamaian melalui pembangunan
kesadaran hubungan antar agama, dan dialog antar iman. Peran damai ini perlu
dilacak dalam sejarah bagaimana wilayah ini berbeda dengan Muslim di Timur
Tengah.
Asia Tenggara
tempat berkembangnya peradaban Islam yang berbeda dengan Islam di Timur Tengah.
Islam mengalami adaptasi dan akulturasi dengan agama dan tradisi lokal. Muslim di Asia Tenggara memiliki karakter
toleran, lembut dan budi luhur. Muslim di wilayah ini seringkali disebut ’Malay Muslim’. Mungkin karena mayoritas
Muslim yang menyebar diberbagai negara di Asia Tenggara berbahasa Melayu. Ini
sebabkan oleh kelahiran atau jaringan pendidikan. Sejak puluhan tahun, ratusan
ulama dari Malaysia, Brunei dan Thailand pernah belajar di pesantren atau
madrasah di Indonesia. Ulama Indonesia juga menyebarkan Islam di negara Asia
Tenggara, antara lain Pesantren Lukmanul Hakim di Johor yang menghebohkan itu,
didirikan oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Banyak ulama muda dari
berbagai negara di Asia Tenggara belajar di pesantren ini. Meskipun akhirnya
dibubarkan karena sebagian komunitas pesantren ini dianggap terlibat dalam Bom
Bali, 12 Oktober 2002. Setidaknya, apabila dilihat dalam sejarah, banyak ulama
besar Nusantara menyebarkan pengaruh ke berbagai wilayah di Asia Tenggara.
Jaringan ulama Melayu ini menurut Azyumardi Azra (2003) telah eksis selama
beberapa abad, tidak hanya menjembatani ilmu Islam Arab dan Islam Nusantara,
tetapi juga menerjemahkan Islam dalam konteks masyarakat Melayu yang berbeda
dengan masyarakat Arab.
Beberapa
karakter penting Malay Muslim yaitu: pertama,
ideologi pemikirannya Sunni (Ahlussunnah Wal Jamaah) yang menekankan
stabilitas dan keramahan dengan warna ideologi lain. Dalam aspek politik Malay
Muslim juga menebarkan aspek kompromistis dan harmony. Tiga negara Malay
Muslim: Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam adalah par excellence dari politik masyarakat Muslim Melayu, yang
mengutamakan kompromi, akomodatif dan mengedepankan komunalisme-kekompakan atau
di Indonesia disebut gotong royong-kekeluargaan. Tradisi ini adalah produk dari
adaptasi dan akulturasi agama Islam Arab dan agama-budaya lokal Asia Tenggara
yang menghasilkan agama-tradisi baru: Muslim Melayu. Dua partai politik besar
Muslim Melayu: UMNO dan Golkar mencerminkan sikap adaptasi ini. Akomodatif
dalam beragama dan tetap menguasai politik ’persatuan’. Hal ini diperkuat
dengan eksistensi pemimpin kedua partai dalam kekuasaan tertinggi pemerintahan
masing-masing: Abdullah Badawi dan Yusuf Kalla.
Berbeda dengan
Muslim di Thailand dan Filipina yang mengalami guncangan terus menerus. Dalam
kondisi minoritas, mereka ’dipaksa’ untuk tunduk dalam tradisi mayoritas yang
didominasi oleh tradisi dan politik non Muslim. Meskipun demikian kekuatan
’ulama melayu’ dikedua wilayah ini masih sangat diperhitungkan. Karena itu, tidak heran ketika Ulama NU
diundang oleh Perdana Menteri Thaksin dan Raja Thailand untuk menjembatani
perpecahan (gap) antara pemerintah
Thailand dan Muslim Patani, Ulama NU melakukan pendekatan Islam Melayu. Mereka
berhasil menjembatani, dan membuat kemajuan untuk menyusun ulang Muslim Patani
baru dalam payung Pemerintah dan Raja Thailand. Pasca pemerintahan Thaksin,
perdana menteri Thailand yang baru pun mengajak Indonesia untuk membantu penyelesain
krisis di Thailand Selatan, dan tentu saja Menlu Hassan Wirayuda mendorong KH
Hasyim Muzadi untuk melanjutkan langkah-langkah yang pernah dirintis.
Pendekatan Melayu dalam rekonsiliasi ini akan sangat strategis, tidak hanya
menyatukan hubungan yang retak antara Muslim Patani dan Pemerintah Thailand,
tetapi juga revitalisasi pendidikan Islam melayu yang mulai hilang akibat
penetrasi tentara Thailand, dan semakin kuatnya pengaruh Wahabi dalam
pengajaran dan pendidikan madrasah di Thailand Selatan. Hal yang sama, juga
menjadi fenomena di Filipina-yang barangkali lebih sulit karena lebih jauh dari
tradisi Melayu.
Sedangkan
Muslim Singapura tidak mengalami tekanan seperti di Thailand dan Filipina,
meskipun sama-sama minoritas. Kemajuan ekonomi dan kokohnya pemerintahan
Singapura memberi kesempatan yang luas bagi Muslim Singapura yang mayoritas
Muslim Melayu untuk maju bersaing dengan etnis lain, khususnya China dan India.
Tradisi melayu tetap hidup di Singapura, dan membentuk koloni –masyarakat
Melayu Singapura- yang tumbuh nasionalisme dibawah Negara Singapura yang kaya.
Banyak tokoh Muslim Singapura yang berhasil menjadi pengusaha, politisi dan
intelektual ternama, mampu bersaing dengan etnis China yang dominan dan India.
Muslim Melayu Singapura tidak hanya damai karena kemakmuran dan tingkat
pendidikan yang merata, tetapi khususnya terjaganya tradisi Melayu dalam
masyarakat. Muslim Melayu Singapura
menjaga toleransi dan perdamaian dengan dominasi masyarakat Chinese Singapura
dan India.
Tantangan Baru
Tradisi
damai dan komitmen dalam menjaga toleransi dan kerjasama Malay Muslim di Asia
Tenggara dalam satu dekade terakhir mendapat tantangan kuat, akibat derasnya
tradisi Wahabi dalam pendidikan Islam di Asia Tenggara, dan khususnya tekanan
global atas klaim tumbuhnya gerakan terorisme di Asia Tenggara. Tulisan Sidney
Jones tentang Jamaah Islamiah (JI), Rohan Gunaratna dalam Inside Alqaidah, dan terutama setelah terbitnya karya Nasir Abbas
tentang JI mengguncang ulama di Asia
Tenggara, bagaimana bisa gerakan radikalisme dan terorisme bisa berkembang
dalam alam Muslim Melayu? Seolah mereka ’kecolongan’ atas eksistensi gerakan
ini. Ini menjadi tantangan baru, bagaimana tradisi Malay Muslim dilakukan
revitalisasi dalam pendidikan, politik dan budaya agar bisa memenuhi tuntutan
masyarakat baru Asia Tenggara, yang sedang survive
dalam tekanan ekonomi global. Trauma krisis ekonomi belum pulih dalam
kehidupan masyarakat, dan ini akan mudah dimasuki oleh tradisi baru yang
menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Jihad
yang dulu di pesantren dan madrasah memiliki makna luhur, menciptakan
kedamaian dan kemajuan dalam masyarakat, kini mendapat nuansa dan interpretasi
baru dengan kekerasan dan perang. Tantangan juga semakin berat dengan trend
politisasi regulasi syari’at Islam, yang jauh dari nilai-nilai dan kebiasaan
Muslim Melayu yang tidak suka atas formalisasi Islam. Muslim Melayu menyajikan
Islam secara substantif dan kultral. Budaya hedonis politisi yang pragmatis ini
akan menjadi bumerang bagi masa depan Muslim di Asia Tenggara dalam jangka
panjang. Muslim Indonesia yang dulu dilihat damai dalam beribadah dan
bermuamalah (termasuk bersiasah), kini dilihat oleh Muslim Malaysia dan
Singapura sebagai saudara tua yang berubah dan nampak menegangkan (kalau tidak
menakutkan). Semakin pudarnya tradisi Muslim Melayu dalam paruh kedua dekade
terakhir membutuhkan daya juang dan pikir serius bagaimana upaya revitalisasi
dan refleksi atas pengembangan pendidikan dan dakwah yang lebih humanis dan
toleran. Kedamaian tradisi Malay Muslim harus dikembalikan, dengan kerjasama
yang kuat antara Ulama dan Umara. Ini akan mencipkan wilayah yang damai dan
makmur, gemah ripah loh jinawi, toto
tentrem karta raharja, Baldatun
Tayyibah Wa Rabbun Gafur.
Sabtu, 16 Juni 2012
Hiasan Mushaf MTQ Prov DKI Tahun 2012

Harga per CD Rp. 90.000 + 10.000 (ongkos kirim)
Jumlah total : Rp 100.000
Bagi antum yang tertarik atau berminat memiliki Koleksi tersebut Silahkan Hubungi Ismail Kadir HP 085280461373
Minggu, 20 Mei 2012
Musik Bambu MTs Pesri Siap Unjuk Gigi
Tak sekadar potensi akademik siswa yang digenjot. Pihak MTs Pesri pun mendorong minat dan bakat siswa di bidang seni musik tradisional khususnya musik bambu. Siswa yang berminat diajarkan memainkan salah satu musik tardisional ini sebagai ekstrakurikuler sejak beberapa bulan lalu. Hasilnya, para siswa MTs Pesri ini pun dinyatakan siap menampilkan kemampuan mereka saat acara wisuda santri yang akan dilaksanakan bulan ini.
"Untuk kesiapan mereka tampil sudah pasti. Dan saat ini mereka sedang latihan intensif karena akan tampil di acara wisuda santri Pesri," ujar Kepala MTs Pesri Kendari, Ismail Kadir M.Ag
Musik bambu memang tengah gencar ditampilkan. Namun untuk di MTs Pesri musik tradisional ini sengaja dipilih agar kesenian tradisional musik bambu terpinggirkan karena tergerus oleh zaman. Dengan begitu. peserta didik yang hidup di dunia modern masih bisa menikmati dan mengenal musik bambu, bukan hanya marching band.
"Jika sekolah-sekolah lain pada umumnya memiliki marching band, maka MTs Pesri punya grup musik bambu," imbuhnya.
Tak tanggung-tanggung, untuk membina peserta didiknya, pihaknya mendatangkan langsung pelatih musik bambu dari Konsel. Karena memang di Kabupaten tersebut banyak sekolah yang membina peserta didiknya untuk mempelajari musik bambu.
"Kami ingin kesenian tradisional ini tetap tumbuh. Karena inilah salah stau ikon yang kita miliki. Selian itu peserta didik juga banyak yang berminat, baik laki-laki maupun perempuan," pungkas Ismail. (m2)
Sumber : http://www.kendarinews.com/news/index.php?option=com_content&task=view&id=27296&Itemid=126
Rabu, 11 April 2012
SEKITAR PERHAKIMAN DAN PEMBINAAN KALIGRAFI MUSABAQAH KHAT AL-QUR’AN (MKQ)
By Drs. H. Didin Sirojuddin AR, M.Ag
Musabaqah Khat Al-Qur’an (MKQ) adalah cabang Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang menekankan kepada kemahiran menulis dan/atau melukis ayat-ayat Al-Qur’an. MKQ yang bertujuan mendidik untuk melahirkan para khattat dan pelukis kaligrafi mahir dan profesional, memiliki peranan dan fungsi dalam kehidupan individu dan sosial pesertanya. Dalam fungsi-fungsi individual, MKQ berperan sebagai sarana komunikasi, sumber usaha, dan wahana ekspresi yang penuh nilai estetika. Sedangkan dalam fungsi-fungsi sosialnya MKQ membuka jalan dan mendorong semakin banyak digunakannya kaligrafi untuk segala kepentingan seperti dekorasi mesjid dan panggung-panggung atraksi, penulisan buku-buku pelajaran, mushaf Al-Qur’an, majalah, koran, dan sarana-sarana informasi tekstual dan visual seperti advertensi dan pameran. Kaligrafi juga difungsikan untuk medium-medium seni dan sarana peralihan kebudayaan dan peradaban.
Musabaqah Khat Al-Qur’an (MKQ) adalah cabang Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) yang menekankan kepada kemahiran menulis dan/atau melukis ayat-ayat Al-Qur’an. MKQ yang bertujuan mendidik untuk melahirkan para khattat dan pelukis kaligrafi mahir dan profesional, memiliki peranan dan fungsi dalam kehidupan individu dan sosial pesertanya. Dalam fungsi-fungsi individual, MKQ berperan sebagai sarana komunikasi, sumber usaha, dan wahana ekspresi yang penuh nilai estetika. Sedangkan dalam fungsi-fungsi sosialnya MKQ membuka jalan dan mendorong semakin banyak digunakannya kaligrafi untuk segala kepentingan seperti dekorasi mesjid dan panggung-panggung atraksi, penulisan buku-buku pelajaran, mushaf Al-Qur’an, majalah, koran, dan sarana-sarana informasi tekstual dan visual seperti advertensi dan pameran. Kaligrafi juga difungsikan untuk medium-medium seni dan sarana peralihan kebudayaan dan peradaban.
Untuk pertamakalinya kaligrafi dikompetisikan dalam bentuk sayembara pada MTQ Nasional ke-12 tahun 1981 di Banda Aceh disusul kemudian MTQ Nasional ke-13 tahun 1983 di Padang. Materi lombanya adalah penulisan ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuk naskah hitam putih dengan tinta cina hitam. Dalam MTQ Nasional ke-14 tahun 1985 di Pontianak, kaligrafi tidak disayembarakan dan hanya didemonstrasikan di kain spanduk di muka umum. Kaligrafi barulah dilombakan secara langsung dengan diikuti utusan yang mewakili kafilah Propinsi pada MTQ Nasional ke-15 tahun 1988 di Bandar lampung dan MTQ Nasional ke-16 tahun 1991 di Yogyakarta untuk mengerjakan karya Penulisan Buku, Penulisan Dekorasi, dan Penulisan Hiasan Al-Qur’an tanpa membedakan kelas putra dan putri. Pada MTQ Nasional ke-17 tahun 1994 di Pekanbaru dan MTQ-MTQ Nasional selanjutnya, peserta MKQ diwakili oleh putra dan putri dari setiap Propinsi untuk masing-masing mengerjakan karya Golongan Naskah, Hiasan Mushaf, dan Dekorasi.
Dalam rentang waktu tersebut, telah terjadi perubahan dan kemajuan kualitas estetis karya peserta seiring modifikasi-modifikasi aturan musabaqah. Keadaan tersebut mendorong diperlukannya pembinaan perhakiman dan pelatihan peserta yang intensif dan terstruktur untuk pengembangan cabang MKQ terlebih pengembangan kaligrafi secara lebih khusus di seluruh wilayah Indonesia.
Penampilan dan Masalah Perhakiman
Beberapa karakter yang merupakan “plus-minus” cabang MKQ menonjol antara lain dalam beberapa hal berikut:
Untuk itu, Dewan Hakim MKQ harus memiliki ilmu yang memadai dan menguasai teknik tentang obyek yang dinilai, sehingga hasil penilaiannya obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Teknik Penilaian
Berdasarkan Pedoman Perhakiman Cabang Khat Al-Qur’an, Dewan Hakim MKQ menilai dua sub pokok materi, yaitu huruf dan ornamen untuk tiga golongan musabaqah, yaitu:
Penilaian huruf diarahkan kepada:
Mengingat banyaknya persoalan berkenaan dengan masalah kemampuan, banyak cara mengupgrade Dewan Hakim MKQ, baik secara terkordinasi oleh lembaga yang berkompeten sepeti LPTQ maupun dengan cara belajar mandiri. Beberapa hal berikut dapat dijadikan kunci untuk mencapai tujuan tersebut:
Metode Pembinaan Kaligrafi
Kaligrafi yang dilombakan dalam MKQ memiliki tujuan-tujuan pengajaran, pendidikan, estetis, praktis, dan ekonomis. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diperlukan metode yang intensif dan terstruktur, sehingga pengembangannya menjangkau seluruh elemen yang mencakup pembentukan kader, rotasi kegiatan yang kontinyu, dan membuahkan hasil yang kongkrit.
Jangkauan pengembangan ini, jika disimpulkan, mencakup pembinaan “tiga pilar kaligrafi” sebagaimana dikatakan oleh Ali ibn Abi Thalib:
اَلخَطُّ مخْفِيٌّ فى تَعْلِيْمِ اْلأُسْتَاذِ، وَقِوَامُهُ فى كَثْرَةِ اْلمَشْقِ، وَدَوَامُهُ عَلى دِيْنِ الإِسْلاَمِ
“Kaligrafi itu tersirat dalam pengajaran guru, tegak profesionalnya tergantung banyak latihan, dan kekekalannya adalah pada pengamalan agama Islam.”
Ini berarti pembinaan harus diarahkan kepada tiga hal:
1. Pembinaan Jangka PendekJangka waktunya 1 (satu) tahun dan diarahkan untuk menciptakan pelbagai aktivitas kaligrafi tahunan seperti pada MTQ Tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota, dan Propinsi dan lomba-lomba kaligrafi pada Peringatan Hari-hari Besar Islam dan Nasional.
Pembinaan untuk kepentingan jangka pendek ini dikelola oleh Pemda Tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan, dan Kabupaten/Kota dengan agenda pelatihan kader peserta, pelatih, dan dewan hakim kaligrafi Tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan, dan Kabupaten/Kota menjelang pelaksanaan kegiatan.
2. Pembinaan Jangka Menengah
Jangka waktunya 2 (dua) tahun dan difokuskan untuk meraih prestasi Nasional dan Internasional dalam pelbagai event lomba dan perhelatan akbar kaligrafi seperti MTQ Nasional, Pospenas, MTQ Mahasiswa Nasional, dan lomba-lomba kaligrafi berskala ASEAN di Brunei Darussalam dan Internasional di Turki. Kegiatan pembinaan jangka menengah ini dikelola oleh Pemda Tingkat Propinsi termasuk untuk kegiatan yang bersifat pendelegasian atas nama Pemerintah Pusat.
Konsentrasi pembinaan diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang mencakup:
Jangka waktunya 5 (lima) tahun dan merupakan pembinaan permanen yang dilaksanakan di seluruh institusi pendidikan dan latihan (diklat) yang berkompeten. Pengelola program ini adalah Pemda Tingkat Propinsi bekerjasama dengan lembaga-lembaga diklat professional.
Pusat-pusat pembinaan jangka panjang ini ialah:
Pembinaan jangka panjang yang diplot untuk “waktu seterusnya” merupakan “pembinaan semesta” yang mencakup seluruh aspek perkaligrafian yang dibutuhkan. Agendanya terdiri dari:
a). Kegiatan primer, mencakup pembelajaran kaligrafi di sekolah/perguruan tinggi dan latihan di sanggar kaligrafi. Materinya adalah:
Begitu besarnya minat kaula muda terhadap kaligrafi, sehingga pembinaannya terasa amat mendesak. Potensi tersebut berimplikasi tidak hanya kepada perlunya pembinaan para pelajar muda tersebut, tetapi juga kepada para guru, pelatih, official, dan Dewan Hakim yang secara langsung terlibat di dalamnya.
Karena itu pembinaan tersebut harus menyeluruh dan sepanjang waktu meliputi semua aspeknya, dan pelaksanaannya tidak setengah-setengah atau hanya untuk kepentingan temporer seperti MTQ Nasional yang tidak datang setiap saat.
Jika pembinaan dilaksanakan serentak untuk jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang, maka akan lahir kader-kader yang tangguh sehingga mekanisme kegiatan kaligrafi apa pun akan mudah dilaksanakan dengan hasil sesuai harapan.
Insya Allah.
*Disampaikan pada acara Pelatihan Dewan Hakim Kaligrafi se-Provinsi Riau, 14-15 Desember 2007, di Pekanbaru
Dalam rentang waktu tersebut, telah terjadi perubahan dan kemajuan kualitas estetis karya peserta seiring modifikasi-modifikasi aturan musabaqah. Keadaan tersebut mendorong diperlukannya pembinaan perhakiman dan pelatihan peserta yang intensif dan terstruktur untuk pengembangan cabang MKQ terlebih pengembangan kaligrafi secara lebih khusus di seluruh wilayah Indonesia.
Penampilan dan Masalah Perhakiman
Beberapa karakter yang merupakan “plus-minus” cabang MKQ menonjol antara lain dalam beberapa hal berikut:
- Peralatan musabaqah yang rumit dan beragam terdiri dari aneka jenis kalam dan cat dengan aneka medianya seperti kertas dan triplek.
- Waktu pengerjaan yang panjang (6 sampai 8 jam)
- Hasil karya yang permanen sehingga dapat dilihat dan dinilai secara terbuka oleh semua pihak setiap saat.
- Mengenal baik peralatan musabaqah (dari ukuran dan potongan kalam hingga warna-warna primer dan tertier cat pilihan peserta) karena menentukan kualitas hasil karya.
- Menilai dengan cermat dan tidak terburu-buru dengan “menyisir” semua karya secara berulang untuk mengklasifikasi karya-karya terpilih dan tersisih.
- Sanggup menentukan secara tepat karya-karya unggulan berdasarkan pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisa, dan evaluasi, sehingga dapat menghindarkan kontroversi dan klaim dari semua pihak.
- Sanggup menerangkan alasan-alasan di balik pemilihan karya-karya unggulan dan menjelaskan kelebihan serta kekurangan setiap karya yang dinilainya.
- Menguasai gaya-gaya khat yang dilombakan (Naskhi, Sulus, Diwani, Diwani Jali, Farisi, Kufi, dan Riq’ah).
- Berwawasan luas dalam bidang seni rupa (teori warna, teori garis, unsur komposisi, unsur bentuk, ornamen, dan arabesk).
- Peserta semakin menguasai huruf-huruf untuk aliran-aliran khat yang dilombakan.
- Ornamen yang digunakan pada Golongan Hiasan Mushaf dan Dekorasi rata-rata bagus, semakin variatif, dan kaya nuansa.
- Peserta semakin memahami aturan dan teknik musabaqah yang nampak baik dari ketepatan hasil karya dengan isyarat soal maupun pedoman musabaqah.
- Pendidikan rata-rata peserta meningkat dengan mayoritas mahasiswa, sehingga memperkaya wawasan dan gagasan yang dapat dilihat dalam karyanya yang semakin bermutu.
Untuk itu, Dewan Hakim MKQ harus memiliki ilmu yang memadai dan menguasai teknik tentang obyek yang dinilai, sehingga hasil penilaiannya obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan.
Teknik Penilaian
Berdasarkan Pedoman Perhakiman Cabang Khat Al-Qur’an, Dewan Hakim MKQ menilai dua sub pokok materi, yaitu huruf dan ornamen untuk tiga golongan musabaqah, yaitu:
- Golongan Naskah (penguasaan huruf)
- Golongan Hiasan Mushaf (penguasaan huruf dan ornamen)
- Golongan Dekorasi (penguasaan huruf dan ornamen).
Penilaian huruf diarahkan kepada:
- Bidang kebenaran kaedah mencakup: bentuk dan proporsi huruf, jarak spasi dan letak huruf, serta keserasian dan komposisi huruf untuk gaya-gaya khat Naskhi, Sulus, Diwani, Diwani Jali, Farisi, Kufi, dan Riq’ah yang dilombakan.
- Bidang estetika atau keindahan khat mencakup: kekayaan imajinasi dalam mengolah, kebersihan, dan kehalusan.
- Mencermati kecenderungan peserta yang memilih “mazhab guru” atau gaya-gaya yang disukainya (seperti gaya Hasyim Muhammad al-Baghdadi, Hamid al-Amidi, Muhammad Syauqi, Muhammad Izzat, Mustafa Gazlan Bek atau Mustafa Raqim untuk pola-pola goresan huruf yang menandakan perbedaan stil dan orientasi).
- Penilaian Ornamen atau hiasan diarahkan kepada:• Bidang keindahan hiasan mencakup: kekayaan imajinasi dan tatawarna, keserasian format, kebersihan, dan kehalusan.• Mencermati kecenderungan peserta yang memilih ragam hias Nusantara, arabesk, atau kombinasi warna yang beranekaragam yang menandakan wawasan rupa yang berbeda-beda.
- Bobot nilai Golongan Naskah maksimal 100 (Kebenaran Kaedah Khat 60 dan Keindahan Khat 40).
- Bobot nilai Golongan Hiasan Mushaf dan Golongan Dekorasi masing-masing maksimal 100 (Kebenaran Kaedah Khat 35, Keindahan Khat 25, dan Keindahan Hiasan 40).
- Penilaian seluruh karya secara serentak memudahkan mengklasifikasi karya-karya unggulan dan karya-karya tersisih: dimulai pada babak penyisihan dengan memilih 10 besar, kemudian 6 besar, terakhir 3 besar. Pada babak final, urutan 1, 2, dan 3 ditentukan dengan keriteria dan cara penilaian yang sama.
- Karya-karya yang dipampang di satu lokasi lomba dapat dilihat secara jelas sehingga dapat diketahui yang bagus dan tidak bagus secara jernih.
- Lamanya waktu tak terbatas selama penilaian, memberi kesempatan mengulang atau mengevaluasi ulang penilaian, sehingga hasil akhir penilaian benar-benar obyektif dan akurat.
- Proses penilaian dengan waktu tak terbatas dan berulang-ulang yang menghasilkan angka-angka obyektif dan akurat ini menunjukkan tim penilai MKQ sangat bisa kualified, professional, dan proporsional.
Mengingat banyaknya persoalan berkenaan dengan masalah kemampuan, banyak cara mengupgrade Dewan Hakim MKQ, baik secara terkordinasi oleh lembaga yang berkompeten sepeti LPTQ maupun dengan cara belajar mandiri. Beberapa hal berikut dapat dijadikan kunci untuk mencapai tujuan tersebut:
- Mengadakan kaderisasi Dewan Hakim MKQ melalui penataran-penataran atau pemberian tugas-tugas PR (seperti pembuatan karya-karya yang menggambarkan tugas MKQ) yang diperiksa oleh tim ahli tunjukan LPTQ.
- Pendalaman wawasan yang diusahakan oleh hakim sendiri dengan membaca sebanyak mungkin buku-buku kaligrafi dan merekonstruksi hasil karya peserta MKQ di arena musabaqah. Cara terakhir dapat dibuat melalui dokumentasi foto untuk diketahui desain, gaya, dan orientasinya masing-masing.
- Untuk memperdalam bahasa rupa dan iluminasi atau ornamen, cara yang tepat adalah dengan studi banding dan pengamatan atas karya-karya seni rupa atau lukisan di buku-buku atau katalog-katalog seni rupa, dekorasi di dinding-dinding masjid, ragam iluminasi mushaf Al-Qur’an, dan pameran-pameran seni rupa.
- Keterlibatan hakim (berdasarkan keahliannya di bidang kaligrafi) dalam pembinaan kader-kader daerah akan membantu meningkatkan pengetahuan dan keahliannya.
- Memperbanyak dialog dengan para khattat, pelukis, dan ahli seni dalam rangka konsensus menentukan suatu karya yang bagus, ideal, dan sesuai dengan norma-norma musabaqah.
Metode Pembinaan Kaligrafi
Kaligrafi yang dilombakan dalam MKQ memiliki tujuan-tujuan pengajaran, pendidikan, estetis, praktis, dan ekonomis. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diperlukan metode yang intensif dan terstruktur, sehingga pengembangannya menjangkau seluruh elemen yang mencakup pembentukan kader, rotasi kegiatan yang kontinyu, dan membuahkan hasil yang kongkrit.
Jangkauan pengembangan ini, jika disimpulkan, mencakup pembinaan “tiga pilar kaligrafi” sebagaimana dikatakan oleh Ali ibn Abi Thalib:
اَلخَطُّ مخْفِيٌّ فى تَعْلِيْمِ اْلأُسْتَاذِ، وَقِوَامُهُ فى كَثْرَةِ اْلمَشْقِ، وَدَوَامُهُ عَلى دِيْنِ الإِسْلاَمِ
“Kaligrafi itu tersirat dalam pengajaran guru, tegak profesionalnya tergantung banyak latihan, dan kekekalannya adalah pada pengamalan agama Islam.”
Ini berarti pembinaan harus diarahkan kepada tiga hal:
- Guru, pelatih, instruktur, official, atau juri kaligrafi yang mumpuni karena akan menentukan sukses tidaknya pembinaan.
- Latihan-latihan gencar dan intensif murid di bawah bimbingan gurunya.
- Menjamin tambah profesionalnya pembinaan dengan lahirnya hasil karya untuk pelbagai kepentingan agama seperti lukisan kaligrafi Al-Qur’an atau kegiatan MTQ.
1. Pembinaan Jangka PendekJangka waktunya 1 (satu) tahun dan diarahkan untuk menciptakan pelbagai aktivitas kaligrafi tahunan seperti pada MTQ Tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan, Kabupaten/Kota, dan Propinsi dan lomba-lomba kaligrafi pada Peringatan Hari-hari Besar Islam dan Nasional.
Pembinaan untuk kepentingan jangka pendek ini dikelola oleh Pemda Tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan, dan Kabupaten/Kota dengan agenda pelatihan kader peserta, pelatih, dan dewan hakim kaligrafi Tingkat Desa/Kelurahan, Kecamatan, dan Kabupaten/Kota menjelang pelaksanaan kegiatan.
2. Pembinaan Jangka Menengah
Jangka waktunya 2 (dua) tahun dan difokuskan untuk meraih prestasi Nasional dan Internasional dalam pelbagai event lomba dan perhelatan akbar kaligrafi seperti MTQ Nasional, Pospenas, MTQ Mahasiswa Nasional, dan lomba-lomba kaligrafi berskala ASEAN di Brunei Darussalam dan Internasional di Turki. Kegiatan pembinaan jangka menengah ini dikelola oleh Pemda Tingkat Propinsi termasuk untuk kegiatan yang bersifat pendelegasian atas nama Pemerintah Pusat.
Konsentrasi pembinaan diarahkan kepada kegiatan-kegiatan yang mencakup:
- Seleksi kader MTQ Nasional duta Propinsi melalui pemusatan latihan berjenjang.
- Pelatihan para calon peserta Peraduan Menulis Khat ASEAN dan International Calligraphy Competition.
- Seleksi dan pelatihan duta Pospenas dan MTQ Nasional Mahasiswa.
- Mengadakan penataran official, pelatih, dan Dewan Hakim kaligrafi.
Jangka waktunya 5 (lima) tahun dan merupakan pembinaan permanen yang dilaksanakan di seluruh institusi pendidikan dan latihan (diklat) yang berkompeten. Pengelola program ini adalah Pemda Tingkat Propinsi bekerjasama dengan lembaga-lembaga diklat professional.
Pusat-pusat pembinaan jangka panjang ini ialah:
- Sekolah dan perguruan tinggi dengan memasukkan kaligrafi sebagai mata pelajaran muatan lokal (mulok) dan ekstra kurikula.
- Sanggar-sanggar kaligrafi untuk dijadikan tempat latihan berkarya.
- Masjid dan beberapa lembaga pendukungnya seperti DKM, BKPRMI, dan majlis ta’lim untuk rekrutmen peserta binaan.
Pembinaan jangka panjang yang diplot untuk “waktu seterusnya” merupakan “pembinaan semesta” yang mencakup seluruh aspek perkaligrafian yang dibutuhkan. Agendanya terdiri dari:
a). Kegiatan primer, mencakup pembelajaran kaligrafi di sekolah/perguruan tinggi dan latihan di sanggar kaligrafi. Materinya adalah:
- Pendalaman huruf dan penguasaan seluruh aliran kaligrafi.
- Penguasaan aneka teknik melukis dengan segala bahan.
- Pengembangan skil untuk membuat karya-karya di pelbagai media (seperti kertas, kanvas, kaca, kayu, stucco, dan lain-lain).
- Pameran atau pergelaran kaligrafi untuk melatih apresiasi khattat dan penonton, sekaligus sebagai ajang penjualan karya.
- Lomba kaligrafi antar pelajar dan mahasiswa peserta pembinaan sebagai ajang peningkatan mutu karya dan latihan berkompetisi.
- Forum diskusi seni untuk meningkatkan wawasan dan pemahaman seni, budaya, dan sejarah Islam agar peserta terdorong lebih kreatif berkarya.
- Rekreasi seni dengan kegiatan melukis di alam terbuka seperti pantai atau gunung, demonstrasi kaligrafi di muka umum, dan kunjungan ke pameran dan tokoh kaligrafi.
- Kewirausahaan dengan memasarkan karya hasil produksi peserta.
Begitu besarnya minat kaula muda terhadap kaligrafi, sehingga pembinaannya terasa amat mendesak. Potensi tersebut berimplikasi tidak hanya kepada perlunya pembinaan para pelajar muda tersebut, tetapi juga kepada para guru, pelatih, official, dan Dewan Hakim yang secara langsung terlibat di dalamnya.
Karena itu pembinaan tersebut harus menyeluruh dan sepanjang waktu meliputi semua aspeknya, dan pelaksanaannya tidak setengah-setengah atau hanya untuk kepentingan temporer seperti MTQ Nasional yang tidak datang setiap saat.
Jika pembinaan dilaksanakan serentak untuk jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang, maka akan lahir kader-kader yang tangguh sehingga mekanisme kegiatan kaligrafi apa pun akan mudah dilaksanakan dengan hasil sesuai harapan.
Insya Allah.
*Disampaikan pada acara Pelatihan Dewan Hakim Kaligrafi se-Provinsi Riau, 14-15 Desember 2007, di Pekanbaru
Langganan:
Postingan (Atom)