Kaligrafi Dekorasi

Kamis, 25 Agustus 2011

Kesesuaian antara Rukyat dengan Hisab

Pendahuluan

Rukyat adalah metode penetapan awal bulan hiriyah di Kerajaan Saudi Arabia (KSA). Apabila hilal (bulan baru) terlihat setelah terbenam matahari pada tanggal 29 hijriyah, maka esoknya adalah bulan baru. Namun, apabila bulan tidak terlihat, maka dilakukanlah penggenapan jumlah hari bulan sebelumnya sebanyak 30 hari. Namun terkadang, hisab menunjukkan bahwa hilal berada di atas ufuq sedangkan tidak ada seorangpun yang melihatnya. Begitu pula sebaliknya, hisab menunjukkan bahwa hilal berada di bawah ufuk, tapi kenyataannya, ada orang yang (mengaku-pen) melihat hilal (?). Maka dari itu, perlu adanya sebuh penelitian mengenai kesesuaian rukyat dengan hisab.

Prof. DR. Aiman Sa ‘id Kurdi, seorang pakar astronomi dari King Suud University telah melakukan penelitian terhadap pelaksanaan rukyat di Kerajaan Saudi Arabia (KSA). Beliau meneliti hasil rukyat selama 22 tahun sejak 1400-1422 H yang dikeluarkan oleh Majlisu’l Qadhâ al-A‘la yang tercantum di dua media cetak terbesar di KSA, (al-Jazirah dan al-Riyadh). Secara garis besar, beliau menyatakan bahwa terdapat banyak kesesuaian antara hasil hisab dengan rukyat. Apabila hilal berada di atas ufuk sesuai hasil hisab, tingkat kesesuaiannya mencapai 86%, apabila hilal berada di bawah ufuk, tingkat kesesuaiannya mencapai 59%.

Metode Riset

Ketetapan mengenai hasil rukyat tersebut dikeluarkan oleh Majlisu’l Qadhâ al-A‘la di kedua koran tersebut dalam bentuk tabel. Satu tabel untuk masing-masing bulan hijriyah, Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah. Setiap tabel, terbagi menjadi beberapa kolom. Kolom pertama berisi tahun hijriyah, kolom kedua dan ketiga berisi hasil konversi awal bulan dari Majlisu’l Qadhâ al-A‘la, kolom empat berisi jumlah hari pada bulan sebelumnya, dan kolom lima berisi metode rukyat, dalam hal ini adalah jumlah perukyat. Sedangkan kolom enam berisi sumber data yang digunakan. Apakah dari koran al-Jazirah atau al-Riyadh.

Untuk mengetahui kesesuaian antara rukyat dengan hisab, maka harus memperhatikan beberapa hal. Pertama, umur bulan baru, haruslah berusia sekitar 6 menit sesuai dengan perhitungan waktu internasional (?) Kedua, menghitung waktu terbenam matahari dan bulan untuk hari ketika dilaksanakan rukyat. Juga waktu terbenam matahari dan bulan di hari setelahnya. Perlu diperhatikan, tempat pelaksanaan rukyat adalah kota Riyadh, yang berkoordinat 24°38′ LU dan 46°43′ BT.

Prof. DR. Aiman Sa ‘id Kurdi juga membuat sebuah tabel yang berisikan selisih waktu terbenam matahari dengan waktu terbenamnya bulan pada hari pelaksanaan rukyat. Beliau menambahkan beberpa kriteria :
1. Apabila selisih antara waktu terbenam matahari dengan waktu terbenam bulan bernilai positif, yang mana berarti hilal berada di atas ufuk, dan hasil rukyat sesuai dengan hasil hisab maka diberi tanda (1).
2. Apabila selisih antara waktu terbenam matahari dengan waktu terbenam bulan bernilai negatif, yang mana berarti hilal berada di bawah ufuk, dan hasil rukyat tidak sesuai dengan hasil hisab maka diberi tanda (0).
3. Apabila selisih antara waktu terbenam matahari dengan waktu terbenam bulan di hari setelahnya (karena dilakukan penggenapan) bernilai negatif, maka hasil rukyat sesuai dengan hasil hisab maka diberi tanda (2).
4. Apabila selisih antara waktu terbenam matahari dengan waktu terbenam bulan di hari setelahnya (karena dilakukan penggenapan) bernilai positif, maka hasil rukyat tidak sesuai dengan hasil hisab maka diberi tanda (3)

Hasil Penelitian

1. Untuk bulan Ramadan, dilakukan 22 kali penelitian, menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa terjadi kesesuaian antara hasil rukyat dengan hisab sebanyak 22 kali.
Kita bagi hasil penelitian tersebut menjadi 2 kelompok. Kelompok pertama, hilal berada di atas ufuk sesuai hasil hisab dan kelompok kedua, hilal berada di bawah ufuk sesuai hasil hisab pula. Dari sini akan didapati bahwa hilal berada di atas ufuk sebanyak 5 kali dan kesemuanya sesuai dengan hasil rukyat. Sedangkan dari kelompok kedua hanya terjadi 7 kali kesesuaian antara hisab dengan rukyat dari total 17 kali posisi hilal berada di bawah ufuk.
2. Pada bulan Syawal, terjadi 11 kali kesesuaian antara hisab dengan rukyat dari total 18 kali rukyat. (Hanya ada 18 kali rukyat karena pada tahun 1400-1404 H, koran al-Riyadh dan al-Jazirah tidak terbit pada hari raya). Sehingga hasil rukyat tidak dapat dicantumkan Saat itu juga, hilal tidak pernah berada di atas ufuk. Tingkat kesesuaiannya mencapai 61 %.
3. Pada bulan Zulhijjah, terjadi 19 kali kesesuaian antara hisab dengan rukyat dari total 22 peristiwa.
Apabila kita bagi lagi menjadi dua kelompok sebagaimana pada bulan Ramadan, maka akan kita dapati 11 kondisi dimana hilal berada di atas ufuk, 9 di antaranya sesuai dengan hasil rukyat (81%). Sedangkan ketika hilal berada di bawah ufuk, akan kita dapati 11 kondisi pula dimana hilal berada di bawah ufuk, 10 di antaranya sesuai dengan hasil rukyat (90%).

Setelah melakukan pengamatan terhadap 62 kali proses rukyat (22 kali untuk bulan Ramadan, 18 kali untuk Syawal, dan 22 kali untuk Zulhijah), dengan menggunakan data dari Majelis Peradilan Tinggi Kerajaan Saudi Arabia, dan membandingkannya dengan hasil hisab, dapat disimpulkan bahwa hisab dan rukyat mengalami kesesuaian terbanyak ketika hilal berada di atas ufuk. Dari 14 kali posisi hilal berada di atas ufuk, hanya 2 kali tidak ditemui kesesuaian (86%). Ketika hilal berada di bawah ufuk, dari total 46 peristiwa, 27 diantaranya terjadi kesesuaian antara hisab dengan rukyat (59%).


Analisa

Melihat hasil penelitian ini, sejenak kita dapat menyimpulkan bahwa ternyata rukyat (baca : rukyat Saudi Arabia) memiliki banyak kesesuaian dengan hasil perhitungan astronomi. Namun, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan :
1. Beliau tidak mencantumkan kriteria penentuan awal bulan Saudi Arabia. Hanya sebatas menyatakan bahwa Saudi Arabia memutuskannya dengan rukyat. Hal ini menimbulkan pertanyaan baru, bagaimana kriteria rukyat KSA ? Siapakah yang diterima kesaksian rukyatnya ? Pakar astronomikah ? Semua orang kah? Karena beberapa kali terjadi kasus rukyat yang salah.

Misalnya ketika penentuan Zulhijjah tahun 1428 H. Majlisu’l Qadhâ al-A‘la menetapkan bahwa tanggal 1 Zulhijjah hatuh pada hari Senin, 10 Desember 2007. Dalam ketetepan yang dikeluarkan, hanya disebutkan bahwa “hilal telah terlihat secara syar‘i oleh sejumlah saksi yang adil”. Padahal ketika itu, hasil perhitungan astronomi menunjukkan bahwa sat matahari terbenam di Makkah pukul 17.42 pada hari Ahad Sore, 9 Desember 2007, bulan belum lahir (belum terjadi konjungsi). Padahal syarat terjadinya bulan baru adalah telah terjadi konjungsi dan terdapat jarak antara peristiwa konjungsi dengan terbenam matahari misalnya, 8 jam. Jadi dapat dipastikan bahwa kesaksian melihat hilal pada saat itu adalah ngawur.

Sebagaimana yang diketahui, Majlisu’l Qadhâ al-A‘la meskipun telah membentuk komite rukyat, tetap menerima kesaksian dari semua orang. Bahkan pernah terjadi bahwa kesaksian dari seorang tua berusia 80 tahun tetap diterima.

2. Ketika data astronomi menyatakan bahwa hilal berada di bawah ufuk dengan total 46 peristiwa, hanya terjadi 27 kali kesesuaian antara hisab dengan rukyat (59 %). Berarti ada 19 kali ketidaksesuaian (41 %). Hal ini berarti terdapat pengakuan melihat hilal sebanyak 19 kali. Padahal secara astronomis, hilal dinyatakan masih dibawah ufuk. Jadi, apa yang mereka lihat ?

Prosentase 41 % tersebut tidaklah kecil. Sehingga sulit untuk menyatakan terjadi ‘banyak’ kesesuaian antara rukyat dengan hisab ketika hilal berada di bawah ufuk yang seharusnya tidak dapat terlihat namun seringkali dalam kasus ini ditemui orang yang mengaku melihat. Sekali lagi, kemudian apa yang mereka lihat ?

Kesimpulan

Prof. DR. Aiman Sa ‘id Kurdi melakukan sebuah penelitian demi usaha pembuktian bahwa rukyat (baca : rukyat Saudi Arabia) banyak ditemui keselarasan dengan hasil hisab. Namun, apabila kita analisa secara lebih dalam, prosentase kesesuaian yang dihasilkan, fakta kesesuaian tersebut sulit untuk dibenarkan.

Menurut hemat penulis, apa yang beliau lakukan adalah benar. Namun, hal yang beliau teliti adalah hal yang masih harus dikaji lagi kebenarannya. Tidak adanya standar rukyat yang pasti dan dapat dipertanggungjawabkan dari Majlisu’l Qadhâ al-A‘la Kerajaan Saudi Arabia menjadikan semakin sulitnya ditemukan kesesuaian antara hisab dengan rukyat.

Penulis pun menyadari bahwa apa yang dilakukan masih membutuhkan saran dan kritik dari para pembaca sekalian. Wal’Lâhu a ‘lamu bi al-shawâb

Musa Al Azhar
Di depan nikmat Tuhan-Nya, sebagai tanda syukur atas-Nya
Mahasiswa Fakultas Ushuluddin tingkat III
Jurusan Hadis wa ulûmuhu
Universitas al-Azhar

Sumber : http://pippo9musa.multiply.com

1 komentar:

bakri syam mengatakan...

pengamatan hilal itu khusus untuk puasa ramadan, untuk bulan yang lainnya dalam kalender hijriah cukup dilakukan hisab saja. tetapi titik nol perjalanan bulan mengelilingi bumi menurut ilmu agama bukan pada cunjungsi.demi jelasnya baca rotasi bulan.blogspot.com.bakrisyam