Kaligrafi Dekorasi

Minggu, 18 Maret 2012

H.M. Faiz Abdul Razaq

Mushaf Istiqlal yang dibuat HM. Faiz Abdul Razaq diyakini banyak orang sebagai mushaf terindah di dunia. Bill Clinton sampai berhasrat menyaksikan langsung. Kerajaan Saudi Arabia pun mengundangnya ke istana untuk jamuan khusus para khattat.

Buah jatuh memang tak jauh dari pohonnya. Setiap anak pun mewarisi bakat orangtuanya. Begitulah bakat yang dimiliki Ustadz Faiz. Dirinya telah mewarisi bakat yang dimiliki abahnya. “Al ilmu nurun. Ilmu itu nurun, jadi bukan ilmu itu cahaya. Ayah saya kaligrafer otodidak, dan bakatnya menurun pada saya,” kelakar sulung dua belas bersaudara ini.

Ustadz Faiz adalah seorang kaligrafer “emas” yang pernah dimiliki Indonesia. Dia dilahirkan di desa Lengkong Ulama Tangerang Prov. Banten pada 11 November 1938. Muhammad Faiz menekuni khat sejak usia dini. Dia Putra dari seorang pioneer khat di Indonesia, KH. M. Abdul Razzaq (alm). Dari beliaulah dirinya belajar. Sejak usia 15 tahun Faiz sudah membantu sang abah menulis kitab-kitab berbahasa Arab atau tulisan Arab bahasa Melayu, Sunda, Jawa dan Madura (tulisan pego/Melayu Arab).

Sejak kecil Faiz tidak diajarkan abjad ABCD. Abahnya hanya mengajarinya huruf Arab: alif, ba, ta, tsa. Sejak bangun tidur, dia diajak shalat, lalu mengaji. Kadang-kandang orangtuanya agak keras mendidiknya. “Kalau tidak hafal saya dicambuk. Tapi semua itu saya kenang indah sekali sampai sekarang,” ucapnya lirih menahan airmata. “Apa yang saya rasakan sekarang adalah buah kesungguhan didikan orangtua,” tambahnya.

Bakat Faiz baru terlihat ketika dirinya berusia 14 tahun dan duduk di bangku SMP. Sebab nyatanya, tulisan Faiz saat masih duduk di bangku MI sangatlah jelek. Bahkan tulisannya sempat diejek murid ayahnya. Namanya Abdullah Alatas, seorang khattat yang bekerja di Departemen Penerangan RI bidang Seksi Bahasa Arab. Suatu ketika dia berkunjung ke rumahnya untuk setor tulisan kepada KH. Abdul Razaq. “Saya dilecehkan. Dia memanggil saya, lalu meludahi tangan saya sambil berkata, kamu gak ada potongan jadi penulis khat,” ucapnya kesal.

Perasaan jengkel itu dipendamnya hampir lima tahun lamanya. Tapi, ejekan itu pula yang melecutnya untuk lebih giat belajar khat. “Pada akhirnya saya menyadari bahwa dirinyalah yang memacu semangat belajar saya,” ujarnya. “Hingga sekarang pun, setelah shalat saya masih mendoakan dirinya agar mendapat tempat di sisi-Nya,” tambahnya.

Tahun 1952, keluarganya pindah ke Malang. Abahnya yang tadinya bekerja sebagai pegawai negeri, lebih memilih keluar dan menjadi penulis khat untuk penerbit Salim Nabhan Surabaya. Karena permintaan dari penerbit yang begitu banyak dan butuh cepat, Abahnya meminta Faiz untuk membantunya. “Saya pun mulai belajar khat pada Abah. Dan intinya adalah praktek,” tuturnya. Sejak itulah dirinya berkembang cepat dan matang menulis khat.

Ketika duduk di bangku SMP kelas 3 bagian ilmu pasti dan ilmu alam, kepala sekolah memanggilnya dan mengatakan, “Faiz, melihat potonganmu, saya punya firasat kamu gak ada potongan di umum.” “Baru empat bulan sebagai siswa kelas 3, saya disuruh ikut ujian PGAP dan lulus dengan hasil sangat memuaskan. Jadi saya meloncat dua tahun,” paparnya.

Faiz pun lantas melanjutkan studinya di SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama) di Malang. Mengingat banyaknya guru-guru hakim agama yang dibutuhkan, guru-gurunya di SGHA meminta dirinya untuk langsung mengikuti ujian. Padahal dirinya baru setahun sekolah. Para guru memilih dirinya karena dianggap paling menonjol. “Saya pun kembali meloncat dua tahun,” ucapnya. Setelah lulus tahun 1958, Faiz pun melanjutkan belajar di Pondok Pesantren Gontor. Lagi-lagi, waktu pendidikan di Gontor yang harus ditempuh selama 6 tahun, hanya dilaluinya dalam waktu 2 tahun 8 bulan.

Selama mondok itu pula, Faiz masih tetap membantu abahnya menulis khat untuk penerbit Salim Nabhan Surabaya. Al-Qur’an yang sudah rusak, dia preteli untuk kemudian ditusir. “Yang kurang hitam saya hitamin. Wawu yang buntu saya bolongi pakai tinta putih,” ujarnya. Akibat ulahnya itu, dirinya sempat dianggap stress oleh santri lainnya dan diadukan kepada Kyai Imam Zarkasi.

Tapi sejak laporan itu, Faiz malah diangkat menjadi santri “khusus”. Dia tidak lagi makan di dapur pesantren dengan menu 4 T: tempe, tahu, tewel dan terong. Karena dirinya telah diangkat sebagai guru khsusus khat. “Selain nyantri, saya juga guru,” katanya sambil senyum dikulum. Di antara buku pelajaran Gontor yang ditulisnya, adalah buku wajib al-Fiqhul wadlih karangan Prof. Dr. mahmud Yunus.

Selain belajar pada ayahnya, Faiz juga belajar khat pada ‘amidul khattathin Sayyid Ibrahimi dari Mesir. Dia adalah guru besar para kaligrafer. Uniknya, Faiz belajar melalui media surat menyurat.

Lulus dari Gontor Faiz mulai mengajar bahasa Arab, Khat dan Tarikh di MAN Bangil, Pesantren Wachid Hasyim, Persis, Sidogiri dan YAPI. Faiz menikah dan tahun 1973 dan memiliki 3 anak. Tapi hasil dari mengajar, masih belum mencukupki kebutuhkan hidupnya. Tahun 1979, dirinya mendapat beasiswa belajar di King Abdul Aziz University, Jeddah mengambil Fakultas Tarbiyah. “Saat kuliah saya malah dapat menghidup keluarga. Sebab penghasilan saya waktu itu sampa 5 ribu real,” tutur pria yang pernah juara II Khat Tingkat Internasional di Jeddah Saudi Arabia tahun 1979 ini.

Selain belajar, dirinya juga bekerja sebagai khattat/desainer di Al-Farouqi Advertising Jeddah, Al Itimad Print Press Jeddah dan Deplu Kerajaan Saudi Arabia di Jeddah. Faiz pun berkesempatan mengunjungi Sayyid Ibrahimi di Mesir dan mendapatkan ijazah langsung darinya. Faiz pun mengasah kemampuan khatnya dengan master-master khattat dari Turki, Iran maupun Mesir.

Sepulang dari dari Saudi Arabia, Faiz mendapat ujian begitu berat. Dirinya terserang penyakit pembuluh darah selama delapan bulan. Semua miliknya ludes untuk berobat. Termasuk TV, video, radio hingga perhiasan istrinya habis terjual. Dalam kepedihan itu Faiz mulai instrospeksi dan berdoa. “Ya Rabb, saya bekerja di tanah suci, saya kerja halal, menulis dan menulis. Kenapa saya dicoba begini,” renungnya waktu itu. “Saya hampir tidak kuat waktu itu,” tambah Alumnus Pesantren Tinggi Ilmu Fiqh dan Dakwah Bangil Jatim itu.

Akhirnya di suatu malam, dirinya mendapatkan suatu jawaban. Dirinya teringat sebuah hadits, “Barangsiapa yang menyimpan ilmu, maka kelak pada hari kiamat Allah akan menjadikannya kendali dari neraka.” “Saya pun menangis. Ternyata saya tidak mengamalkan ilmu saya,” tukasnya. “Ilmu khat, serta ilmu yang saya peroleh dari mondok dan kuliah maupun madrasah dulu harus diamalkan,” tekad Penyuluh Utama Khat di Kanwil Kementerian Agama Prov. Jatim ini.

Dia pun mulai kembali merambah karir di dunia khat dan mengajar. Tahun 1984 dirinya dipanggil oleh darul fikr, Beirut perwakilan Jakarta sebagai penerjemah dan korektor. Faiz juga diangkat sebagai pegawai Saudi Arabia sebagai Dai/dosen bahasa Arab yang diperbantukan di beberapa pesantren di Jatim oleh Atase Agama Kedubes Saudi Arabia di Indonesia.

Tahun 1991, dirinya diminta abahnya untuk menggantikan dirinya menyelesaikan proyek mushaf Istiqlal. “Saat itu ayah sudah udzur dan sakit-sakitan. Saya sempat menolaknya, tapi abah tetap bersikukuh agar saya menggantikannya,” ujarnya. Amanah itu segera dilaksanakaannya. Sebagai desainer kaligrafi, Faiz dibantu 5 orang khattat. Sedangkan untuk ornament dia dibantu para seniman desain grafis ITB dibawah koordinasi Prof Dr Ade Firus dan Drs. A. Haldani.

Tak disangka, mushaf Istiqlal rampung dengan begitu indahnya. Sampai-sampai berita keindahannya didengar oleh Presiden Amereka Serikat waktu itu, Bill Clinton. Tahun 1995, Clinton datang ingin menyaksikan langsung keindahan mushaf yang dianggap terindah di dunia itu. Faiz pun bertemu Clinton dengan didampingi Menag RI Tarmizi Taher.

Setelah itu, Faiz mulai menulis Mushaf Sundawi dan melaksanakan proyek kaligrafi masjid. Diantaranya, Masjid Nasional Istiqlal Jakarta, Masjid At-Taqwa Sririt Bali Utara, Masjid Agung Bengkulu, Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya, Masjid Baiturrahman PKT Bontang Kaltim, Masjid Agung Tuban, Masjid Agung Nurul Falah Kaltim, Masjid Islamic Center Samarinda Kaltim, Masjid Agung Bangkalan Madura, maupun Masjid Baitul Hamdi Pemprov Jatim.

Tahun depan, Ustadz Faiz menjadi satu-satunya khattat dari Indonesia yang diundang oleh Kerajaan Saudi Arabia untuk menerima penghargaan bersama para khattat seluruh dunia. “Intinya dalam menulis khat itu, adalah keikhlasan,” ujarnya. “Hasil karya mencerminkan jiwa sang pembuat. Seindah apa pun karya itu, tapi jika tak memiliki ruh, tetap seperti benda mati. Ikhlas adalah ruhnya,” tambah Dewan Hakim MTQ nasional ini. Ded

Sumber : http://ruangbening.wordpress.com/2010/10/04/hm-faiz-abdul-razaq/



Tidak ada komentar: